|L H E E B L A H|

بسم الله الرحمن الرحيم
Part 13
---


"Sha, itu bukannya Daniel. Suami Anan,"

Ucapan Maisya menarik atensi Aisha yang sedang melahap makan siangnya. Wanita itu melihat ketitik yang ditunjuk Maisya.

"Iya, itu Daniel. Kayaknya makan siang disini juga."

"Hmm,"

Yang menjadi objek kedua wanita itu sangat jauh dari tempat mereka. Disana, ada tiga orang pria dan satu perempuan yang juga sedang makan siang, sepertinya? Maisya meneliti dengan seksama, gestur tubuh sang perempuan. Yang terlihat sedang menggoda Daniel.

"Liat deh, Sha, wanita di sebelah Daniel. Ganjen banget keliatannya, pakek bantuin Daniel ambil minuman," gerutu Maisya, wanita itu sungguh tidak suka melihat pemandangan seperti itu. Lebihnya, itu adalah suami dari sahabatnya.

"Iya, itu si mbaknya udah pakek baju kekurangan bahan, make up menor, kagak malu apa yak." Tambah Aisha.

Kedua wanita itu akan menjadi penatap hebat, saat sedang mengintai mangsanya. Mata mereka akan berubah menjadi jernih.

"Mai..."

"Hmm,"

"Kamu ngerasa nggak, sih, kalau Daniel itu terlalu dingin dan datar sama Anan." Aisha mengungkapkan kegelisahannya selama ini.

"Maksudnya? Aku kok nggak ngerti, Sha."

"Dari pertama kita lihat Daniel, saat lamaran beberapa bulan lalu, dia terlihat acuh tak acuh dengan lamarannya. Saat itu, aku abai karena mungkin aku salah mengira. Dan pada akad tiba, dugaan aku itu semakin kuat saat memperhatikan tatapan matanya ke Anan. Nggak tau gimana aku mau jelasin, pokoknya tatapan Daniel ke Anan itu beda. Nggak ada minat, nggak ada cinta, dan sorot matanya seperti ada sesuatu."

Diam. Maisya mendengar dan mencerna perkataan Aisha. "Mungkin Daniel tipe laki-laki seperti Mas Haris, Sha. Mas Haris kan orangnya dingin, nggak banyak ngomong juga." Elak Maisya.

"Mai, aku bisa membedakan mana tatapan sayang dan cinta seseorang terhadap pasangannya. Ini beda, Mai!
Mas Haris itu walau dingin tapi, saat dia natap kamu ada cinta yang begitu jelas terpampang. Tapi, Daniel itu seperti ah, entahlah." Aisha mulai frustasi dengan pikirannya sendiri.

"Sha," Maisya dengan lembut meraih tangan Aisha. "Itu mungkin perasaan kamu saja, kita tau kalau mereka nikah juga karena perjodohan. Mungkin juga, waktu itu mereka belum terbuka satu sama lain. Mereka toh, waktu itu baru kenal. Dan sekarang, terhitung sudah sebulan mereka menikah, dan pasti mereka baik-baik saja."

"Nggak, Mai, kamu tau kan kemarin lusa aku ke rumah baru Anan. Disana, aku juga ketemu Daniel. Saat aku baru sampai, Daniel juga kebetulan ingin keluar. Anan bertanya hendak kemana, tapi Daniel nggak menjawabnya malah melengos pergi gitu aja. Yang membuat aku kepikiran sampai sekarang, wajah sedih Ananda saat itu, yang ditutup-tutupi sebaik mungkin dihadapan aku." Cerita Aisha panjang lebar.

Maisya terpekur, mendengar cerita Aisha. Wanita itu tidak percaya dengan ini semua. Selama ini, dia tidak pernah memperhatikan Daniel dan sikapnya. Dia pikir, sikap laki-laki itu sama seperti suaminya, yang dqtar dan irit bicara. Maisya gelisah, tentu saja. Wanita itu memikirkan akan rumah tangga sahabatnya itu.

