5

Dari telaga yang jernih tak akan mengalir air yang keruh. Peribahasa itu sangat cocok untuk menggambarkan sosok Raden Inu. Ketampanannya jelas turunan dari sang ayah pada masa mudanya, ditambah ibunya yang cantik tentu menghasilkan keturunan yang mempesona. Selain rupa, sifat, dan tingkah laku Raden Inu pun tidak jauh berbeda dengan ayahnya. Oleh sebab itu, banyak sekali raja-raja yang menawarkan putra putri mereka pada sang pangeran agar bisa menjadi sekutu kerajaan Kahuripan. Betapa beruntungnya kerajaan Daha menjadi yang terpilih padahal mereka belum menawarkan anak-anak mereka.

Raja Daha tidak berhenti merendah, namun, di saat yang sama, memuji-muji putri-putrinya di hadapan raja dan pangeran Kahuripan. Dewi Galuh bersikap malu, menunduk dalam, dan merendah ketika sang ayah memujinya sedangkan Candra Kirana benar-benar malu setiap kali sang ayah melebih-lebihkan cerita mengenai dirinya.

Sejak Raden Inu tiba di istana, mereka hanya sempat bersirobok sekilas, temu mata yang hampir membuat Candra Kirana memuntahkan hatinya di tempat. Makanya Candra Kirana tidak berani mengangkat kepalanya. Putri itu memang mendengar bahwa pangeran dari Kahuripan sangat tampan, tapi dia tidak menyangka jika ketampanan Raden Inu begitu nyata. Tidak tidak percaya jika manusia setampan itu ada di dunia ini. Dia bertanya-tanya apakah sang Pangeran benar-benar manusia. Jangan-jangan Raden Inu utusan dewa yang diutus untuk mematahkan hatinya.

"Benar sekali apa kata Ayahanda. Hamba bisa berkuda, jadi, jika Pangeran ingin berkuda untuk melihat-lihat keindahan karajaan kami, hamba siap menemani."

Candra Kirana melirik kakaknya yang begitu berani, berani dalam bersikap dan berani dalam bertindak. Dia selalu mengagumi sifat kakaknya yang berani itu.

"Terima kasih, Putri Dewi. Aku dengar pemandangan di kerajaan Daha benar-benar bisa memanjakan mata. Aku ingin sekali melihatnya."

Hati Candra Kirana serasa diremas geli. Bahkan suara pangeran itu begitu mempesona didengar telinga. Jenis suara yang akan menghantuimu dalam tidur indah. Nada suara ketika dipakai untuk berbicara pada tetua dan para putri juga terdengar berbeda, di mana pada para tetua nada suaranya tegas dan penuh wibawa, kepada para putri dia berbicara begitu lembut dan menarik hati tanpa kehilangan nada tegas dan wibawanya.

Bahu Candra Kirana turun diikuti helaan napas pelan. Pangeran berkuda putih telah datang--Raden Inu benar-benar datang dengan kuda putih--tapi, bagaimana kalau kedatangannya hanya singgahan semata dan pergi tanpa membawanya?

"Bagaimana dengan Putri Candra Kirana?" Jantung Candra Kirana serasa hampir melompat keluar ketika namanya keluar dari mulut sang pangeran. "Sudikah kiranya Putri menemaniku juga?"

"Mohon ampun, Gusti Pangeran. Hamba tidak pandai berkuda. Hamba takut jika hamba ikut, hamba hanya akan memperlambat saja."

"Aku yakin Putri bisa ikut dengan kereta kuda." Seandainya Candra Kirana berani mengangkat kepala dan melihat senyum jail sang pangeran, dia pasti akan jatuh cinta di sana dan tidak segan mengeluarkan hati dan jantungnya.

Sayangnya, putri itu tetap menunduk malu dan dengan sopan menolak ajakan pangeran ketika dirasanya pelototan kakaknya semakin tajam.

"Putri bungsu hamba mempunyai ketakutan pada kuda, Gusti."

Candra Kirana mengernyit dan semakin menunduk dalam mendengar ucapan ayahnya. Entah takdir apa yang membuatnya selalu dilukai dan dipermalukan oleh kuda sampai tahap dia takut pada hewan berkaki empat itu. Walau naik kereta kuda sekalipun, ada saja yang membuatnya terjerembap ke tanah, entah itu tersandung tangga ketika naik, atau kuda itu jalan lebih dulu bahkan sebelum dia menapakkan kakinya di atas kereta.

"Ah." Sepatah kata yang terdengar dari mulut pangeran itu membuat  Candra Kirana rasanya ingin menangis saja.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top