2
Pagi itu suasana hati Raja Daha sedang baik. Laporan dari patih dan para tumenggung memberi kabar yang bagus. Panen padi sedang melimpah jadi mereka mempunyai cukup banyak untuk disimpan di lumbung dan banyak juga yang bisa diperdagangkan ke kerajaan lain yang kurang beruntung, memiliki tanah yang tidak sebagus Daha. Sementara Daha bisa memanen paling tidak bisa sampai tiga kali setahun, ada kerajaan yang hanya panen sekali setahun, itu pun hasil berasnya tidak terlalu bagus. Seperti halnya para petani, hasil laut para nelayan pun sedang melimpah.
Namun, tidak semua kabar yang diterimanya pagi itu bagus. Laporan tentang hasil perkebunan rakyatnya di beberapa wilayah tidak terlalu baik. Sepertinya hewan-hewan kehabisan makanan di hutan sehingga mereka memutuskan untuk makan di perkebunan warga. Babi-babi hutan dan monyet berkeliaran dengan bebas. Walau sudah diberi pagar, mereka tetap bisa menerobos masuk. Apalagi si monyet, pagar setinggi apa pun pasti bisa mereka panjat.
Raja menghela napas. Mereka bisa memburu babi-babi itu lalu dimakan, tetapi bagaimana dengan monyet-monyet? Rasanya melukai mereka saja tidak tega, apalagi sampai membunuh. Beliau menghela napas lagi, lebih panjang dari sebelumnya.
"Apa ada yang lain?"
Seseorang berlutut satu kaki di tengah di depan Raja. "Gusti Raja, seorang utusan dari kerajaan Kahuripan datang dan menitipkan pesan untuk Gusti," kata Tumenggung Darma.
"Kahuripan?"
Tumenggung Darma meletakkan gulungan di atas baki yang dibawa seorang pelayan yang mendatanginya. Raja tidak membuang waktu untuk membukanya begitu pelayan membawakan gulungan itu padanya. Wajahnya semringah seketika begitu dia membaca apa yang tertera di dalam gulungan.
"Sepertinya, kerajaan akan segera menggelar pesta pernikahan."
Permaisuri, yang sejak tadi diam khawatir menyaksikan kerutan di kening suaminya semakin dalam, kini terlihat terkejut. Dia meminta ikut membaca pesan dari kerajaan Kahuripan. Wajahnya langsung semringah setelah dia selesai membaca. Namun, kemudian dia terlihat murung kembali. Dia memiliki dua putri, syukur kalau dua-duanya dipersunting, toh keduanya sama-sama cantik, tetapi bagaimana kalau mereka hanya menginginkan satu saja?
"Lamarankah itu, Yang Mulia?"
"Hm." Raja mengangguk. "Di sini tertulis bahwa Raja Kahuripan dan Pangeran Inu akan datang untuk meminang putriku," ujarnya antusias.
Dari luar, Permaisuri tampak berbagi kebahagiaan dengan Raja, tetapi di dalam, dia pusing memikirkan jika hanya salah satu putrinya yang dipilih dan pilihan mereka bukanlah pilihan bijak.
Permaisuri menghela napas dalam diam. Pada akhirnya dia harus menyerahkan semuanya pada takdir. Toh asam di darat, garam di laut, bertemu di belanga.
Baru saja disebut, suara-suara familier yang sedang bertengkar terdengar semakin mendekat. Sebenarnya tidak benar-benar bertengkar karena keduanya tidak saling melemparkan kata penuh amarah, hanya salah satu dari mereka yang melakukan itu sementara yang lainnya menyahut dengan tenang. Raja menggelengkan kepala dengan senyum. Permaisuri menutup kembali gulungan lalu menyerahkan pada abdi dalem yang berdiri di sisi kanannya.
"Iya, tapi kenapa harus konde kesayanganku?" suara itu semakin mendekat.
"Kenapa Kakang Mbok mematahkan punyaku?" suara lain bertanya.
"Dinda juga tidak sengaja mengambil kesayangan Kakang Mbok."
"Candra Kirana!!"
Candra Kirana hanya tersenyum menanggapi kakaknya, Dewi Galuh. Dewi Galuh pun kemudian memasang senyum termanisnya ketika prajurit penjaga pintu mengumumkan kedatangan mereka pada Raja dan Permaisuri. Dewi Galuh dan Candra Kirana memasuki balairung dengan anggun diikuti dayang-dayang mereka. Selendang-selendang sutra berwarna kalem dan mencolok berayun lembut di lengan seiring mereka berjalan.
Dua putri kesayangan raja dan permaisuri itu memberi hormat pada orang tua mereka lalu menyapa para patih dan tumenggung sebelum mengambil singgasana mereka masing-masing di kedua sisi raja dan permaisuri. Merasa tidak ada lagi hal yang akan dilaporkan oleh para tumenggungnya, mereka dipersilakan keluar dari balairung dan kembali bekerja. "Apa yang kalian ributkan pagi ini, putri-putriku?"
Seperti diberi undangan, Dewi Galuh langsung menceritakan hal yang dilakukan oleh adiknya. Candra Kirana diam, hanya menyela sesekali ketika kakaknya mulai mengatakan sesuatu yang menjurus ke pemfitnahan. Orang tua mereka mendengarkan dengan saksama dan dengan senyum. Mereka sangat memanjakan kedua putri mereka, tetapi Dewi Galuh memang selalu membutuhkan lebih.
"Sudah. Sudah. Nanti Ibunda belikan lagi," kata Permaisuri menenangkan.
"Benar. Besok lusa ada saudagar dari timur yang akan datang. Kalau perlu, kita beli satu peti penuh untuk kalian masing-masing. Kita beli semua dagangannya."
"Tidak perlu, Ayahanda. Kita beli seperlunya saja. Kamar Ananda sudah penuh."
Dewi Galuh yang sangat antusias dengan janji mendapat barang baru, mendengkus nyinyir pada adiknya yang menurutnya sok baik.
Raja mengibaskan tangan di depan wajah. "Tidak masalah. Kalian bisa menyingkirkan semua barang lama kalian dan menggantinya dengan yang baru. Akan ada tamu dari jauh sebentar lagi, kalian harus tampil cantik."
"Tamu dari jauh?" tanya Candra Kirana. "Siapa gerangan, Ayahanda?"
Raja melirik istrinya. "Haruskah kita mengatakannya, Permaisuriku?"
"Katakan saja, Gusti. Agar suasana hati mereka membaik."
"Iya. Iya. Ayahanda. Beritahu kami!"
Alih-alih mengatakannya, Raja meminta gulungan yang dipegang oleh abdi dalemnya lalu menyerahkannya pada Dewi Galuh yang duduk lebih dekat dengannya. Dewi Galuh segera menerima dan membuka gulungan itu dengan tergesa-gesa. Senyumnya perlahan mulai mengembang sampai membentuk senyum penuh yang menunjukan semua giginya.
"Putra mahkota kerajaan Kahuripan? Maksud Ayahanda Raden Inu Kertapati akan datang ke sini?!" tanya Dewi Galuh. Putri yang satu itu terlihat kelewat antusias mendekati histeris. Apalagi ketika raja dan permaisuri mengangguk dengan senyum juga, dia memekik senang. Di dalam kepalanya sudah mulai merencanakan bagaimana menarik hati putra mahkota dari negeri tetangga itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top