"Sha, kita jangan suudzon dulu. Mungkin saat itu, ada perdebatan kecil antara mereka. Atau mungkin waktu itu Daniel buru-buru, tidak mendengar pertanyaan Ananda. Sebagai sahabat Anan, kita harus mendoakan rumah tangga dia baik-baik saja." Bukan cuma menenangkan
hati Aisha, tapi Maisya menenangkan hatinya pula. Menyugesti dirinya sendiri, bahwa Ananda dan rumah tangganya akan baik. Dan Ananda mendapat kebahagiaannya.

"Iya, semoga Anan bahagia. Kasihan dia, jika terus saja berkubang dengan kesepian dan tekanan dari orang tuanya." Lirih Aisha, dan diangguki oleh Maisya.

Kedua wanita itu diam, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Kedua sahabat Ananda itu begitu peduli pada kehidupan Ananda. Dengan tulus dan ikhlas.

• • •

Suara riuh memenuhi kediaman Madava. Rumah besar itu sekarang dipenuhi oleh anak, menantu, serta cucu-cucu mereka. Akhir pekan ini, sang kepala rumah tangga sengaja mengajak keluarganya untuk berkumpul. Bapak Gaza sudah sangat rindu dengan kelima cucunya.

Rumah besar itu sekarang dipenuhi oleh teriakan dan jeritan anak-anak. Suara ketawa, merengek, mengadu pada kakek mereka, bahkan juga ada yang menangis karena dijahili oleh satu sama lain.

"Tante Anan! Kak Nara jahat, sembunyiin boneka baru yang Wawa beli kemarin sebelum kesini." Ananda menoleh mendekati keponakan Daniel yang dipanggil Wawa itu.

"Wawa yakin, kalau kak Nara yang sembunyiin?" Anak yang berusia enam tahun itu mengangguk polos.

Sedangkan yang menjadi ulah dari semua ini, terkekeh geli diujung sana.

"Ayo, kita cari bonekanya, Tante juga bakalan bantu Wawa."

Sedikit informasi, Wawa ini adalah keponakan dari kakak kedua Daniel. Daniel mempunyai dua Kakak, yang pertama bernama Freya, dan yang kedua bernama Tazkia. Kakak kedua Daniel ini tinggal di luar kota, mengikuti suaminya.

Freya yang memiliki anak tiga, diantaranya Nara yang sekarang sudah kelas 5 SD. Kedua, si tampan Nino yang masih kelas 3 SD, dan si kecil Naina yang masih TK.

Sedangkan, Tazkia, wanita yang berumur 32 tahun itu baru memiliki dua orang anak. Wawa dan si balita Brian yang masih 3 tahun.

"Kakak, mana bonekanya Wawa?" Tanya Ananda saat dirinya sudah lelah mencari boneka Wawa.

"Enggak Tante, kakak nggak sembunyiin bonekanya Wawa. Wawa tuh kali taruhnya dimana, udah lupa mungkin dia. Masak nuduh kakak tanpa ada bukti, kakak nggak terima ya." Ananda pusing, bocah kelas 5 SD itu terlalu pandai mengelak. Ananda juga tau, dan pasti kalau Nara yang mengambilnya. Terbukti, saat mata jahilnya itu mengerling Wawa yang sudah menangis.

"Wawa jangan nangis dong, nanti Tante Anan beli yang baru ya. Tante Anan janji," Wawa masih saja tak mau diam. Gadis kecil yang sudah Ananda ketahui cengeng itu, sangat susah dibujuknya.

Ananda menepuk-nepuk punggung Wawa, dan sesekali mengusap air mata gadis kecil itu. Juga menenangkan Wawa untuk berhenti, tapi nihil. Ananda bingung sendiri, untuk mendiamkan Wawa. Selama ini dia tidak pernah kewalahan menjaga anak kecil, selama itu bersama Agiel. Agiel tidak pernah merengek dan menangis saat bersama dirinya.

Ingat Agiel, Ananda jadi merindukan bocah tampan itu. Sudah beberapa Minggu ini dia tidak bertemu dengan Agiel. Terlalu sibuk dengan pekerjaannya di kantor, dan rumah tangganya yang masih terombang-ambing.

