Singkong Keju
Singkong di ladang dan keju di pabrik, bisa bersatu menjadi kudapan yang hits di zaman sekarang.
Memilih meninggalkan rumah dan kemewahan, Al membawa Prilly juga Mora dan Lia jauh dari Irawan maupun Risma. Mereka tidak melanjutkan kuliah. Dengan tabungan hasil kerja Mora selama di rumah mewah itu, mereka mendirikan usaha.
Dengan sisa uang yang dimiliki Al, dia memberanikan diri menikahi Prilly tanpa restu orang tuanya. Yang penting, mereka sudah mendapat restu dari Lia.
Kurang lebih lima tahun mereka merintis rumah tangga dan usaha. Awalnya Lia dan Mora menyewa stand, tempat nongkrong untuk anak muda di salah satu alun-alun kota Jogjakarta. Menu utama mereka singkong keju, lama-kelamaan usaha mereka berkembang hingga sampai membuka kafe, masih dengan menu andalan yaitu singkong keju.
Tak sampai di situ, usaha mereka merambah ke produksi pengolahan singkong. Tidak diragukan lagi kualitasnya sampai ekspor ke luar negeri. Semua itu berkat kegigihan dan kerja sama mereka. Al dan Prilly pun ikut campur dalam bisnis tersebut. Jika tugas Mora dan Lia memproduksi, tugas Al dan Prilly memasarkan.
Bisnis mereka tidak hanya itu, Al memiliki usaha sendiri. Dia membangun bisnis properti dan Prilly furniture. Mereka saling melengkapi, bisnis saling membantu, dan maju bersama.
"Ayah, Bundaaaaa!" pekik seorang bocah berusia kurang lebih 3 tahun.
Keluarga mereka terasa lengkap setelah kehadiran dia, buah cinta Al dan Prilly.
Dia berlari ke arah Prilly dan Al yang sedang sarapan di meja makan. Mora mengikutinya di belakang sambil tersenyum lebar.
"Selamat pagi kesayangan Bunda." Prilly merentangkan tangan, setelah putra semata wayangnya mendekat, dia peluk dan cium. Al mengacak rambut putra kebanggaannya.
"Ayah, berantakan," tegur Prilly halus sambil merapikan rambut putranya.
"Gemes." Al mencium pipi tembem Danu.
Badan Danu berisi, pipinya tembem, apalagi kulitnya putih bersih, bikin gemas semua orang.
"Selamat pagi, Tante," sapa Al ketika Mora duduk di kursi depannya.
Disambung Prilly, "Pagi Tante Mora."
"Pagi, Al, Pril." Mora balik menyapa mereka dengan senyuman yang khas meski sudut matanya sudah kerutan tanda menua.
"Sarapan sudah siaaaaap." Lia membawakan sarapan khusus untuk cucu tercintanya.
Dia letakkan di depan Danu, menu sarapan kali ini nasi goreng sosis dan telur mata sapi. Itu menu favorit Danu.
"Asyiiiiiikkkkk." Danu bertepuk tangan girang. "Terima kasih, Uti," ucapnya menghadiahkan kecupan manis di pipi kiri Lia.
Meski sekarang keadaannya sudah lebih baik, tetapi mereka tetap sederhana dan saling membantu. Tugas Mora dan Lia selain mengawasi tempat produksi, juga menjaga dan mengurus Danu jika Al dan Prilly sibuk bekerja.
"Bun, kamu sudah siapkan berkas meeting kita, kan?" tanya Al kepada Prilly.
"Sudah. Memangnya siapa sih lawan kita, Yah? Kayaknya dari bulan lalu Ayah kerja keras banget pengin ngalahin lawan kita."
"Bunda akan tahu nanti," senyum Al lebar. "Ini proyek besar, Bun. Sampai kita menang tender ini, pengusaha-pengusaha lain bakalan percaya sama kualitas produk kita. Insya Allah bisnis kita juga bakal semakin besar."
"Iya deh, Bunda percaya sama Ayah. Yang penting, tetap jadi diri sendiri dan selalu cinta sama keluarga kita." Prilly mengelus pipi Al.
"Pasti!" ucap Al meyakinkan Prilly.
Lia dan Mora saling melempar senyum, mereka ikut bahagia melihat Al dan Prilly lebih bahagia.
"Nenek, sudah," rengek Danu kepada Mora setelah nasi gorengnya habis tak tersisa.
"Wah, pinter cucu, Nenek. Sebagai hadiahnya, Nenek kasih ini." Mora memberikan susu kotak kesukaan Danu. Itu salah satu cara Mora supaya asupan makan Danu terjaga.
Merawat Danu tidak jauh berbeda ketika dia merawat Al. Danu anak yang penurut walaupun terkadang susah diatur sewajarnya anak seusia dia.
***
Meskipun hidupnya bergelimang harta, banyak orang yang iri, tetapi hati Irawan dan Risma kosong. Sejak Al keluar dari rumah itu, mereka putus komunikasi. Anak buah Irawan yang dikerahkan untuk mencari Al dan Prilly tidak pernah membuahkan hasil. Rumah seluas itu sepi dan seperti tidak ada penghuni di dalamnya meski banyak pelayan.
