|L I M O N G|

بسم الله الرحمن
Part 5
---


RnM corp, adalah sebuah perusahaan yang bergerak dibidang properti. Perusahaan yang sudah dirintis selama Tiga belas tahun itu, kini maju dengan pesatnya.

Gedung dengan delapan lantai itu berdiri megah nan indah. Tempatnya yang strategis, ditambah lagi dengan luaran kantor yang nyaman dan sejuk dipandang mata.

Walau masih ada perusahaan-perusahaan lain yang lebih besar, tapi percayalah perusahaan RnM corp sudah ada dihati investor yang tersebar di seluruh Indonesia. Bahkan, beberapa negara di Asia tenggara bekerja sama dengannya.

Tangguh, kreatif, kekompakan, serta memegang prinsip awal. Itu adalah pegangan perusahaan RnM. Semua karyawan harus bisa solid, bekerja dengan keras itu juga prinsip mereka.

Semua lampu dinyalakan, pertanda malam sudah tiba. Semua karyawan pun satu jam yang lalu sudah pulang, kecuali yang lembur.

Begitupun dengan Ananda, gadis cantik itu sangat letih. Seluruh badannya seolah rontok, tak berdaya.
Proyek yang ditangani kali ini menguras tenaganya. Membangun perumahan elit dikawasan Jakarta, itu tender mereka sekarang.
Sebenarnya, itu bukan hal sulit bagi perusahaan RnM corp, mereka sudah banyak meng-handle proyek seperti itu. Yang jadi kendala adalah kliennya, pria paruh baya yang akhir-akhir ini sering bertemu dengan Ananda.

Apapun yang dipresentasi oleh tim Ananda, tak ada yang sesuai dimatanya. Bahkan, saat mereka menunjukkan desain perumahan yang sudah mereka kerjakan berminggu-minggu dan sempurna, tetap saja ada yang kurang dimata pria berkepala plontos itu.

Terpaksa, mereka harus men-desain kembali seperti kemauan pak tua itu.
Ananda beristighfar, baru kali ini dia mendapatkan klien yang ceriwis tingkat dewa.

Sampai di rumah, dengan sisa tenaga yang tersisa Ananda menggapai kamarnya. Baru memasuki ruang utama, Ananda dikejutkan oleh kedua orangtuanya. Mereka terlihat sedang ngobrol, jarang sekali jam segini mereka masih betah di ruang santai ini. Dan lebih mengejutkan lagi bagi Ananda, tiba-tiba papinya, Rahmat Saddam, menyuruh dirinya untuk duduk.

Tak menjawab, Ananda mendudukkan bokongnya di sofa single itu, berhadapan dengan mereka.

"Mami sama Papi, mau ngomong sesuatu sama kamu." Ujar Maminya antusias. Ananda mengeryit, apa gerangan yang membuat sang Mami seantusias ini.

"Iya, Mi. Ada apa?" Bukannya Ananda terkesan agak ketus, tapi percayalah dirinya sekarang sangat lelah. Matanya bahkan butuh dipejamkan. Sekarang hampir jam sembilan malam, dan Ananda masih dengan pakaiannya yang sama seperti tadi pagi ke kantor.

Berdehem, "Papi sama Mami mau menjodohkan kamu sama anak teman papi, rekan bisnis papi juga." Lanjut Rahmat, papinya.

Mencerna, Ananda membulatkan matanya setelah paham.

"Anan nggak mau, Pi. Anan nggak mau dijodohin seperti itu, Anan mau cari suami sendiri." Jawab Ananda masih biasa.

"Anan, sayang... Mami sama papi udah bicara sama temannya papi itu. Dan mereka setuju, lagian anaknya itu ganteng kok." Imbuh Melika, maminya.

"Anan tetap nggak mau, Mi. Anan masih bisa cari suami sendiri. Anan nggak mau dijodoh-jodohin,"

"Umur kamu udah 25, Anan. Sampai sekarang belum ada satu laki-laki pun yang kamu kenalkan sama Papi dan Mami. Kamu lihat, teman-teman kamu semuanya udah nikah, Aisha udah nikah kemarin. Maisya apalagi, udah punya anak satu,"

"Kamu mau nunggu apalagi?" Sambung papinya tegas.

"Pi, jodoh itu bukan ajang main-main. Bukan suatu hubungan yang mudah, semuanya butuh kesiapan. Dan Anan belum siap untuk itu."