Tak lama, knop pintu kamar dibuka. Ternyata Daniel, laki-laki itu dengan santai masuk. "Wawa, kenapa?"

Wawa yang berada pada pelukan Ananda, langsung bangun dan berlari ke arah Daniel. Gadis kecil itu mengadu pada om-nya.

"Kakak, kemanain boneka adeknya?" Tanya Daniel langsung, Nara yang sibuk dengan ponselnya tak menggubris pertanyaan Daniel.

"Wawa jangan nangis lagi, diam ya. Nantik sore kita jalan-jalan deh, jangan ajak kak Nara." Bagai ditiup mantra, Wawa langsung diam dalam pelukan Daniel. Air mata di pipi berisinya Wawa pun diusap lembut Daniel.

"Gelato, Bambo Charcoal with vanilla Bean?"

Dengan segera Nara menoleh ke arah Daniel, lalu tatapan tidak terimanya menghunus begitu tajam. "Om Daniel jangan pilih kasih deh, Nara selalu ajak Om Daniel traktir gelato. Tapi nggak pernah mau,"

"Yah, siapa suruh dong kakak ngejahilin Wawa. Sampek nangis pula," jawab Daniel tak mau kalah.

"Kakak kan yang sembunyiin, bonekanya? Kalau jawab jujur, nanti bakalan om pertimbangkan buat ajak kakak,"

Mendengus, Nara beranjak lalu mengambil sesuatu di dalam kamar mandi kamar itu. Boneka. Dengan enggan dia menyodorkan boneka little pony kecil pada Wawa.

Ananda yang sedari tadi diam, memperhatikan mereka. Dia menatap Daniel tanpa kedip, pria itu begitu hangat dengan keponakannya. Akankah jika mereka punya anak, Daniel akan bersikap demikian?

Ananda menggeleng cepat, saat pikirannya sudah melayang entah kemana. Dalam hati gadis itu terkekeh geli, bagaimana mau punya anak. Selama hampir tiga bulan menyandang status istri. Suaminya itu tidak pernah menyentuhnya.

Miris!

Ananda seperti istri yang tidak diinginkan.

Oh, tidak, bukan sepertinya. Memang Ananda istri yang tidak diinginkan.

Catat itu.

Dengan Daniel bersikap layaknya teman saja, Ananda bersyukur.

• • •

Seperti janjinya siang tadi, Daniel memboyong keponakannya ke kedai gelato. Tidak semua, hanya Nara, Wawa, dan Brian. Nino tidak ikut, bocah tampan itu memilih memancing dengan kakeknya. Dan Naina, gadis kecil itu saat mereka berangkat masih tertidur pulas.

Tadinya, Daniel berniat pergi dengan keponakannya saja. Tanpa Ananda, tapi dengan tatapan melotot Bunda Lulu. Daniel paham, sangat paham, bahwa dirinya harus mengikutsertakan Ananda.

Sabtu sore, Alphard milik Papa Gaza sudah mendarat tepat di depan kedai gelato. Dengan riang, kedua bocah itu turun. Diikuti Ananda yang menggendong si kecil Brian.

"Kamu kesusahan?"

Tanya Daniel saat melihat Ananda menggendong keponakannya, pria itu juga heran. Kenapa kelima keponakannya itu sudah seakrab itu dengan Ananda.

"Nggak kok,"

Sesampainya di dalam, mereka duduk di pojokan. Seorang pelayan menghampiri mereka, menanyakan apa.saja yang di pesan.

"Nara mau dua, coklat sama strawberry. Terus dikeduanya kasih topping keju yang banyak, ukuran besar." Daniel melongo melihat keponakan pertamanya itu. Sungguh fotocopy ibunya. Cerewet, suka jahilin orang, dan keras kepala.

"Kak Nara yakin bisa ngehabisin dua porsi sekaligus? Sanggup?" Tanya Ananda, setelah pelayan itu pergi.

