|L I M O N G B L A H|

بسم الله الرحمن الرحيم
Part 15
---

"Abang,"

"Iya, Anan."

"Hari ini mau kemeja warna apa, hitam atau biru dongker?"

"Apa saja, warna apapun yang kamu pilihkan. Akan Abang pakai,"

Ananda tersenyum, mendengar jawaban dari Daniel. Lantas dia mengambil kemeja hitam dan menyerahkan pada suaminya itu.

Ini bukan mimpi, seperti yang ditakutkan Ananda waktu ini. Ketika saat Daniel mengajak dirinya untuk memulai rumah tangga yang sesungguhnya. Daniel menepati perkataannya itu.

Setelah dua bulan terlewatkan, dan sekarang bulan kelima pernikahan mereka. Daniel menjadi suami yang semestinya untuk Ananda, selama dua bulan yang lalu setelah malam itu.

Malam dimana Ananda yang menangis haru, dan berakhir terlelap dalam pelukan Daniel. Keesokan harinya, setelah mereka pulang dari rumah kediaman Madava. Ananda memulai lagi pembicaraan itu, memastikan apa itu sungguhan atau tidak. Dan ternyata itu bukan mimpi Ananda. Semenjak itu pula semuanya perlahan berubah, sikap Daniel terhadapnya. Tidak ada lagi aura dingin yang ditunjukkan Daniel. Tembok tak kasat mata yang Daniel pasang, kini sudah terkikis. Perlahan tembok itu diruntuhkan oleh Daniel sendiri.

Dan juga panggilan 'Abang' yang Ananda sematkan untuk suaminya itu. Entah kenapa beberapa hari setelah malam itu, Ananda berkeinginan untuk memanggil suaminya dengan embelan itu. Tidak mungkin juga dia selamanya memanggil suaminya, dengan sebutan nama bukan?

"Abang kok bisa tinggi banget kayak gini, ya, Anan kan jadi insecure." Daniel malah terkekeh gemas, menatap wajah istrinya yang sedang sibuk memasang dari di lehernya.

"Makanya kamu harus sering olahraga, biar sedikit tinggian."

"Mana bisa, Anan kan udah bukan remaja lagi. Masa pertumbuhan Anan udah berakhir," Daniel malah makin terkekeh mendengar gerutuan Ananda.

"Udah selesai!" Ucap Ananda, lalu dia menepuk dua kali tangannya di dasi Daniel. Dengan tersenyum bangga, Ananda menatap dasi itu yang sudah terpasang rapi.

Setelah mengucapkan terimakasih, Daniel lalu mengajak Ananda untuk sarapan pagi. Mereka akan ke kantor beberapa saat lagi.

"Nggak mau bareng aja?" Tanya Daniel, saat mereka sudah berada di depan rumah mereka.

Ananda menggeleng pelan, "nggak, Anan kan pulangnya agak awal dikit dari Abang. Daripada Anan nunggu di kantor, lebih baik Anan pulang langsung, biar bisa masak buat nanti malam juga."

"Yaudah, hati-hati ya nyetirnya," ujar Daniel lembut.

Ananda mendekat ke arah Daniel, lalu diambilnya tangan kanan laki-laki itu.
Mencium punggung tangannya dengan khidmat, sebagai baktinya istri terhadap suami.

Setelah Ananda selesai mencium punggung tangan Daniel, dengan otomatis pula Daniel menempelkan bibirnya pada kening Ananda. Mengecup lembut istrinya.

"Abang juga hati-hati, ya." Ujar Ananda, dan Daniel tersenyum mengiyakan.

Mereka masuk dalam mobil masing-masing. Membelah jalanan ibukota di pagi ini, siap untuk memulai aktivitas mereka sendiri. Mobil mereka beriringan keluar dari komplek perumahan sampai ke jalan raya. Lalu di persimpangan mereka berpisah, Ananda ke arah kanan, sedangkan Daniel ke arah kiri.

•••

"Langsung pulang Bu boss?" Tanya Shinta pada Ananda, dan diangguki oleh Ananda.

"Iya, Shin, pekerjaannya juga udah selesai semua. Saya duluan ya," pamit Ananda tersenyum pada sekretarisnya itu.

"Tiati dijalan, Bu boss."

"Oke, Assalamu'alaikum."

"Waalaikum salam, Bu bos cantek."