"Di mana kamu, Al?" gumam Risma ketika sedang melamun di kamar.
Pekerjaan Risma sekarang lebih banyak melamun di rumah, meratapi nasibnya. Irawan menyesalkan keputusan Al yang rela meninggalkan kemewahannya demi cinta yang tidak jelas, pikirnya.
"Mom, sudahlah! Jangan dipikirkan terus, nanti kamu sakit lagi," bujuk Irawan lelah hampir setiap hari melihat istrinya melamun di kursi goyang yang menghadap jendela. Risma berharap Al akan datang sewaktu-waktu dan dia akan menyambutnya.
"Kalau Daddy tidak berkeras hati, tidak mungkin Al pergi." Risma selalu menyalahkan Irawan. Dia lupa dengan sikapnya yang keras kepala kepada Al.
"Sudah, jangan dibahas lagi. Kamu ini selalu menyudutkanku. Aku berangkat dulu," pamit Irawan mencium kening Risma lantas keluar dari kamar mewahnya.
Selepas kepergian Irawan, lagi-lagi Risma menangis menyesali masa lalunya yang keras hingga menyebabkan Al pergi.
"Maafkan Mommy, Al."
Hanya penyesalan yang menghiasi hari-hari Risma dan Irawan.
***
"Kenapa perusahaan kita bisa kalah dengan perusahaan kecil seperti itu!" sergah Irawan melampiaskan kekecewaan kepada sekretarisnya.
Wanita cantik dan berpenampilan modis sebagai sekertaris Irawan hanya dapat diam menerima amukan mulut bos besarnya.
"Saya mau tahu siapa pemilik perusahaan itu sampai bisa mengalahkan kita dalam tender ini." Mata Irawan menyalang.
"Baik, Pak, saya akan mencari tahu." Bergegas sekretarisnya keluar dari ruang kerja Irawan.
Dia mencari tahu pemilik perusahaan yang sudah berhasil mengalahkan Irawan, pengusaha yang terkenal sulit dilawan dan dikalahkan.
Sembari menunggu informasi dari sekretarisnya, Irawan mengecek pekerjaannya. Beberapa jam berlalu, ketukan pintu mengusik konsentrasi Irawan.
"Masuk!" pekik Irawan.
Sekretarisnya masuk, setelah berdiri di depan meja kerja Irawan, dia berkata, "Saya sudah menemukan informasi pemilik perusahaan tersebut, Pak. Saya juga sudah menghubungi juru bicara Beliau."
"Terus?" Irawan meletakkan pulpennya dan menyandarkan punggung di kursi kebesarannya. Dia fokus mendengar informasi yang sekretarisnya dapat.
"Jika Bapak berkenan, Beliau mengundang Bapak untuk makan malam."
"Iya, atur waktunya. Saya mau tahu, seberapa hebatnya dia bisa melawan saya." Sikap angkuh Irawan tidak luntur.
"Baik, Pak." Sekretaris itupun keluar dan melaksanakan tugasnya.
Seseorang yang biasanya tidak pernah kalah, sekalinya kalah akan mencari penyebab sampai ke akar-akarnya. Hanya ada dua model orang kalah, legowo dan pendendam.
***
Di restoran yang memiliki ruangan private, Irawan dan Risma menunggu tamu yang mengundang mereka. Jamuan makanan mahal tersaji di meja, juru bicara sekaligus orang kepercayaan yang ditugaskan oleh pengusaha itu menemani Irawan dan Risma selama menunggu bosnya datang.
"Maafkan atas keterlambatan bos kami, Pak," ucap pria paruh baya bernama Hermawan itu.
"Menghargai waktu saja tidak bisa. Kenapa menjadi pengusaha," cibir Irawan menyinggung perasaan Hermawan.
"Maaf, Pak. Jika Anda tidak berkenan menunggu, silakan keluar dari tempat ini. Bos kami sangat sibuk, harusnya Anda bersyukur Beliau mau menemui pengusaha angkuh seperti Anda ini," ujar Hermawan lantang tidak takut kepada tatapan sombong Irawan.
"Anda ini siapa, berani-beraninya mengusir saya. Sebagai juru bicara saja sok berkuasa," amuk Irawan menggebrak meja.
"Dad, sabar." Risma mengelus dada Irawan.
"Pantas saja putra tunggal Anda pergi dari rumah. Ternyata seperti ini kelakuan Anda," cerca Hermawan tersenyum miring.
Irawan dan Risma terbelalak, dalam hati bertanya-tanya siapa Hermawan sampai mengetahui masalah pribadinya. Selama ini mereka menyimpan rapat rahasia itu supaya rekan bisnis dan investornya tidak kabur.
Seseorang berseragam serba hitam masuk dan membisikkan sesuatu kepada Hermawan.
"Bos kami sudah sampai, tolong jaga sikap Anda," pinta Hermawan sopan dan lebih berwibawa daripada Irawan.
"Sombong sekali," sarkastik Irawan melirik Hermawan tidak suka.