Tanpa ragu, Nara mengangguk. "Bahkan, Nara bisa loh menghabiskan lima porsi dalam waktu bersamaan. Tante Anan pasti nggak percaya kan?"

Ananda yang ditanyai begitu, tidak bisa menjawab. Hanya mengangguk saja. Ada-ada saja, tingkah gadis sebelas tahun itu.

Sesaat, pesanan mereka datang. Wawa yang sangat antusias, dia gelatonya dengan khidmat tanpa bicara. Tidak seperti Nara, mulutnya itu tidak bisa diam barang sedetik. Ada saja pertanyaan, untuk Daniel dan Ananda. Gerutuan pun ikut disertakan, saat Daniel malah mengabaikan pertanyaan yang tidak penting untuk dijawab.

"Tante, Tante Anan kok mau sih, nikah sama Om Daniel?"

Ananda yang ditanyai, bingung harus menjawab apa. Untung saja dia tidak sedang minum atau apa, jika iya, pasti dia akan tersedak. Diliriknya Daniel, yang juga meliriknya. Pria itu hanya diam saja, tanpa mau menyela.

"Mungkin sudah takdir Tante, berjodoh dengan Om Daniel."

Hanya itu yang keluar dari mulut mungil Ananda. Benarkan jawabannya? Pernikahan mereka takdir bukan? Jawaban klasik, sejuta ummat yang sering digunakan. Ananda tidak mungkin menjawab dengan jujur, kalau pernikahan dirinya terjadi karena terpaksa dari kedua belah pihak. Lagian, bocah sekecil Nara mana ngerti.

Setelah pertanyaan itu, Daniel menyuruh Nara untuk diam dan melanjutkan menghabiskan gelatonya. Tentunya dengan ancaman, gadis itu baru mau diam. Meneladeni gadis tanggung itu, butuh energi yang lumayan juga.

"Kalian langsung ke mobil aja, Om Daniel mau bayar dulu." Kata Daniel yang ditujukan pada Nara.

Ananda, Nara, Wawa, dan Brian yang ada dalam gendongan Ananda pun langsung ke tempat parkir mobil.

Mobilnya terkunci, jadinya mereka tidak bisa masuk duluan. Dan terpaksa harus menunggu Daniel dulu. Decakan-decakan Nara mulai keluar, bibir gadis itu mulai mencerca omnya sendiri.

"Ananda!"

Sapaan itu membuat Ananda menoleh, dan tersenyum saat orang yang menyapanya adalah Safir. Suami sahabatnya, Aisha. Dan di belakangnya ada seorang laki-laki yang tidak Ananda kenal.

"Mas Safir! Hai, Mas, sendiri nih? Nggak ada Aisha?"

"Aisha nggak ikut, katanya males. Padahal dia kan suka banget gelato, ini mas kesini bareng teman," Safir melirik laki-laki yang sudah berada di sebelahnya.

"Hai, kita bertemu lagi."

Ananda mengeryit, bingung dengan maksud laki-laki di samping Safir. Bertemu lagi? Sepertinya dia tidak pernah bertemu dengan laki-laki itu?

"Kamu nggak ingat?" Tanya laki-laki itu saat melihat mimik wajah Ananda yang kebingungan. "Seriously? Kita pernah ketemu saat pernikahannya Safir, masak nggak ingat. Orang yang nggak sengaja numpahin minuman di baju kamu?"

Seperkian detik, Ananda mengangguk lalu tersenyum seadanya. "Ah, ya, saya ingat."

"Kalian pernah ketemu?" Tanya Safir ikutan bingung, dan diangguki oleh laki-laki itu dengan antusias.

"Jadi, berhubungan waktu itu kita belum berkenalan. Sekarang, aku mau memperkenalkan diri aku, kenalkan nama aku Imam Agraha. Panggil saja imam, atau Mas Imam juga boleh."

"... Atau Mas Imammu, juga boleh deh."

"Ananda."

"Receh banget Lo, Mam. Ananda, jangan ladenin recehan dia ya? Dia emang rada-rada nggak jelas orangnya." Ujar Safir tertawa meledek.

