[what lovers do]

-Tidak pernah ada kata terlambat dalam melanjutkan hidup, hal yang paling salah adalah ketika berniat menghentikan hidup.-

Entah apa yang membuat Aliefiya tidak beranjak.

Alief sama sekali tak menyangka bahwa orang yang mengenalkan diri sebagai Saga itu datang di acara ulang tahun ponakannya. Seingat Alief, kakaknya juga tak kenal. Jadi, atas undangan siapa pemuda itu di sini?

Tapi, mungkin rasa penasaran itu juga yang akhirnya membuat Alief tidak menjauh sedikit pun saat kursi di sebelahnya diduduki Saga. Meski riuh di depannya masih berlangsung. Teriakan bocah-bocah, ajakan berfoto, hingga sapaan ramah yang dibalasnya dengan lambaian tangan.

Dan sekarang, tepat di sisinya ada lelaki baru di kenal yang duduk dengan tenang sambil meninabobokan bocah lelaki berparas malaikat. Sejak ia duduk, tak sedikit pun pemuda itu mengajaknya mengobrol. Hanya senandung lirih ala kadar yang bisa Alief dengar.

Alief bukannya tak sadar, ia sangat tahu bahwa sejak petikan nada pertama pada harpanya, Saga tak pernah mengalihkan perhatian. Pun ketika ia menyelesaikan lagu dan duo bocah memberinya ciuman bertubi-tubi, Saga juga tetap menatapnya. Tanpa malu-malu. Tanpa sembunyi. Seolah-olah, pemuda itu memang sengaja menatapnya dan tak malu dipergoki. Saga juga tak terlihat salah tingkah.

Sekarang, dengan lihainya meski menggendong satu bocah terlelap di pundak, pemuda itu masih bisa mendatanginya dengan tenang dan duduk di samping kursi kosong di sisi Alief dengan sedikit basa-basi, "Boleh saya duduk di sini?"

Alief yang sengaja menyingkir dari pusat keramaian dan menepi di sudut namun dalam jarak pandang yang masih bisa menangkap riuh pesta dan dua ponakannya yang sekarang asyik menangkap balon dan menusuknya hingga mengeluarkan bunyi dar der dor di mana-mana. Bersamaan dengan itu, berserakan pernak-pernik kecil yang disambut dengan tawa kencang oleh bocah-bocah di sekitar mereka. "Hmm... boleh," jawab Alief menyilakan Saga duduk di kursi yang memang sengaja dipindahkan ke sudut untuk memperluas ruang tengah tempat berlangsungnya acara.

"Nggak makan?" Akhirnya Saga membuka mulut. Belum lagi Alief menjawab, Saga malah meneruskan, "Aneh ya, pertanyaan saya? Kayak saya aja tuan rumahnya." Pemuda itu terkekeh, dan Alief baru menyadari ada lesung pipi kecil di salah satu pipinya.

"Belum. Kamu?" tanya Alief balik.

"Mau. Tapi nanti. Setelah emak bocah ini kelar ikut-ikutan menghajar balon itu," dengkus Saga. Dagunya mengarah pada Kemi yang ikut asyik menebaskan pedang-pedangan untuk menusuk balon-balon besar.

Alief mengikuti tatapan Saga dan nyaris gagal menahan tawa. Sesosok wanita mungil, mungkin nyaris seperti kakak iparnya tengah berbaur dengan ributnya bocah. Bocah-bocah di sekiar meminta tolong perempuan berambut ungu tersebut untuk memukul balon yang menurut mereka berisi hadiah.

"Seru banget! Kayaknya hidupnya asyik banget. Tanpa beban," komentar Alief.

"Kemi memang memiliki bakat alami," tukas Saga. "Dia bisa bikin suasana di sekitarnya hidup. Nggak ada yang nggak seru kalau sama dia."

"Dia memang selalu seheboh itu?" tanya Aliefiya ingin tahu.

