|N A M|
Part 6
Semuanya kacau, takdir sedang bercanda dengan hidupku. Dan aku hanya bisa bertahan sampai sini. Tapi, percayalah aku tidak akan berhenti untuk mencintaimu.
~ Daniel Aarav Madava
---
Seminggu sudah Bunda Lulu mendiamkan Daniel. Seakan Daniel makhluk tak kasat mata, meliriknya saja enggan. Setelah insiden malam itu Bunda Lulu merasa kecewa. Ketika Daniel mengajak bundanya untuk berbicara, wanita paruh baya itu melengos tak suka.
Dan pagi tadi, Daniel dibuat khawatir oleh bundanya. Saat dia hendak ke kantor, dia melihat bundanya dengan wajah pucat. Tentu saja Daniel menghampiri dan menanyakan kabar bundanya. Tapi, sama saja, bunda Lulu tak mau menjawab.
Perasaan Daniel tidak enak, merasa ada yang mengganjal. Tubuhnya pun bergerak gelisah di kursi kebanggaannya. Daniel tetap memfokuskan matanya pada laptop di hadapannya. Beberapa laporan keuangan kantor cabang masuk dari email-nya. Mencoba fokus, Daniel memperhatikan angka-angka yang tertera disana.
Tapi sial, hatinya malah makin nelangsa entah kenapa.
Tak lama setelah itu, ponsel Daniel berbunyi. Tertera nama papanya disana.
"Waalaikum salam, Pa?"
"... ."
"Apa! Iya, Pa. Daniel segera kesana,"
Secepat kilat, daniel menyambar kunci mobilnya setelah nada telepon ia putuskan.
"Batalkan jadwal meeting saya hari ini." Kata Daniel tegas kepada sekretarisnya.
"Hah! Tapi, Pak... Itu klien kita yang dari jepa__"
"Batalkan, saya ada urusan yang lebih penting."
Setelah mengatakan itu, Daniel bergegas meninggalkan sekretarisnya yang mematung di tempatnya.
Urusan apa yang lebih penting dari investor yang akan menginvestasikan saham di perusahaannya.
"Horang kayah mah bebuass," celetuk sang sekretaris, yang bername-tag Hilya itu.
• • •
Rumah sakit, tujuan Daniel saat ini. Dengan mengemudikan mobil ugal-ugalan, akhirnya Daniel sampai di rumah sakit megah ini. Disana, tepatnya di depan ruang UGD, papanya berdiri resah, mondar-mandir.
"Gimana keadaan Bunda, Pa?"
Tanya Daniel ngos-ngosan, nafasnya memburu. Rasa khawatirnya itu sangat mendominasi, saat setelah papanya menghubungi kalau bundanya masuk rumah sakit.
Gaza Madava, pria paruh baya yang masih gagah diusianya itu adalah papa dari Daniel. Beliau menatap Daniel sedikit prihatin, anak bungsunya itu selalu seperti ini jika mendengar bundanya masuk rumah sakit.
"Bunda cuma stress, darah tingginya naik. Dan juga kekurangan asupan energi," jawab Papa Gaza.
"Kamu sih, papa belum selesai ngomong malah dimatiin. Malah kamu sendiri yang ngos-ngosan, lari kayak gitu."
"Daniel shok, Pa. Sedari pagi bunda memang udah pucat, waktu Daniel nanyain, bunda cuman diam. Masih mendiamkan Daniel," ungkap Daniel frustasi.
"Kamu sih, nggak dengerin omongan bunda kamu. Udah tau bunda ambekan orangnya, tau rasa deh kamu." Ledek Papa Gaza, dan malah sedikit tertawa melihat ekspresi Daniel.
"Ya udah, Daniel mau liat bunda dulu, mau masuk?"
"Tunggu dulu, ada kakak kamu di dalem,"
Daniel hanya mengangguk, dan duduk bersama papanya di bangku yang sudah disediakan disitu.
Tak lama, kakaknya keluar, refleks Daniel langsung berdiri.
"Pa, dicariin bunda," kata kakak perempuan Daniel.
Papa Gaza mengangguk, lalu dirinya masuk ke dalam UGD. Dan Daniel hendak masuk mengikuti langkah papanya, tapi kakaknya itu malah menahan pergelangan tangannya.
"Ada apa, kak?"
"Ada apa, ada apa!?" Wanita itu sedikit menarik tangan Daniel, agar jauh dari pintu UGD.
"Ini pasti gara-gara kamu! Bunda jadi masuk rumah sakit, iyakan? Bunda pasti kepikiran kamu, karna belum juga mau nurutin permintaan bunda, buat nikah." Omel kakaknya, begitu memekakkan telinga Daniel.