Ananda tau, setiap kemauan kedua orang tuanya mereka akan tetap kekeuh. Ananda bosan dengan semua ini. Kapan hidupnya berakhir bahagia?

"Belum siap? Mau sampai kapan Ananda. Mami udah tua loh, pengen punya cucu. Teman-teman mami yang sebaya mami udah punya cucu semua, bahkan cucunya ada yang udah SD."

"Mi, ngertiin Ananda. Kalau sudah waktunya dan Allah berkehendak. Pasti Ananda akan siap, dan menikah. Tapi, bukan sekarang," lirih Ananda memohon.

"Enggak, papi tetap bakalan jodohin kamu sama anak temannya papi itu!" Tegas papinya, Ananda menatap sang papi lekat. Memelas dengan segala keibaan.

"Anan nggak mau, Pi. Tolong kali ini saja ngertiin perasaan Anan." Lirih gadis cantik itu dihadapan kedua orang tuanya.

"Nggak, kamu harus terima perjodohan ini. Papi udah atur semuanya, minggu depan keluarga temannya papi bakalan kesini, untuk ngelamar kamu."

"Anan nggak mau dijodohin!" Gadis itu sedikit meninggikan suaranya, "papi sama mami tolong ngertiin Anan untuk kali ini. Udah cukup selama ini kalian ngatur hidup Anan, Anan capek."

"Apapun keputusan kamu, perjodohan itu tetap berlanjut."

"Terima saja, Nak. Ini juga untuk kebaikanmu sendiri. Dia laki-laki yang baik, mami udah kenal dia. Kalo kamu terima perjodohan ini, perusahaan kita dan perusahaan temannya papi itu akan digabungkan. Dan itu, kesempatan emas bagi kita. Perusahaan kita bakalan tambah kuat lagi."

Tersentak.

Ananda mematung dengan tatapan sendu. Kedua mata indahnya, menatap kedua orangtuanya dengan kosong. Dan sekarang, dia paham. Kenapa kedua orangtuanya sangat bersikeras dengan perjodohan ini.

Ada maksud terselubung.

Ruang lingkup Ananda seakan kehabisan oksigen. Tidak! Ananda tidak menitikkan air mata. Seakan air matanya itu sudah lelah untuk keluar.

"Jadi, kalian rela menggantikan apapun itu berbekal putri kandung kalian sendiri. Bahkan, aku sama saja seperti barang yang digadaikan untuk kepentingan pemiliknya?"

• • •

Ananda menangis dalam diam, hatinya sakit bak ditikam sembilu. Perihnya tak bisa dijabarkan, sesak di dadanya tak bisa didefinisikan.

Tak habis pikir dengan kedua orangtuanya, sampai tega melakukan perjodohan dengan niat perusahaan mereka. Allah!! Kenapa Ananda merasakan perih yang tak berujung.
Selama ini dia selalu mematuhi apapun yang disuruh dan diatur oleh keduanya. Tapi, dia tidak bisa dengan perintah kali ini. Ananda masih belum siap, dia takut dengan pernikahan.

Setelah perdebatan alotnya satu jam yang lalu, Ananda masuk ke kamarnya. Meratapi nasib yang selalu tak berpihak padanya. Penampilannya sekarang bahkan tidak terlihat baik, baju kemeja hitam yang sudah acak-acakan. Hijabnya yang sudah miring, serta mata yang sudah sembab, memerah.

Tak seperti gadis umumnya, yang memiliki kasih dan sayang berlimpah. Diusia yang sudah memasuki 25 tahun, hidup Ananda masih belum berubah.

Dilihatnya jam dinding, hampir pukul sebelas malam. Dia belum shalat isya, dan bahkan belum membersihkan dirinya. Niat awalnya tadi, setelah pulang kantor dia langsung membersihkan diri, lalu shalat isya dan langsung tidur.

Dan sekarang, cuman buaian semata. Lelah yang tadinya bertambah berkali lipat, dengan fakta yang didapat malam ini.

Diraihnya gagang pintu kamar mandi, Ananda masuk untuk membersihkan dirinya. Lalu, mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalatnya.

Ananda butuh menumpahkan semua keluh kesah pada Rabb-Nya. Agar dia bisa berpikir dengan jernih, dan tidak gegabah nantinya.

Sejenak, aku menepi. Mencerna takdir yang Tuhan gariskan. Ternyata, semua bukan halusinasi.

