4 ~ Kutemukan Dirimu

Pria itu terlihat sedang berbincang dengan sesama panitia di dekat sebuah pilar besar, kemudian mereka beranjak pergi.

Tak mau kehilangan kesempatan lagi, aku bergegas menuju ke tempatnya berdiri, tapi beberapa peserta seminar menghalangi pandanganku. Ketika berhasil menerobos kerumuman itu, aku sudah kehilangan jejak pria yang kucari-cari selama ini. Aku tak menyerah. Aku berjalan sambil menyapukan pandangan ke berbagai marah, mengelilingi pilar demi pilar, berharap bisa melihat sosok itu lagi. Gedung ini memang mempunyai pilar-pilar marmer yang besar dan kokoh, yang kadang membuat seseorang tak terlihat saat berada di belakangnya. Dan pencarianku berhenti, ketika aku menemukan sosok pria berkacamata dengan kaos panitia sedang berbicara dengan panitia perempuan di dekat pintu masuk lain dari gedung itu. Namun sayangnya, itu bukan dia.

Mungkin aku hanya berhalusinasi.

“Kamu ngejar apa sih, Han?” protes Alvi. Nafasnya masih terengah-engah karena mengejarku. Butiran keringat terlihat bergelembung di dahinya.

“Kayak ada seseorang yang aku kenal.”

“Siapa?”

“Lupakan aja, ayo kita kembali.”

Huft, nggak ada gunanya kita lari-larian ...,” keluh Alvi.

***

Aku tak benar-benar fokus selama seminar. Pikiranku masih dipenuhi oleh pria itu. Sepanjang acara, pandanganku tetap berkeliling, berharap apa yang kulihat tadi itu bukanlah ilusi semata. Namun, sampai acara selesai, pria itu tetap tak bisa kutemukan.

“Kita salat ashar dulu, yuk,” ajakku ketika kami keluar dari gedung.

“Apa kita nggak salat di stasiun aja, takut nanti ketinggalan kereta," usul Mei.

“Kalau salatnya nggak lebih dari tiga puluh menit aja sih, kayaknya nggak akan ketinggalan deh," kata Alvi.

"Yaudah, ayo kita ke ruangan yang kita pakai salat dhuhur tadi."

"Udah tutup Mei ... kan seminarnya udah selesai. Tuh liat, panitia udah mulai beres-beres. Mending kita salat di masjid kampus."

"Setuju! Aku belum ngeksplor masjid sini."

“Yaudah, kita ke sana, yuk,” ajakku sambil mengeluarkan peta kampus, bekal yang kami dapat dari panitia tadi pagi.

“Kelamaan, tanya oppa itu aja,” kata Alvi sambil berlari menuruni tangga, menuju ke arah oppa yang dimaksud sambil menarik tanganku dan Mei.

“Kak, maaf numpang tanya, masjid di mana, ya?” tanya Alvi tanpa sungkan ke orang yang dipanggilnya oppa itu.

Pria itu tersenyum.

Deg!

Jantungku serasa berhenti demi melihat sosok pria yang ada di depan kami. MasyaAllah ... aku terperanjat mendapati pria yang dipanggil oppa itu ... adalah dia! Orang yang sedari tadi kucari tanpa henti. Orang yang membuyarkan konsentrasiku seharian ini.

“Kalau masjid kampus, lokasinya lumayan jauh dari sini. Tepatnya di dekat bundaran. Kalian harus berjalan ke sana, lalu belok ke sana, lurus, ketemu jalan besar, masih lurus, nanti akan ketemu masjid di sebelah kanan jalan.” Jawab pria itu sambil menggerakkan tangannya, berharap kami lebih memahami arahannya. Keramahannya masih sama, kehangatan dan senyumnya pun juga tak berbeda.

“Arya!” teriak salah seorang panitia dari arah gedung yang baru saja akan kami tinggalkan.

“Bentar!” jawab oppa itu sambil mengacungkan telapak tangannya ke arah pria itu, menunjukkan bahwa ia sudah menanggapi panggilannya.

“Sepertinya, saya harus pergi dulu. Sampai jumpa,” kata oppa itu sambil berlari meninggalkan kami, menuju ke pria lain yang memanggilnya.

Aku tersadar dari keterpakuanku ketika mendapati ia sudah berbaur dengan teman-teman sesama panitianya. Sekali lagi, aku lupa mengucapkan terima kasih kepadanya. Namun, saat kudapati ia berbincang dengan pembicara seminar tadi, aku pun mengurungkan niat untuk menghampirinya, dan lebih memilih untuk menunaikan salat ashar terlebih dahulu. Kalau ada kesempatan, mungkin kami akan bertemu lagi. Saat ini, pria itu benar-benar sibuk.