"Bukan gitu, kak. Daniel bukannya nggak mau, tapi mungkin belum saatnya Daniel untuk nikah kak. Daniel lagi nunggu jodoh Daniel," jawab Daniel seadanya.
"Heh! Anak kunti, laki-laki itu mencari jodoh, bukan menunggu jodoh. Situ perempuan?"
Wanita yang bernama lengkap, Freya Madava itu terus berkicau. Menceramahi berulang kali adiknya, yang sedikit lambat dalam masalah pernikahan. Wanita yang berumur 35 tahun itu, terlihat elegan diusianya. Jelbab segiempat yang kedua ujungnya dililitkan kebelakang, dengan baju kemeja putih yang melekat di tubuhnya.
"Daniel ngerti, kak Frey. Jika boleh Daniel memilih, Daniel juga mau nikah secepat mungkin. Buat bahagiain bunda," jawab Daniel serius. Kedua matanya tampak sendu dan resah, itu yang ditangkap Freya.
Freya mengalah, dirinya juga tidak boleh egois untuk memaksakan kehendak. "Yaudah, kakak pamit dulu. Mau jemput anak-anak pulang sekolah, semoga kamu secepatnya didatangkan jodoh." Lanjut Freya sambil mengedipkansebelah matanya jail.
Daniel lantas masuk, di brankar terlihat bundanya yang tergolek lemas. Sebelah tangannya dipasangkan infus.
"Bunda."
Memalingkan wajahnya, Bunda Lulu enggan melihat muka Daniel. Daniel tau kalau bundanya itu masih marah dengan peristiwa malam itu. Duduk di samping bundanya, Daniel terus mencoba untuk berbicara.
"Pa, ambilin bunda minum," .
"Biar Daniel aja, Bun,"
"Nggak usah, biar Papa saja. Permintaan bunda itu berat, jadi kamu nggak usah melakukannya."
Menohok, Daniel merasa atmosfer di ruangan ini memanas. Hatinya juga sedih mendengar penolakan bundanya itu.
Papa Gaza membantu istrinya itu minum, dengan sangat telaten. Lalu, diusapnya ujung bibir sang istri saat buliran air itu sedikit tumpah.
"Bun, maafin Daniel." Ujar Daniel kembali.
Bunda Lulu masih diam.
"Bunda nggak bisa mendiamkan Daniel begini terus,"
Menghela napas, Daniel capek. Diliriknya sang Papa yang duduk di sofa, dan malah mendapat slow respon. Papa Gaza seakan acuh tak acuh. Daniel frustasi, ditariknya lagi nafas dalam-dalam.
"Oke, Daniel akan nurutin semua keinginan Bunda."
Bunda Lulu berbalik, menatap wajah Daniel dengan tatapan masih datar.
"Nggak usah, kamu tidak akan sanggup melakukannya." Sarkas Bunda Lulu
"Daniel sanggup, Bunda. Apapun itu demi Bunda,"
Bilang saja Daniel lebay, tapi itulah dia. Laki-laki yang begitu amat menyanyangi wanita yang telah melahirkannya itu. Wanita separuh nafasnya.
"Oke kalau kamu sanggup, Minggu depan kita bakal ngelamar anak temannya papa?"
• • •
Sial.
Daniel mengeram frustasi, dia pikir bundanya cuman akan mengenalkan dirinya dengan anak teman-temannya saja. Tapi, pemikirannya jauh terpeleset. Minggu depan dia akan melamar perempuan? really?
Permainan macam apa ini? Terdengar klise memang. Adengan seperti ini yang selalu terjadi di film-film atau novel yang sudah banyak digunakan. Dimana sang anak laki-laki akan luluh ketika ibunya sakit, dan mematuhi untuk menikah.
Ini nyata, Daniel mengalaminya. Akankah hidupnya akan seperti adengan-adengan klise yang sering terjadi di novel atau film juga?
Daniel pasrah, mau menolak pun tak kuasa. Lisannya terlanjur berkata, dan sekarang malah dirinya yang terjerat.
"Akankah sekarang aku berhenti untuk menunggu?"
Lalu, Daniel mengambil laptopnya. Menuliskan email untuk seseorang disana, berharap email-nya diterima, dibaca dan dibalas. Dan jika itu terjadi, perjodohan ini tidak akan pernah ada.
• • •
Hujan membasahi kota Jakarta. Tak terlalu deras memang, menemani sore yang kelabu itu. Suara ritmisnya beraturan seirama. Setelah puas jalan-jalan seharian, Ananda terjebak disalah satu coffeeshop.
Kumpulan uap cappucino creamy latte masih mengepul di permukaan. Aromanya menenangkan hati Ananda. Salah satu minuman favoritnya, dari dulu hingga sekarang.
