Cinta Beda Kasta
Keren, pintar, tajir dan populer. Kata yang menggambarkan keluarbiasaan. Namun, apa itu semua menjamin dia bahagia? Apa mungkin dia akan sombong dengan semua itu? Seperti di dalam sebuah film, sinetron ataupun cerita lainnya?
Di suatu kampus yang terkenal berisi anak orang kaya dan pintar, dia mengecam pendidikan. Putra tunggal pemilik kampus dan pewaris tunggal kekayaan keluarga Notonegoro. Wow, hidupnya sempurna. Apa itu benar?
"Tuan Muda, sudah siang. Air hangatnya juga sudah siap."
Seorang kepala asisten rumah tangga sekaligus pengasuh tuan muda itu membangunkan pria tampan yang masih bergulat dengan selimut tebalnya.
Gorden disibak oleh wanita paruh baya dengan penampilan sederhana, tetapi bersih dan cantik. Perlahan mata merah kecoklatan milik bos muda itu mengejap menyesuaikan sinar yang membias masuk dari jendela kaca. Dia menyibak selimut tebalnya, lalu duduk menggeliat meregangkan otot-otot yang kaku karena tidur semalam penuh.
"Tuan dan Nyonya sudah menunggu di ruang makan, Tuan Muda," kata Mora, wanita yang mengasuh tuan mudanya sejak bayi.
"Baiklah Tante cantik. Nanti aku turun," sahut pria itu yang sudah terbiasa memanggil Mora dengan sebutan 'tante'.
Mora berdiri di samping tempat tidur, menunggu hingga tuan mudanya masuk ke kamar mandi, barulah dia akan membereskan tempat tidurnya.
"Tuan Muda Al, kalau di depan Nyonya dan Tuan jangan panggil tante, ya? Nggak enak," tegur Mora mulai membereskan tempat tidur tuan mudanya, setelah dia bangkit dari king size itu.
"Kenapa?" tanya Al. "Aku dari kecil sama Tante. Apa-apa sama Tante. Makan disuapin tangan Tante, aku buang air, tangan Tante yang bersihin. Aku terdidik hingga seperti ini, juga karena Tante," jelas Al mengeraskan suaranya. Dia menyambar handuk yang tergantung di depan lemari.
"Tapi, saya ini cuma pembantu ...." Mora mencoba membantah, tetapi ucapannya terpotong.
"Eits, jangan bilang Tante pembantu. Ralat! Asisten Rumah Tangga, A-R-T, ART. Aku nggak suka Tante bilang begitu. Bagiku, Tante itu ibu kedua. Memang Mommy yang melahirkanku, tapi yang merawat dan mendidikku itu Tante," terang Al cepat sebelum Mora melanjutkan kata-katanya.
"Iya-iya, Tuan Muda. Siap!" kata Mora mengalah.
Sejak Al lahir, Mora orang yang dipercaya Risma untuk menyentuh dan merawat Al. Seorang ART yang lain, tak pernah diizinkan untuk menyentuh, apalagi mendekatinya. Dengan kasih sayang Mora, Al tumbuh hingga menjadi pria tampan dan pintar. Orang tua Al, selalu sibuk dengan semua bisnis dan kehidupannya sendiri. Namun, Al merasa tidak kekurangan kasih sayang karena Mora sudah memberikannya. Meski Mora tidak memiliki keluarga, dia bersyukur sudah diberikan tanggung jawab menjadi ibu pengganti untuk Al.
"Selamat pagi, Dad, Mom," sapa Al ketika dia datang ke ruang makan.
Al menarik kursinya, lalu duduk di sebelah Risma, bersiap untuk sarapan. Seorang gadis yang cantik nan jelita, berambut panjang terikat, tubuh mungil dan langsing, melayani sarapan keluarga tersebut. Rumah yang besar dan megah bak istana itu memiliki puluhan asisten rumah tangga dan pegawai pelengkap lainnya. Al tersenyum kepada gadis itu saat ia menuang air mineral di gelasnya.