                              ~ Ratu Ananda Shazia

• • •

Keesokan harinya, Ananda menjalani aktivitas seperti biasa. Dan pagi ini dia bersiap-siap lebih awal untuk ke kantornya. Di meja makan Ananda melihat kedua orangtuanya sedang sarapan, Ananda memilih mengacuhkan keduanya. Lebih baik dirinya sarapan di kantin kantor saja, dia masih tak sanggup menerima kenyataan semalam.

Maminya memanggil untuk sarapan bersama, tapi Ananda seakan tuli. Dia malah melanjutkan langkahnya.
Sampai di dalam mobilnya, Ananda beristighfar. Dia tidak bermaksud menjadi anak yang durhaka. Dia cuman tidak mau lepas kendali, dan malah membentak kedua orangtuanya nantinya.

Mengendarai Audinya hampir satu jam, Ananda sampai di kantor. Masih belum ramai, karena ini masih terlalu pagi, dan belum waktunya masuk. Ananda langsung kedalam ruangannya, mengabaikan beberapa karyawan yang menyapanya. Sungguh, hatinya saat ini sedang kacau_ tidak baik-baik saja.

"Ibu boss kenapa yak? Tumben nggak bales nyapa," timpal salah satu karyawati.

"Lagi ada masalah kali, mukanya aja nggak bersahabat gitu." Jawab karyawati lainnya yang ada di meja resepsionis.

"Naon masalahna? Kasian pisan atuh ibu boss geulis," Ujar karyawan ganteng itu berlogat Sunda.

"Cantik aja yang dipikirkeun, dasar buaya Sunda!!" Celetuk karyawati tadi, dan mereka pun tertawa. Sedangkan karyawan berlogat Sunda itu, sudah menggerutu tiga wanita di depannya.

Lain halnya dengan Ananda, gadis itu duduk dengan tatapan kosong di kursinya. Sebelah tangannya menumpu dagunya. Pikirannya berkelana.

Jam kantor sudah dimulai, tapi Ananda tidak fokus. Matanya fokus menatap laptop, tapi hatinya tidak. Gadis itu membaca laporan yang sudah direvisi, tapi dia sendiri tidak tau apa yang dibacanya. Otak sama hatinya sedang tidak sinkron.

Mendesah lelah, Ananda menutup laptopnya. Diliriknya jam yang masih pukul 09.00 wib, jam makan siang masih lama. Ya Allah! Ananda butuh tempat bercerita.

Tapi dia sadar diri, dia tidak mau terus-terusan menjadi beban sahabat-sahabatnya. Aisha, dia masih menikmati bulan madunya bersama suami tercinta. Dan Maisya wanita itu juga sedang sibuk dengan mahasiswanya, bulan ini adalah bulan ujian final para mahasiswa.

Ananda tidak mungkin merecoki mereka saat ini, perlu waktu yang pas untuk bercerita pada mereka. Menunggu Aisha pulang dari bulan madu, dan Maisya yang berkutat dengan nilai mahasiswa.

Ananda keluar dari ruangannya, menghampiri Shinta di mejanya.
"Shinta, kosongkan jadwal saya untuk hari ini. Saya mau keluar, dan tidak kembali lagi kesini." Ujar Ananda langsung. Sekretarisnya itu terhenyak, kaget dengan ibu boss nya datang tiba-tiba.

"Eh, tapi Bu__"

"Kosongkan saja." Potong Ananda. Lalu, gadis itu menghilang, masuk dalam lift.

Shinta terbengong-bengong dibuatnya, selama bekerja disini atasannya itu tidak pernah seperti itu. Selama setahun ini juga Shinta tidak pernah mendapati Ananda dingin seperti tadi. Bergidik, Shinta menggelengkan kepalanya.

"Apa itu bukan ibu boss ya? Jangan-jangan kembarannya," racau Shinta seorang diri.

• • •

Menteng, menjadi tempat persinggahan Ananda. Entah kenapa, tiba-tiba Ananda menghentikan mobilnya di depan taman itu. Taman yang berada di jalan HOS Cokroaminoto itu masih terbilang sepi. Hanya ada beberapa orang yang hilir mudik. Ananda menelusuri taman itu, berharap hatinya baik-baik. Dia lebih memilih untuk menepi sejenak, mengistirahatkan hatinya yang kacau balau.

Ananda duduk, memandang air mancur itu dengan seksama. Menikmati angin yang membelai wajahnya. Untuk hari ini biarlah gadis itu menjelajahi beberapa tempat untuk dinikmati. Untuk memulihkan hatinya.