"Iya, Mas Safir. Nggak apa-apa kok,"

"Resek Lo, Fir." Gerutu Imam pada Safir.

"Eh, ini bocah-bocah siapa? Ganteng banget sih," sambung Imam, dan menoel pipi tembam Brian di gendongan Ananda.

"Ini keponakan, Mas. Nara, Wawa, Salim sama Omnya,"

Merasa namanya dipanggil, mereka mengangguk lalu menyalami kedua laki-laki itu.

"Om Imam, ganteng ya." Cicit Nara malu-malu. Tapi cicitannya itu terdengar di telinga mereka semua. Ananda sampai istighfar dalam hati, gadis sekecil itu, sudah paham akan hal begituan?

"Wohoo, iya dong cantik. Itu pasti, kamu suka sama Om?" Dengan malu juga, Nara mengangguk. Safir yang berada di samping Imam, tertawa melihat Nara yang seperti salah tingkah saat Imam mencubit pipinya gemes.

"Eh, Mam. Ingat itu anak kecil, jangan Lo baperin. Bisa berabe," Ananda ikut terkekeh saat Safir berujar.

"Enggak kok, aku sama tantenya aja." Lirih Imam dengan jenaka, tak ayal matanya ikut menatap Ananda dengan kekehan.

"Ehhem..."

Suara deheman yang cukup keras, dan sarat akan makna itu mengalihkan atensi mereka. Daniel, entah sejak kapan, laki-laki itu sudah berada dekat dengan mereka.

"Hai, bro. Apa kabar?" Sapa Safir duluan, memecahkan kecanggungan.

"Baik, Alhamdulillah. Mas sendiri?" Jawab Daniel, dan menjabat tangan Safir santai.

"Seperti yang kamu lihat, baik. Eh, iya kenalin ini teman aku,"

"Imam." Imam mengulurkan tangannya, dan dibalas oleh Daniel.
"Daniel, suaminya Ananda."

Terpaku sesaat, tanpa melepaskan tautan tangan mereka. Imam mencerna kata suami yang ditekankan lawan bicaranya. Setelah mengerti dia jadi kikuk sendiri. Ternyata wanita yang di depannya kini sudah bersuami.

"Kami, duluan ya Mas. Udah sore banget juga." Ujar Daniel, lalu menatap Imam dengan datar hanya mengangguk sekilas. Untuk sekedar kesopanan.

"Ananda duluan ya, Mas Safir, Mas Imam. Oh iya, Mas salam ya buat Aisha, sehat-sehat sama kandungannya." Ujar Ananda sebelum masuk mobil.

"Iya, makasih doanya Anan."

Setelah mengucapkan salam, Ananda langsung masuk mobil. Dan Alphard putih itu langsung melesat.

"Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh." Jawab keduanya kompak.

"Fir," Yang dipanggil pun menoleh. "Jadi gini ya, rasanya kalah sebelum berjuang."

"Hah? Maksudnya apa, kesambet Lo?"

"Perasaan gue, udah patah duluan sebelum tumbuh hingga pucuknya."

Safir melongo.

"Jadi, gadis yang waktu itu Lo cerita, di pernikahan gue... Ananda?"

"Iya, dia. Gadis suara datar,"

Tertawa, Safir tertawa dengan kerasnya. Bukannya memberi ucapan berduka cita kepada temannya, laki-laki itu lebih dulu menertawakan Imam. Imam yang sudah seperti kehilangan semangat hidup, menggerutu Safir habis-habisan.

"Teman berakhlak sekali, what a great attitude you are. Harus gue ancungin jempol."

Ucap Imam menggebu-gebu, lalu melengos meninggalkan Safir yang masih dengan tawanya.

TBC

Selamat bertemu kembali!

Nah, hayoo kalian bisa nangkep apa nih, di part ini??

Ada tokoh baru tuh, pelet sana. Nara aja syukaa😂

Aceh, 29 Agustus 2020

Bonus foto alaynya, Anan yang kecehhh🖤 Ini author curi di galerinya Anan.... Hahahah

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top