"Terima kasih, Gadis Manis," ucap Al ramah.
Risma dan Irawan hanya melirik Al yang sedang tersenyum sangat manis dan ramah kepada anak salah satu ART tersebut. Setiap pagi dia akan membantu ibunya melayani keluarga itu. Dia tinggal dan menumpang di keluarga tersebut sejak masih kecil. Al pun selalu bermain dengannya dari mereka kecil hingga tumbuh dewasa.
"Sama-sama, Tuan Muda," balas gadis tadi sopan layaknya seorang pelayan.
Setelah semua mendapat sarapannya masing-masing, gadis itu bersiap untuk kembali ke dapur.
"Prilly," panggil Risma datar, terdengar sombong dan angkuh.
"Iya, Nyonya," sahut Prilly cepat dan memutar tubuhnya menghadap kepada Risma.
Gadis yang dipanggil Prilly tadi, mengurungkan niatnya untuk kembali ke dapur, berdiri sedikit membungkukkan tubuh untuk menghormati majikannya.
"Selamat atas prestasimu di kampus, ya? Tidak sia-sia saya membiayai kamu kuliah di kampus elit itu," ujar Risma tanpa memandangnya.
Al menghela napas dalam menahan rasa ketidaksukaan ketika orang tuanya selalu mengunggulkan harta dan tahta.
"Terima kasih, Nyonya," ucap Prilly tulus menyadari posisinya.
"Ya sudah, kembali ke belakang," ujar Risma tak acuh.
"Baik, permisi." Prilly melenggang sopan kembali ke dapur.
Di dapur, sudah ada Mora dan beberapa ART, salah satunya ibunda Prilly, Lia.
"Tante Mora, aku ada kuliah pagi. Aku siap-siap dulu, ya?" kata Prilly terburu-buru.
"Iya, Gadis Cantik. Sana buruan, nanti terlambat. Makasih, ya, atas bantuannya pagi ini?" ucap Mora tersenyum sangat manis kepada Prilly.
"Iya Tante, semua pekerjaan kalau kita kerjakan bersama pasti akan lebih ringan. Iya kan, Bun?" ujar Prilly memeluk Lia dari samping.
"Iya. Sudah sana, kamu siap-siap kuliah," titah Lia lembut membelai wajah ayu putrinya.
"Okay deh, selamat bekerja semuanya," tukas Prilly ramah kepada teman satu perjuangan ibundanya.
Mora tersenyum melihat ketangguhan dan lapang dada Prilly. Meski dia terlahir dari anak ART dan diperjuangkan tanpa sosok ayah selama ini---karena ayahnya meninggal sebelum dia lahir---tetapi hatinya sabar dan kuat.
Prilly keluar dari pintu samping istana yang selama ini ditempati. Sebuah mobil sport telah menunggunya di depan pintu kecil yang biasa untuk keluar-masuk pekerja rumah itu. Al berdiri di samping mobil dengan kacamata hitam dan dandanan modis.
"Pagi, Nona Cantik," sapa Al membuat Prilly tersenyum sangat manis.
"Pagi juga, Tuan Muda," balas Prilly dengan senyuman terbaiknya.
"Bareng yuk!" ajak Al membukakan pintu mobil agar Prilly ikut dengannya.
Prilly hanya tersenyum, seperti hari-hari yang lalu. Dia selalu menolak dan lebih memilih naik bus kota.
"Biar aku jalan aja deh, Al. Aku nggak enak sama Tuan dan Nyonya kalau mereka melihatku naik dengan putra semata wayangnya di mobil semahal itu," tolak Prilly jujur karena mereka sudah terbiasa berteman baik di luar istana yang membuat keduanya merasakan perbedaan yang sangat jauh.
"Kapan sih Pril, kamu akan menerima tawaranku? Selalu saja kamu tolak. Ya sudah, kita berangkat naik bus kota aja. Aku ikut sama kamu," ujar Al bersiap menelepon salah satu sopir di rumahnya.
Setiap tawarannya ditolak, Al rela meninggalkan mobil mewahnya dan ikut bersama Prilly naik bus kota.