Ananda berlalu meninggalkan Shinta, sekretarisnya. Sekarang sudah hampir jam lima, Ananda buru-buru ingin sampai ke rumahnya. Semenjak hubungannya dengan Daniel baik, Ananda sangat betah di rumah. Apalagi jika ada Daniel di rumah. Dia tidak merasa kesepian lagi, canda tawa, obrolan-obrolan ringan mereka ciptakan.

Sesampainya di rumah, Ananda langsung memasukkan mobil putihnya itu dalam garasi. Dengan gerak cepat dia masuk kedalam rumah, meletakkan tasnya di atas meja ruang tamu, lalu Ananda beranjak ke dapur untuk mengambil minum. Dirinya begitu haus, ditambah cuaca petang ini belum juga menurun. Sedari siang sudah panas, terik mataharinya membuat suasana sore masih gerah.

Belum sampai di dapur, Ananda mendengar bel rumahnya berbunyi. Siapa itu? Daniel? Tidak mungkin, tadi pagi suaminya itu bilang pulang telat. Dan jika itu Daniel dia tidak akan menekan bel, langsung melesak masuk ke dalam rumah.

Ananda menunda memulihkan dahaganya, langkahnya terpaksa harus membuka pintu terlebih dulu.
"Siapa__"

Belum sempat menyelesaikan ucapannya, wanita bertubuh sedikit buncit itu memeluk Ananda, dengan berurai air mata.

"Aisha? Kamu, kenapa? tell me what happened, kenapa kamu sampai nangis gini?"

Aisha tak menjawab, wanita itu malah semakin sesugukan dalam pelukan Ananda. Dengan segera Ananda menuntun Aisha untuk masuk, lalu mendudukkan Aisha pada sofa. Wanita itu masih terisak, bahkan nyaris meraung. Ananda setelahnya berlari menuju dapur, mengambil segelas air putih untuk Aisha. Ananda lalu menyuruh Aisha minum terlebih dahulu, agar wanita itu bisa sedikit lebih rileks.

"Sha, ada apa?" Tanya Ananda sekali lagi, sangat lembut.

"Mas Safir... Mas Safir, he has another woman. Dia selingkuh!"

"Hah!?"

Wanita lain?

Selingkuh? Mas Safir?

Ananda menggeleng, sedikit tidak percaya? Baginya itu mustahil, dia bisa melihat selama ini Safir yang mengejar Aisha, layaknya bucin sejati. Bagaimana bisa semudah itu Safir menyakiti hati wanitanya?

"Bagaimana bisa, kamu serius? Jangan bercanda, Sha." Ananda masih belum percaya dengan ucapan ibu hamil di depannya ini.

"Aku liat sendiri, Anan, aku nggak bercanda. Ini bukan lelucon,"

Menghela nafas, Ananda lalu menyuruh Aisha untuk menceritakan kronologis kejadiannya. Bagaimana bisa dia menuduh suaminya berselingkuh? Atau memang benar tuduhannya itu?

"Aku udah beberapa kali liat Mas Safir keluar makan siang sama perempuan. Aku pikir itu biasa, karena si perempuan itu juga karyawan kantornya. Dan tadi, kamu tau apa? Aku liat mereka lagi, perempuan itu pelukan sama Mas Safir. Aku nggak terima, itu bagiku nggak wajar, Anan." Isak Aisha kembali lagi, dan Ananda dengan sigap menenangkan wanita hamil itu.

"Terlebih mereka pelukannya di depan kantor."

Ananda nelangsa. Otaknya masih belum sepenuhnya percaya, jika fakta ini benar. Iyakah Safir selingkuh? Ditambah istrinya lagi hamil pula.

"Berpelukan? Atau wanita itu yang meluk Mas Safir."

Aisha terdiam sesaat. Lalu, mata berairnya menatap Ananda tajam.

"Kamu nggak percaya, sama aku, Anan? Oh, tuhan! Kok aku menangkap kamu nggak percaya kalau Mas Safir selingkuh, sih." Ucapnya menggebu.

Ananda gelagapan, bukan maksud seperti itu. Dia tadi cuma bertanya saja. Tidak lebih! Menarik nafas dalam, dan dikeluarkan dengan perlahan. Oke, menghadapi ibu hamil memang butuh tenaga extra. Hormon sensinya berkali lipat lebih cepat tinggi.