Sejam berlalu, Ananda beranjak dari taman itu. Waktu zhuhur pun akan tiba beberapa saat lagi. Gadis itu memilih melajukan mobilnya lagi untuk mencari mesjid dan habis itu juga akan makan siang.

Masih didalam mobil, Ananda berhenti karena lampu merah. Kemacetan pun mulai melanda.
Tak lama setelah itu, Ananda berhenti di sebuah Mesjid. Gadis itu tak sempat berjamaah bersama, dia bergegas menuju tempat wudhu.

Di pojok mesjid paling belakang, Ananda melaksanakan shalat zhuhurnya seorang diri. Ananda melihat kelompok ibu-ibu yang sedang melaksanakan pengajian, masih dengan mukenah mereka masing-masing. Ananda mendekat ke arah mereka, duduk paling belakang di samping ibu yang berkacamata.

Ketika ibu itu menoleh, gadis itu tersenyum menyapa. Dan ibu itu pun membalas dengan ramah. Dilihatnya seorang ustadzah di depan sedang mengisi kajian, Ananda mendengar walau kajian itu sudah berjalan setengah.

"Ibu-ibu disini semuanya udah punya suami kan?" Serentak semuanya menjawab iya, kecuali Ananda.

"Walau sudah bersuami, berbakti kepada kedua orangtuanya itu juga wajib. Sekarang tugas kita mengajarkan anak-anak kita untuk berbakti kepada kita, orang tuanya sendiri. Apalagi ibu, biasanya seorang anak sangat dekat dengan ibunya. Bagi anak, ibu adalah segala-galanya."

"Ibu-ibu masih ingat hadist ini?
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, belia berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.'” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548)

tanpa ibu dan Ayah, kita tidak akan pernah lahir kedunia. Tanpa mereka kita tidak akan besar seperti sekarang ini."

Ibu-ibu itu meresapi perkataan ustadzah itu, ada beberapa dari mereka yang menitikkan air mata. Mungkin mereka rindu pada orang tuanya yang sudah tiada? Dan merasa belum bisa membahagiakan kedua orangtuanya semasa hidup.

Tak ayal Ananda, gadis itu meresapi setiap perkataan. Menyentuh relung hatinya yang paling dalam. Ada sesuatu yang tergerak untuk disampaikan.

Salah satu ibu-ibu yang menangis itu menunjukkan tangannya, ingin bertanya pada sang Ustadzah.

"Ustadzah Ulya, ibu dan bapak saya sudah tiada. Dan selama hidup mereka, saya belum bisa berbakti kepada mereka, bahkan saya selalu melawan apa yang dikata beliau. Saya sungguh menyesal, saat mereka pergi tanpa kembali lagi." Ananda menatap iba ibu itu yang sudah menangis sesugukan, sedang ibu yang di sampingnya mengusap bahu ibu itu pelan.

"Menyesal itu memang ketika akhir Bu. Untuk menebus semua itu Ibu Ania cukup dengan mengirimkan doa kepada mereka, sebanyak-banyaknya. Dengan itu, rasa menyesal ibu akan sirna. Dan ingat Bu, semua orang punya masa lalu yang kelam. Bahkan, saya juga pernah punya. Yang bisa kita lakukan ketika sadar adalah taubat. Taubat dengan sebenar-benarnya taubat."

Tersentak. Semua ibu-ibu itu tersentak mendengar penuturan ustadzah Ulya.

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: رِضَا الرَّبِّ فِى " الرِّضَا الْوَالِدَيْنِ وَ سَخْطُهُ فِى سَخْطِهِمَا 

Artinya: Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah bersabda,”Ridha Rabb terletak pada ridha kedua orang tua dan murka-Nya terletak pada kemurkaan keduanya.” (Riwayat Ath Thabarani)."

Terpekur dengan hadits ustadzah Ulya sebagai penutup. Ananda nelangsa, hatinya gelisah hebat. Melipat mukenanya dengan tidak semangat, bahkan terlihat seperti mayat hidup. Jika bisa memilih, mendingan dirinya saja yang dipanggil oleh Allah terlebih dahulu, dulu.

"Apa dengan menerima perjodohan itu aku bisa mendapatkan Ridha Mami sama Papi? Dan kasih sayangnya kembali?"

TBC

Huwaiiy!!! Dua ribu lebih aku ngetik gans... Ternyata lelah juga🤧

Kayak hati yang entah sampai kapan tidak bertuan... Hahahaha

Sampai jumpa!!! Di part selanjutnya 🖤

Sumber hadits http.muslimah.or.id

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top