"Mang Udin, tolong bawa mobil saya kembali masuk. Mobilnya saya tinggal di samping rumah. Di depan pintu keluar samping selatan," ujar Al dari ujung telepon.
Prilly yang sudah hafal dengan kebiasaan itu hanya tersenyum dan menggelengkan kepala.
"Ayo!" Al menarik tangan Prilly dan menautkan jemarinya di sela-sela jari Prilly.
Saat seperti itu, Prilly merasa nyaman dan aman. Al selalu melindungi dan menjaganya dengan baik. Tak pernah sekali pun Al menyakitinya, hatinya terjaga dan terlindungi oleh Al. Mereka menunggu bus kota di halte, tak butuh waktu lama akhirnya bus pun berhenti di depan mereka. Al membiarkan Prilly terlebih dulu naik, baru dia melindunginya dari belakang.
"Nggak ada tempat duduk," ujar Al yang sudah menebak jika akan berdiri, seperti hari-hari yang lalu.
"Ya sudah, nggak apa-apa. Kita berdiri aja," kata Prilly berpegangan pada besi yang ada di langit-langit bus.
Al menarik tubuh Prilly agar tidak jauh darinya. Getaran di dada keduanya selalu hadir saat berdekatan. Namun, keduanya selalu menepis rasa itu. Mereka sama-sama bungkam dan tidak ada yang memulai pembicaraan tentang perasaan itu.
"Jangan jauh-jauh. Nanti di depan pasti banyak anak sekolah yang masuk," ujar Al penuh perhatian.
Hati Prilly menghangat ketika Al selalu memerhatikannya dan memberinya perlindungan. Tangan kanan Al memeluk perut Prilly, sedangkan tangan kirinya bergelantungan di besi. Prilly sudah terbiasa seperti itu karena Al akan melakukannya saat mereka berdiri di bus.
"Tuh kan, bener. Pasukan masuk," ujar Al saat melihat segerombolan orang masuk dari halte.
Prilly dan Al terhimpit hingga pasokan udara disekitar mereka kurang, ruangan tersebut jadi pengap. Al melihat orang yang berdiri menghadapnya menatap ke arah dada Prilly. Tanpa berbicara apa pun, Al membalikkan tubuh Prilly dan mendekapnya. Al menatap tajam seolah ingin membunuh lelaki hidung belang itu.
"Al, aku sesak kalau kamu giniin," ujar Prilly yang terhimpit ditambah Al mendekapnya.
"Sabar dulu, sebentar lagi kita sampai. Tas kamu taruh di depan." Al memutar tas punggung Prilly, agar menutupi tubuh bagian depannya.
Hingga sampai di depan kampus, mereka pun dapat bernapas lega. Keringat bercucuran dari kening Al dan Prilly.
"Nih, tisu." Prilly memberikan tisu kering agar Al mengelap keringatnya.
"Jangan pakai itu, nempel semua nanti di wajah. Pakai ini." Al mengeluarkan saputangan dari saku celananya.
Dia lebih dulu mengelap keringat Prilly lalu Al membalik saputangannya yang masih kering dan mengelap keringatnya sendiri.
"Kamu kenapa sih Al, setiap pagi selalu ikut aku naik bus? Kan kalau Nyonya dan Tuan sampai tahu aku nggak enak," ujar Prilly seraya berjalan masuk ke kampus.
"Enak naik bus, lebih rame dan bisa deket terus sama kamu," ujar Al lalu terkekeh.
Prilly hanya menanggapi itu semua sebagai gurauan. Padahal di dalam hati Al, itu memang alasan yang sesungguhnya.
"Lain kali, kamu bawa mobil sendiri aja, ya?" kata Prilly sungkan dan was-was jika sampai majikannya tahu anaknya naik kendaraan umum.
Dalam pikiran Prilly, takut jika mereka menuduh mengajari Al menentang kebiasaan keluarga Notonegoro.
"Iya, kalau kamu mau ikut denganku, aku akan bawa mobil sendiri."