"Di pesta ini, menurut saya dia masih terkendali sih." Jawaban menggantung Saga membuat Alief menoleh padanya. "Yah... di pesta lain, kami pernah menghajar keluarga yang punya hajat."

"Hah?"

Saga termenung mengingat kejadian di masa lampau. "Kemi, salah satu sahabat saya. Kamu juga sudah lihat yang dua lagi kan? Waktu di rumah sakit?" Alief mengangguk. "Nah... salah satu dari mereka waktu itu menjalin hubungan, dan... si lelakinya kurang punya daya juang, menurut saya. Dia mengundang kami ke resepsi kakaknya waktu itu. Dan kamu tahu apa yang terjadi di sana?"

"Apa?" Baru kali ini Aliefiya menunjukkan penasaran yang tidak ditutup-tutupi.

"Keluarga si lelaki mengenalkan gadis lain sebagai pasangan si lelaki tadi. Gadis lain ini bisa disebut mantannya. Dan bisa kamu bayangkan gimana perasaan sahabat saya?"

"Dia hancur. Kecewa."

"Oh, lebih dari itu. Saya awalnya nggak peduli dia hancur, kecewa. Toh itu risiko sebuah hubungan. Hubungan mana sih yang nggak ada rasa kecewa? Tapi, melihatnya sedih dan ngerasa nggak berharga, itu yang nggak bisa biarin. Dan yaaah... Kemi marah, ngamuk, ngomel, nunjuk-nunjuk saking kesalnya."

"Terus?"

"Dan saya menyelesaikannya dengan satu kali gamparan."

"What! Kamu membuat mereka putus?!"

Saga terkekeh. Perhatian Aliefiya terpusat sepenuhnya kepadanya. "Nggak, ending-nya... mereka nikah.

"Heh?"

"Setelahnya, saya mengajak si pria bicara. Saya membuatnya berpikir panjang, jika dia tak bisa menempatkan sahabat saya pada posisi istimewa dan satu-satunya, maka lebih baik dia menjauh."

"How lucky she is. Punya orang yang peduli seperti kamu."

"Semua orang pasti punya orang yang peduli, hanya diizinkan menunjukkan kepedulian atau nggak, itu yang jadi poin pentingnya."

"Maksudnya?"

"Nanti, lain kali saya tunjukkin maksudnya. Apa yang saya maksud dengan kepedulian saya. Belum waktunya, dan... belum terbit izinnya."

Alief mengangkat pandang. Kini mereka berdua bersitatap dalam diam. Hanya bunyi tepukan pelan punggung bocah kecil yang terdengar. Hening, hanya sesekali beradu pandang, dan menyungging senyum. Tapi, Alief justru merasakan perasaan nyaman yang entah datang dari mana. Semacam kelegaan, karena ia tak dituntut untuk bicara riang dan raut muka ceria seperti yang belakangan ini susah-payah diusahakannya. Keluarganya mengenal Alief dalam figur semacam itu.

Dan sekarang, diamnya Saga, tepukan pelannya pada bocah yang terlelap di pundaknya... ia merasa nyaman. Seperti berada dalam lingkaran yang aman.

Ia menikmati suara lembut menenangkan itu sama seperti ia menikmati suara musik latar pada film-film yang digarapnya. Begitu ritmis. Dan kali ini, begitu magis.

"Mungkin udah banyak yang bilang, kamu tadi bagus banget pas mainin itu," akhirnya Saga bersuara. Dan Alief mendengak.

"Benda yang kamu sebut 'itu', namanya harpa," sahut Aliefiya.

"Kamu bagus main harpa, membuat saya kesusahan bernapas."

"Apa hubungannya?" Alief mengerutkan dahi.

"Saya nggak mau kehilangan satu denting pun, karena saat saya menarik napas... pendengaran dan penglihatan saya akan berkurang fokusnya. Saya nggak mau melewatkan."

"Lho, terus gimana... gimana cara kamu menikmati kalau menahan napas terus... nanti kamu bisa—"

"Kamu sadar nggak, kalau saya sedang mencari kesempatan untuk mendengarkan lagi permainan harpamu?" tanya Saga.