"Oke, aku percaya, Sha. Yaudah, kamu tenangin diri kamu dulu. Jangan nangis, kasian bayi yang ada di perut kamu, masa ibunya nangis-nangis terus. Diakan juga pasti ikutan sedih,"

Aisha mengelus perutnya sayang, wanita itu seakan lupa dengan keberadaan bayinya sendiri. Lalu, Aisha mengucapkan makasih karena telah percaya padanya. Dasar ibu hamil! Umpatan hati Ananda bernada geli.

"Anan, aku nginap disini."

"Hah!?" Beo Ananda sedikit terkejut, "tapi Mas Safir, nanti malah khawatir sama kamu, Sha. Nyariin kamu,"

"Biarin, tau rasa. Sekali-kali harus diberi pelajaran, enak aja selingkuh saat istri lagi ngandung anaknya. Laki-laki emang pada dasarnya nggak tau diri, sih. Mereka selalu nyakitin hari perempuan." Dumel Aisha lagi, sekarang wanita itu sudah tidak menangis, bahkan sisa air mata yang barusan keluar sudah tidak berbekas lagi diwajah berisinya.

"Jangan ngedumel, Sha. Nggak baik ibu hamil," peringat Ananda.

"Oh iya, lupa lagi kan." Nyengir Aisha kemudian.

"Yaudah, aku mau mandi dulu ya, habis itu mau masak makan malam buat kita. Kamu mau istirahat di kamar dulu, Sha?"

"Enggak deh, aku disini aja. Ntar kalo nggak sanggup duduk lagi, biar aku sendiri ke kamarnya."

Ananda lalu pamit untuk membersihkan tubuh lengketnya. Sebelumnya, gadis cantik itu membawakan beberapa toples cemilan dan coklat untuk Aisha. Dengan girang wanita hamil itu menerima dengan lapang dada.

•••

"Maaf loh ya, Mas Daniel. Jadi ngerepotin malam ini aku nginap disini."

"Eh, nggak apa-apa kok, Aisha. Santai aja," jawab Daniel sekenanya.

Sekarang mereka, sedang menikmati makan malam bersama. Aisha merasa tak enak pada suami sahabatnya itu. Dan dia lega, bahwa Daniel mengizinkannya untuk bermalam disini.

"Abang nggak mau nambah lagi, nasinya?" Tanya Ananda kemudian, saat beberapa menit mereka hening, sibuk dengan makanan masing-masing.

"Tambahin sayurnya aja, nasinya Abang enggak lagi." Ananda lalu menambahkan sayur yang dimaksud suaminya itu kedalam piring.

"Makasih,"

Dan Ananda hanya tersenyum. Aisha melihat dan mendengar interaksi kecil mereka. Ternyata sedari tadi wanita itu menjadi pengamat yang budiman.

Tidak ada lagi interaksi dingin yang didengarnya, bahkan terkesan hangat untuk interaksi kali ini. Aisha tersenyum, gadis itu mengucap syukur dalam hati. Benar apa yang dikatakan Maisya tempo hari, mereka butuh waktu untuk berkenalan dan terbuka satu sama lain. Hubungan mereka ternyata tidak seperti yang Aisha pikirkan.

Selesai makan, Ananda mencuci piringnya, sedangkan Aisha duduk menonton Ananda yang mencuci piring. Bukan malas, Aisha tidak diperbolehkan oleh Ananda melakukan aktivitas apapun. Gadis itu tidak mau kalau sahabat hamilnya itu kelelahan.

"Anan, aku seneng deh, liat kamu sekarang, udah nikah. Udah nggak sendirian lagi," ujar Aisha.

"Iya, Sha."

"Hubungan kamu sejauh ini, baik-baik aja kan? Aku selalu doain kamu agar rumah tangga dan kehidupan kamu baik-baik aja." Ujar Aisha tulus.

Ananda mengeringkan tangannya. Lalu, gadis itu duduk di samping Aisha. Tersenyum tulus pada sahabatnya satu ini.

"Alhamdulillah, baik, Sha. Dan terimakasih udah doain aku selama ini. Kamu dan Maisya sahabat terbaik untukku, segalanya bagi hidup aku. Terimakasih banyak."

"Nggak ada yang namanya terimakasih, udah semestinya sahabat ngebantu dan saling mendoakan satu sama lain." Tak tahan dengan suasana yang agak sendu, Aisha memeluk Ananda. Wanita hamil itu lalu menangis didalam pelukan Ananda. Sontak saja Ananda bingung.