Prilly langsung menoleh Al, menatap kedua matanya. Pandangan mereka bertabrakan dan terkunci. Masing-masing menatap ke dalam manik mata. Hazel keduanya menyiratkan suatu perasaan yang dalam, tertangkap di mata masing-masing. Namun, mereka masih kukuh tak ingin membicarakan.
Aku nyaman kita begini dulu. Kamu dekat denganku dan aku dekat denganmu. Aku takut jika lebih dari ini, kamu akan menjauh dariku. Batin Prilly yang belum siap jika Al menjauh darinya.
Andai aku punya keberanian lebih, akan aku bawa kamu masuk lebih dalam ke duniaku. Namun, aku merasakan tembok yang menjulang tinggi menjadi penghalang kita. Tunggu aku, aku akan merobohkan tembok yang menjadi pemisah kita. Batin Al masih menatap ke dalam manik mata Prilly.
"Ehem! Tatap-tatapan aja terus sampai sukses," tegur seseorang yang baru datang.
Mereka terlonjak dan melihat gadis cantik dengan dandanan modis melipat kedua tangannya di depan dada sembari memerhatikan mereka.
"Suksesnya kalau udah dibawa ke KUA," sahut Al membuat Prilly dan temannya yang baru saja datang itu terkekeh.
"Febri, sejak kapan lo ada di sini?" tanya Al menatap heran pada Febriana, sahabat Prilly yang juga adik sepupu Al.
"Sejak pangeran Inggris dan bidadari surga tatap-tatapan di halaman kampus yang ramai orang, tapi terasa dunia milik berdua dan gue di sini berasa ngontrak," jawab Febri merangkul Prilly dan menatapnya jahil.
Al hanya tersenyum lalu mengacak kecil rambut Febri.
"Udah yuk, kita masuk! Bentar lagi aku ada mata pelajaran nih." Al menarik tangan Prilly tanpa memedulikan Febri.
"Yaelah, berasa mau nyeberang aja deh. Gandengan mulu, gue juga mau kali Kak, digandeng kayak kereta," protes Febri yang melihat Al menggandeng tangan Prilly.
"Ya udah ayo!" Al menggapai tangan Febri, hingga kini Al dihimpit dua wanita cantik.
Sudah menjadi rahasia umum jika Al dan Prilly tak dapat terpisahkan. Meski keduanya sama-sama menyangkal ada hubungan spesial, tetapi teman-teman dan semua orang yang melihat kedekatan itu tidak percaya jika mereka hanya sebagai sahabat.
"Sudah sampai nona-nona cantik. Silakan masuk ke kelas." Al melepas genggaman tangannya dari Febri dan Prilly.
"Terima kasih, Pangeran Inggris," ucap Febri dengan senyum terbaiknya.
Al melihat Prilly hanya diam dan tersenyum.
"Belajar yang rajin, ya? Kalau pulangnya lebih dulu kamu, tunggu aku di tempat biasa," pesan Al sebelum mereka berpisah di depan kelas.
Karena Al memilih jurusan yang berbeda dengan Prilly maka kelas mereka pun berbeda.
"Iya, kamu juga belajar yang rajin, ya? Biar bisa nerusin ke luar negeri," ujar Prilly sedikit sedih jika mengingat keinginan keluarga Al yang akan melanjutkan pendidikan putra semata wayangnya ke Aussie.
"Aku nggak kepikiran itu sama sekali. Itu, kan, maunya Mommy sama Daddy," sahut Al dengan senyum terbaiknya yang dapat menghangatkan kembali perasaan Prilly.
"Udah ... yuk masuk!" ajak Febri menarik tangan Prilly. "Ngobrolnya entar lagi. Sekarang kita belajar dulu."
Al masih memerhatikan Prilly yang berjalan ditarik Febri ke kelas. Setelah Prilly duduk, baru Al pergi dari depan kelas itu.
########
Ini adalah cerita pendek yang dulu pernah saya publish di Instagram. Semoga menghibur, ya? Terima kasih atas vote dan komentarnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top