"Maaf sudah menunggu lama," ucap pria muda berpenampilan semi resmi, kemeja putih tanpa dasi yang ditutupi tuksedo hitam, itu langsung duduk di depan Irawan dan Risma.
Mulut Irawan dan Risma menganga, mereka sangat terkejut dengan pengusaha muda itu.
"Al," lirih Risma, air matanya menggantung di pelupuk.
Meskipun Al sangat merindukan orang tuanya, tetapi dia bersikap sok menjaga image demi memberikan pelajaran kepada mereka yang angkuh. Kepergian Al tidak mengubah sikap angkuh Irawan.
"Kenapa? Terkejut?" tanya Al memberanikan diri menatap wajah bengong orang tuanya.
Irawan menyadarkan diri dari keterkejutannya, dia tersenyum bangga.
"Ini baru anak Daddy. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya," senyum sombong Irawan dibalas wajah datar Al.
"Bagaimana bisa seorang ayah mengakui putranya ketika dia sudah sukses. Selama putranya jatuh, apakah diakui?" Al tersenyum miring.
"Al, pulanglah, Nak. Mommy sama Daddy merindukanmu. Sudah cukup kamu bermain di luar sana, perusahaan juga membutuhkanmu," pinta Risma tulus lalu menyeka air matanya.
Embusan napas berat Al terdengar, dia mati-matian menjaga supaya tidak meneteskan air mata di depan Irawan yang masih berkeras hati itu.
"Apakah karena bisnis kalian menginginkanku kembali? Maaf jika itu alasannya aku tidak bisa. Saat ini aku sudah hidup bahagia bersama keluarga kecilku yang penuh kasih dan cinta, tidak hanya harta dan tahta."
"Apa kamu sudah menikah?" sahut Risma.
"Iya, aku sudah menikah dan sudah punya anak. Usianya sekarang hampir empat tahun, dia anak yang baik, lucu, dan punya hati yang bersih."
"Pasti wanita yang kamu nikahi dari keluarga baik-baik dan kaya. Makanya keturunanmu bisa sebaik itu. Itulah alasan Daddy melarangmu bersama anak pelayan itu. Siapa nama mertuamu, pembisnis apa dia?" Masih saja harta, kekayaan, dan bisnis yang Irawan bicarakan, Al yang mendengar saja merasa bosan.
Al tersenyum miring lalu dia memerintah Hermawan, "Pak Hermawan, tolong panggil istri dan anak saya. Ajak mereka masuk."
"Baik, Pak." Hermawan lalu keluar.
Sementara itu, di ruangan tersebut sepi tidak ada pembicaraan. Beberapa menit kemudian suara ocehan Danu terdengar.
Seorang wanita bertubuh mungil, dandanan elegan tapi tidak berlebihan, muncul menggandeng bocah usia tiga tahun itu. Al berdiri, menggendong Danu dan merengkuh pinggang Prilly.
"Kenakalan, ini istri dan anak Al, Dad, Mom."
Seketika Irawan dan Risma berdiri, mereka menatap tak percaya.
"Itu cucu Mommy?" tanya Risma mendekat dan ingin menyentuh pipi Danu, tetapi Danu memalingkan wajah sehingga tangan Risma tidak jadi menyentuhnya.
Tangis terisak-isak Risma menyayat hati Al dan Prilly. Dia memeluk Danu yang di gendongan Al. Sedangkan Irawan terpaku di tempatnya, banyak hal yang dia lewatkan.
"Maafkan Mommy, Al," ucap Risma di tengah isakannya.
"Daddy benar, anak Al baik karena ibunya dari keluarga yang baik juga. Hanya saja kurang beruntung, tidak seperti keluarga kita. Tapi, dia membuktikan jika seseorang mau berusaha, nasibnya akan berubah. Asalkan Daddy tahu, Prilly pemenang tender itu. Dia mengalahkan Daddy," ujar Al membanggakan istrinya.
Diam seribu bahasa, Irawan hanya dapat bergeming di tempatnya. Sedangkan Risma menegakkan tubuhnya lalu melangkah ke depan Prilly. Dengan wajah yang basah air mata, Risma menangkup kedua pipi Prilly.
"Maafkan Mommy," ucap Risma dengan suaranya yang bergetar.
Tak sanggup menahan air mata, Prilly pun ikut menangis. Sambil menunduk sedih dia menganggukkan kepala. Risma lantas memeluknya, menumpahkan penyesalan yang lima tahun ini dia pendam.
Suasana haru menyelimuti ruangan itu, Irawan tak beranjak sedikit pun dari tempatnya.
Nasib seseorang bisa berubah jika ada usaha dan kemauan untuk mengubahnya. Harta dan tahta tidak cukup membuat seseorang bahagia. Tanpa cinta dan kasih sayang, hati terasa hampa. Tak ada anak singkong dan anak keju, karena keduanya bisa bersatu dan menciptakan kebahagiaan karena bahagia kita yang ciptakan. Orang lain hanya bisa mengomentari dan menilai. Tak ada perbedaan kasta dan tahta jika sudah bersatu.
The End
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top