CINTANYA

Wanitaku: Sayang, sepi. Sini main ke rumah.

Jika pesan itu masuk, tidak butuh waktu lama untukku bisa sampai di kediamannya.

Wanitaku: Sayang, kangen.

Tidak jauh beda, jika pesan yang lain itu masuk, tidak butuh waktu lama untukku bisa sampai ke kediamannya.

Wanitaku: Sayang, laper. Makan, yuk.

Kurasa, aku memang orang yang baik. Ketika wanitaku membutuhkan aku, aku selalu berada tepat di sampingnya. Aku akan selalu siaga dua puluh empat jam untuk dirinya.

Ah, betapa bucin-nya aku.

"Babe, ih, kok diem aja sih?! Kamu dengerin aku enggak?!"

"Iya, dengerin kok. Aku diem itu karena lagi dengerin kamu cerita."

"Huh."

Wanita itu mendengus kesal. Menggemaskan. Terberkatilah mataku. Wanita yang sedang duduk di hadapanku ini bercerita dengan penuh semangat menceritakan teman-teman kantornya yang unik-unik. Setiap kata yang keluar aku dengarkan dengan baik. Bibir merah delimanya bergerak sesuai kata-kata yang keluar. Ingin rasanya kucicipi bibir merah delima itu. Ingin rasanya kubawa dia ke alam kenikmatan tiada tara.

Ah, apa yang aku pikirkan!

"Kamu nih kebiasaan. Kalau makan jangan kayak anak kecil dong. Sudah tua kok makan masih belepotan gini."

Setiap kali kulitnya bersentuhan dengan kulitku, rasanya—sungguh, sampai-sampai aku tidak bisa mendeskripsikannya. Pokoknya—ya begitulah.

Ingin rasanya kupegang jari jemari itu yang menyapu sudut bibirku, lalu akan kugenggam, dan kemudian kukecup dengan penuh cinta. Ah, tapi apalah daya, rumah makan cepat saji tempat kami makan saat ini sedang ramai pengunjung.

"Habis makan, nanti ke mall ya? Aku pengen cuci mata nih."

Aku hanya mengangguk. Apapun akan aku lakukan untuknya. Apapun akan aku berikan untuknya. Dalam sekali kedip, semua yang dia inginkan pasti terwujud. Percayalah.

**

"Aku pengen banget punya anak. Biar rumah nggak sepi gitu."

Sudah bukan rahasia lagi kalau Nirmala— Tunggu, apakah aku sudah memperkenalkan nama wanitaku?

Belum ya?

Baiklah, akan aku perkenalkan terlebih dahulu. Dia adalah Nirmala. Seorang wanita yang usianya lima tahun lebih tua dariku. Dia adalah seniorku di universitas tempat aku dan dia menimba ilmu. Kami berbeda jurusan, hanya saja kami berada di Unit Kegiatan Mahasiswa yang sama. Kami kenalan, dan jadi dekat hingga sekarang. Terberkatilah aku karenanya.

Dan sudah bukan rahasia lagi jika Nirmala ingin memiliki momongan. Dia memang membutuhkan hiburan untuk menemani kesendiriannya di rumah.

"Memangnya kamu sudah siap punya anak?"

"Siap nggak siap, ya harus siap."

"Punya anak itu nggak mudah loh."

"Memang siapa yang bilang mudah?"

"Nggak ada, sih."

Hening menghampiri kami. Di bawah langit malam, kami sama-sama sedang menikmati jahe hangat. Dinginnya malam membuat Nirmala semakin merapatkan tubuhnya pada tubuhku. Aku hanya berharap agar panas tubuhku bisa menghangatkan Nirmala. Dan aku hanya bisa berharap agar Nirmala tetap seperti ini. Aku tidak ingin Nirmala melepaskan pelukannya. Aku ingin memiliki Nirmala untukku sendiri.

"Tadi pagi Akmal telepon. Dia bilang, besok sudah pulang."

Ah, petaka.

Ini adalah malapetaka.

Akmal adalah petaka. Disaster. Waktu berduaku dengan Nirmala akan terkikis, atau bahkan tidak akan ada lagi.

Akmal adalah petaka. Malapetaka.

**

Nirmala berparas ayu. Matanya berwarna coklat khas mata orang Asia. Mata indahnya dikerumuni bulu mata yang lebat dan panjang. Mata itu bertengger persis di atas hidungnya yang mancung, tepat di bawah rambut hitamnya yang mengombak sempurna. Wajanya terpahat indah dan sempurna bagai dewi-dewi Yunani.

Dia lembut dan menggoda. Aku ingin selalu berdekatan dengan harum wangi tubuhnya, dan membelai kulit halusnya. Nirmala selalu mengisi hari-hariku dengan canda dan tawanya. Aku menyukai suara tawanya, senyumannya, serta sifat kekanak-kanakannya. Ah, Nirmala.