"Sha, kenapa? Kok nangis? Kepikiran Mas safir lagi?"

Aisha menggeleng, "bukan, aku senang banget kita, aku, kamu, dan Maisya jadi sahabat sampai sekarang. Rasanya nggak ada yang lebih indah dari ini."

Ananda menghela nafas lega. Dia pikir Aisha teringat lagi pada suaminya yang berselingkuh itu.

"Kamu harus janji, ya, kalau ada apa-apa harus cerita ke kita. Apapun masalahnya kamus wajib cerita ke aku ataupun Maisya?"

Ananda mengangguk, gadis itu maklum dengan sifat ibu hamil itu. Terlalu sensitif. Dan mudah cengeng.

"Yaudah, gih, sana tidur Sha. Udah malam, kasian bayinya pasti capek daritadi."

Aisha mengangguk patuh. Lalu wanita hamil itu langsung menuju kamar tamu rumah Ananda.
Begitu pula Ananda, setelah mematikan semua lampu, dia langsung ke kamarnya.

Disana, tepatnya ranjang, sudah ada Daniel yang sedang sibuk dengan tabletnya. Laki-laki itu terlihat begitu tampan dengan kacamata bacanya.

Sebelum bergelung dengan alam mimpi. Ananda melakukan ritual malamnya, yaitu memakai skincare. Setelah mencuci muka dan mengeringkan, Ananda duduk di depan meja rias.

"Anan, kamu udah hubungi suaminya Aisha, kan?" Ananda mengintip Daniel dari kaca di depannya, suaminya itu kini sedang menatapnya pula dari pantulan kaca.

"Udah Abang, tadi sebelum magrib diam-diam Anan telpon Mas Safir. Dia lega Aisha disini, khawatir banget kayaknya. Dan Mas Safir cuman bilang ini salah paham, besok dia juga akan jemput Aisha, buat jelasin semuanya."

"Oh, syukurlah." Respon Daniel, setelah itu kembali sibuk dengan tabletnya.

Ananda sudah selesai dengan ritualnya, gadis itu lalu naik ke ranjang menyelimutkan dirinya sebatas dada. Ananda menyempatkan menoleh ke arah suaminya, masih sibuk ternyata.

"Abang, masih banyak kerjaannya?"

"Hmm,"

"Jangan tidur kemalaman, bang. Anan tidur duluan ya." Ujar Ananda sambil tersenyum.

"Iya, lumayan banyak laporan yang belum selesai Abang periksa."  Beritahu Daniel, matanya masih belum lepas dari tablet itu.

"Selamat malam."

Ananda lalu menarik selimutnya lagi sebatas leher, memejamkan matanya siap menjemput alam mimpi.

Detik berikutnya, ranjang di sebelahnya bergerak. Daniel melepaskan kacamata bacanya, ditaruh tabletnya di atas nakas. Lalu, Daniel merebahkan dirinya tepat disamping Ananda. Mendekat lebih dekat lagi, lalu sebelah tangannya melingkar cantik di pinggang ramping Ananda.

"Selamat malam juga, sayang."

Ananda masih sadar sepenuhnya, gadis itu enggan membuka mata lagi. Dia yakin seratus persen, jika saat ini wajahnya memerah. Jantungnya saja sudah berdetak tak karuan, saat tangan kekar itu melingkar tadi.

Bukan pertama kali Ananda tidur dipeluk Daniel, sudah beberapa kali bahkan. Tapi, efeknya masih sama, seperti ada sengatan listrik ribuan volt. Hubungan mereka pula hanya sebatas pelukan saat tidur, belum lebih. Saat dua bulan lalu, Daniel mengajak untuk memulai hubungan ini, mereka sepakat untuk mengenal lebih dalam dulu satu sama lain. Atau istilahnya pacaran. Uhh, pacaran setelah halal, tentunya.

TBC

Astagfirullahaladzim, author meleleh. Abang kok jadi manis sih. Mau jugaa dipanggil sayang... Huaa

Abang Daniel said : "eh, Thor, suami sendiri kan ada. Sono suruh peluk. Gue udah ada Anan, ga minat mau nambah lagi."

Jahadddd emang sadiss....

Oke, abaikan😂

Selamat membaca syayang
Udah sebulan, sepuluh hari kita kagak jumpaaa ya.

Aceh, 13 Oktober 2020


Nah, mau kenalan sama Aisha, buHamil sensi?👇




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top