Sekeliling cafe penuh dengan orang-orang yang juga berteduh. Mata Ananda terfokus pada sepasang remaja yang sedang dimabuk kasmaran. Tertawa geli, Ananda meringis dalam hati, Ananda bisa menafsirkan bahwa sepasang remaja itu masih SMA. Dan lihat, remaja itu berani mengumbar mesra di depan umum.
Ananda saja yang umurnya sudah 25 belum pernah sekalipun berpacaran. Jatuh cinta saja dia tidak mau mencoba. Gadis itu terlalu takut akan hal-hal yang tidak baik kedepannya, gadis itu tidak berani untuk mengambil sesuatu yang ditakutinya.
Dia takut jatuh terlalu dalam, lalu dihempaskan begitu saja.
Dan sial perjodohannya itu, Ananda sudah memikirkan matang-matang.
Ananda tak ada pilihan lain, selain menerimanya. Menolak pun tak bisa, hidupnya ini bukan dikendalikan oleh dirinya sendiri. Melainkan kedua orang tuanya. Dari jarak jauh pun, kedua orang tuanya mampu melakukan itu.
Ananda pulang, dengan hati yang sedikit sudah lebih baik dari semalam. Sesampainya di rumah, gadis itu masuk begitu saja. Sebentar lagi adzan magrib, dirinya perlu membersihkan diri dulu.
Di lantai dua, dia melihat mami sama papinya yang sedang bersantai. Menikmati semilir angin sore di balkon. Ananda bisa melihat mereka yang romantis, maminya menyenderkan kepalanya ke bahu sang papi. Ananda mendekat, semakin mendekat.
"Aku mau menerima perjodohan yang sudah kalian rancang."
Kedua orang tuanya menoleh, dengan tampang yang terkaget-kaget. Lalu, wajah senang mereka terpancar.
"Anan? Kamu enggak bercanda kan? Serius kamu mau menerima perjodohan ini? Mami seneng banget," maminya yang paling antusias.
Tanpa berucap dan menjawab lagi, Ananda langsung meninggalkan mereka dengan wajah yang berbinar.
"Ananda terima, Pi. Mami seneng deh, kita bisa besanan sama keluarganya teman papi itu."
"Iya, Mi. Papi juga seneng, perusahaan kita bakalan semakin maju lagi. Papi mau telpon mereka dulu," jawab papinya tak kalah antusias.
Pria paruh baya itu juga melenggang ke ruang kerjanya. Untuk menelpon calon besan, dan memberitahu kabar ini.
• • •
"Bunda beneran sakit kan? Nggak niru adengan di sinetron-sinetron yang sering bunda nonton. Buat Daniel luluh sama Bunda?"
Setelah Daniel meninggalkan mereka dua jam yang lalu, dengan menerima perjodohan itu. Bunda Lulu senang bukan main, semenjak suaminya itu menceritakan mau menjodohkan putranya dengan anak teman bisnisnya itu beberapa Minggu yang lalu. Bunda Lulu dan hatinya seakan menerima dengan mudah.
Mendengar nama gadis itu disebut oleh suaminya, instingnya naik ke permukaan. Langsung tertanam didalam hati bunda Lulu, padahal bertemu saja belum.
"Papa mau bercanda sama Bunda? Bunda beneran sakit, tubuh bunda lemes banget," jawab bunda Lulu sekenanya. Papa Gaza tau kalau istrinya itu beneran sakit, dia cuma mau menggoda istrinya yang kegirangan setelah daniel mengatakan mau dengan perjodohan itu.
"Dan bunda gunain kesempatan ini, tidak salahkan?" Bunda Lulu mengedipkan sebelah matanya kepada suami.
"Tapi Bun? Kita ngelakuin hal yang benar kan?" Ucap Lala Gaza meragu.
"Maksudnya papa gimana? Papa bilang gadis itu baik, Sholehah juga. Terus kendalanya apa lagi? Daniel kalau enggak kita paksa, dia nggak.baklan nikah, Pa."
Mengembus nafas lembut, Papa Gaza mengangguk. Dan detik selanjutnya, dering telpon miliknya berbunyi.
"Bun, teman Papa yang itu telpon, sebentar ya, papaau angkat diluar dulu." Bunda Lulu mengiyakan, senyumnya langsung keluar.
Semoga berita baik yang didapat olehnya setelah menerima dari sang penelepon.
"Semoga kali ini, gadis itu beneran jodoh Daniel."
TBC
Maafkan kalo gaje ya Gans!🤧
Entah kenapa, tulisanku seakan tak mau diketik di papan keyboardnya😫
Jangan lupa voteee dan komen🖤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top