"Selamat pagi."

Nirmala baru saja bangun dari tidur pulasnya. Aku selalu suka pagi hari, karena di pagi hari aku bisa memandangi Nirmala selama yang aku mau.

"Eh, pagi." Nirmala mengusap matanya berulangkali sebelum akhirnya dia bangun dari tidurnya, dan duduk bersandar di sampingku.

"Hari ini aku pulang. Anterin aku ya?"

Aku mengangguk. Nirmala tersenyum. "Terimakasih, kesayangan aku."

Aku tersenyum. Nirmala merapatkan tubuhnya, kepalanya bersandar nyaman di atas bahuku. Kami terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Yang pasti, dalam pikiran Nirmala pasti tidak ada aku.

Hatiku terasa teriris. Luka itu kembali menganga. Mau sampai kapan aku mampu bertahan dengan perasaan seperti ini?

**

Hidup di dunia ini memang selalu diperhadapkan dengan dua pilihan. Seperti contohnya; mencintai atau dicintai. Dari kedua pilihan itu, sepertinya dicintai adalah hal yang paling menyenangkan.

Tetapi posisiku saat ini bukan berada di "dicintai", melainkan "mencintai". Aku mencintai Nirmala. Wanita yang dengan berani meluluhlantakan kewarasanku. Hampir setiap hari hati kecilku mengingatkan aku untuk berhenti mencintai Nirmala. Karena mau sekuat apapun aku mencoba, Nirmala tidak akan pernah membalas cintaku.

Apa yang aku harapkan?

Sore ini, awan mendung berarak pelan menemani langkahku mengantarkan Nirmala kembali pulang ke pelukan sang pujaan. Setelah berbelok di pertigaan gang, sampailah kami di rumah bertingkat dua, bercat warna abu-abu. Itu adalah kediaman Nirmala dengan sang suami. Nirmala adalah istri Akmal. Mereka menikah dua tahun yang lalu.

"Sayang! Kangen banget aku sama kamu!"

Begitu pintu rumah dibuka, sepasang suami istri itu menghambur ke dalam pelukan masing-masing. Mereka saling melepas rindu.

Sudah menjadi kebiasaanku melihat mereka bercumbu. Sudah menjadi kebiasaanku mengiris hati sendiri. Sudah menjadi kebiasaanku melihat Nirmala memadu kasih dengan Akmal.

Hatiku sakit, pasti. Hatiku remuk hancur berkeping-keping, sudah barang tentu. Hatiku teriris-iris, ya memang. Sakit sekali rasanya melihat orang yang dicintai sedang memadu kasih dengan orang lain.

Sayang seribu sayang, aku memang tidak bisa memiliki Nirmala untuk diriku sendiri. Aku tidak bisa untuk tidak berbagi dengan orang lain.

Awalnya, pertemananku dengan Nirmala tulus. Tetapi lama kelamaan, perasaan jahanam itu datang dan merenggut ketulusanku. Aku pamrih. Aku ingin lebih dari sekadar berteman. Namun, sayangnya, aku tidak bisa menjebol zona pertemanan ini. Oh, ralat, zona persahabatan. Nirmala itu seratus persen lurus seperti tiang penyangga.

Nirmala sudah ada yang punya.

Akmal adalah pujaan hati Nirmala. Akmal adalah belahan jiwa Nirmala. Akmal adalah separuh nafas Nirmala.

Pun, begitu pula Nirmala bagiku.

Cara Nirmala memandang Akmal, seperti itu pula caraku memandang Nirmala. Cara bicara Nirmala ketika berbicara dengan Akmal, seperti itu pula caraku berbicara dengan Nirmala.

Nirmala begitu mencintai Akmal. Sialnya, akupun begitu mencintai Nirmala.

Apakah aku ini bodoh karena sudah mencintai Nirmala?

Apakah aku ini bodoh karena menginginkan Nirmala membalas cintaku?

Mengapa hatiku memilih Nirmala?

Perlukah aku menyalahkan hatiku karena memilih Nirmala?

Nirmala itu siapa, sampai-sampai aku begitu dalam mencintainya, padahal aku tahu cintaku tak akan pernah berbalas?

Nirmala adalah seorang wanita jelita yang tak bercela. Dia adalah seorang wanita jelita yang aku cinta. Dia adalah seorang wanita yang aku damba.

Dia adalah Nirmala. Cintaku padanya tiada taranya. Apapun akan aku lakukan untuknya. Namun sayangnya, dia sudah ada yang punya. Mau sebesar dan sedahsyat apapun cintaku padanya, tetap tidak akan ada yang bisa membelokkan cintanya. Sayang seribu sayang, cintanya Nirmala hanyalah untuk suaminya.

*****

Sekian.

Song: I can't make you love me by Teddy Swims (Cover version)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top