Kami pun melanjutkan langkah mengikuti arahannya. Pencarian kami berakhir saat kami melihat sebuah gapura, yang bentuknya melengkung tepat di atas tangga. Setelah beberapa kali mengambil foto, kami kemudian masuk melewati gapura tersebut.

Masjidnya sangat indah. Bangunan itu didominasi oleh warna coklat kekuningan, dengan patung kaligrafi berlafal Allah menyapa di ujung halamannya. Di belakangnya, ada kolam berbentuk persegi panjang, yang di samping kiri dan kanannya berjejer beberapa pohon palem yang menjulang ke angkasa, seakan bersaing tinggi dengan menara masjidnya. Benar-benar pemandangan yang memanjakan mata.

“Eh, kenapa sih, Han? Senyum-senyum terus dari tadi," goda Alvi, yang sepertinya menyadari kegembiraanku saat ini. Bagaimana tidak, bisa bertemu lagi dengan 'dia', tentu membuat jantung berdebar luar biasa. Terlebih saat ini, aku sudah mengetahui namanya. Arya, dari fakultas kedokteran.

“Masjidnya bagus banget," jawabku, berusaha menyembunyikan alasanku yang sebenarnya. Untungnya, mereka tidak membahasnya lebih jauh lagi.

Namun, alih-alih menjadi tenang setelah bertemu dengannya, aku justru semakin memikirkannya. Ketika aku berwudlu, bayangan pria itu masih menggodaku. Salat pun juga sama, aku tidak bisa khusyuk karena terbayang dirinya.

Ya Allah, lindungi hati hamba.

Aku pun mengulangi salat lagi dan harus berjuang keras untuk bisa sekhusyuk mungkin.

“Kita cari kakak yang tadi yuk, kita belum ngucapin terima kasih," ajakku setelah kami keluar dari masjid itu. Aku tahu, ajakanku ini mengada-ada, tapi aku tak melihat pilihan lain untuk bisa bertemu dengannya lagi.

"Ngapain har ...."

“Ayok! aku juga pengen ketemu oppa itu tadi,” jawab Alvi memutus perkataan Mei. Aku tersenyum, bersyukur ada yang mendukung keinginan abstrakku ini.

***

Gedung itu mulai terlihat sepi. Hanya ada beberapa panitia yang sedang membersihkan ruangan tempat seminar tadi.

“Permisi, kak,” kata Alvi kepada salah satu panitia yang sedang membawa sekantong sampah.

“Iya, ada yang bisa dibantu?” jawab pria itu dengan ramah.

Hmmm, kami mau mencari panitia yang bernama Kak Arya.”

“Arya yang mana?”

“Yang tampan dan berkacamata,” jawab Alvi tanpa kenal malu, bersambut dengan cubitan Mei di pinggangnya.

“Oh, dia lagi ngurus administrasi di gedung itu,” kata panitia itu sambil mengarahkan dagunya, menunjukkan ke bangunan yang berdiri megah di sisi lahan tempat parkir.

“Apa masih lama kembalinya?”

“Mungkin, soalnya dia juga baru saja perginya. Ada kepentingan apa?”

“Tidak ... tidak ada. Kami cuma ingin ngucapin terima kasih atas bantuannya tadi,” sahutku, mulai merasa tidak nyaman dengan interogasinya.

“Oh, begitu, kalau gitu ... silakan tunggu aja. Kalau urusannya udah selesai, dia pasti balik ke sini.”

Ummm, tapi kami harus segera pulang. Kalau nggak keberatan, bolehkah kami menitipkan ucapan terima kasih kepadanya?”

“Tentu saja, nanti akan aku sampaikan. Ngomong-ngomong, kalian siapanya?”

“Kami, peserta seminar yang tadi dibantunya,” sahut Alvi.

“Oh, begitu. Iya, nanti aku sampaikan.”

“Terima kasih,” tutupku sambil memohon undur diri.

Sejujurnya, aku sangat kecewa karena tidak bisa menemuinya. Namun, kami juga tidak mungkin memaksa keinginan ini. Terlebih, kami hanya punya sedikit waktu sampai kereta kami berangkat.

Semoga, suatu saat nanti, aku bisa kembali ke sini, dan bertemu dengannya lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top