"Eh?"

"Harpa itu alat musik yang sering muncul dalam mitologi dewa-dewi. Dulu saya sih nggak percaya, tapi melihat kamu, saya percaya kalau memang berasal dari bidadari." Ucapan Saga sederhana, tanpa notasi apa-apa, tapi membuat pipi Alief sedikit menghangat.

Alief terkekeh. "Identiknya begitu, mainan para bidadari, malaikat, dewa, gitu-gitu. Eh tapi dewa nggak mainin beginian kali, pelayannya mungkin. Dewa kan cuma duduk-duduk di atas singgasana terus ngambil anggur yang disodorin sama pelayan."

Dahi Saga langsung berkerut, "Emang kamu temenan sama dewa? Kok tahu banget? Kamu orang dalam, jangan-jangan?"

"Kamu jangan-jangan? Makanya nggak terbiasa minum kopi di bumi. Sekalinya turun, langsung pingsan terus diangkut ke IGD," ledek Alief.

Sumpah... Saga mampu merelakan seumur hidupnya untuk diledek Aliefiya, selama bisa menyaksikan rona wajah gadis itu berganti dari pucat menjadi bersemu. Dan tawa riang yang menurutnya paling merdu sedunia.

"Mana ada sih dewa yang turun ke bumi jadi baby sitter , menjaga anak manusia sampai tidur, kadang diperalat buat nyebok juga," ucap Saga. Tak ayal ocehan Saga membuat Aliefiya terkekeh sedikit. Baru kali ini ia menemukan lelaki selain kakaknya yang membuat topik ringan menjadi panjang pembahasannya. Meski kakaknya kebanyakan dalam bentuk pisuhan atau omelan.

"Ngeluh?"

Saga menggeleng cepat. "Omelan tadi salah satu tanda saya peduli. Saya nggak akan repot-repot ngomelin orang yang nggak saya peduliin."

"Jadi, salah satu tandanya ngomel?" tanya Alief.

"Bisa jadi. Salah satunya juga bisa berupa duduk menghabiskan waktu mengobrolkan hal-hal biasa saja."

"Gimana bisa mengobrolkan hal biasa-biasa saja menjadi tanda kepedulian?"

"Kepedulian itu juga ditandai dengan membagi hal-hal yang tak penting bersama. Yang nggak penting aja dibagi, apalagi yang penting kan?" tanya Saga balik.

Alief mengalihkan tatap dan menemukan Kemi masih sibuk membantu para bocah mendapatkan mainan yang diincar. Setelah ia memukul balon, pernik-perniknya berserakan bersama dengan segulung kertas bertuliskan mainan yang dapat dibawa pulang. Dan Kemi pun ikut memekik senang jika bocah itu mendapatkan hadiah yang diidam-idamkan. Benar-benar pemandangan amazing yang menghangatkan hati. Ada ketulusan dalam setiap kehebohan yang berlangsung di depan matanya.

"Memukuli balon itu bagi kita mungkin nggak penting, tapi bagi bocah-bocah itu? Kemi meninggalkan kesan yang mendalam bagi mereka. Bahkan mungkin dianggap sebagai pahlawan."

Alief mengangguk. "Membagi hal yang tidak penting bersama-sama," gumamnya.

"Dan hal nggak penting itu, penting buat saya, Fiya. Terutama hal-hal tidak penting dari kamu."

"Eh?"

"Termasuk hal-hal tidak penting, termasuk hal-hal yang membuat kamu sedih juga. Kamu bisa membaginya."

Alief manggut-manggut. Sudah lama ia mengenal konsep membagi kesedihan pada orang-orang terdekat. Namun, entah kenapa peristiwa setahun terakhir ini membuatnya enggan. Sama sekali tidak kepingin berbagi. Karena Alief pun bingung harus memulai dari mana.

Dan hening sesaat kembali terjadi.

"Kalau kamu belum berniat membagi apa yang kamu pikirkan, bagaimana kalau kita sekarang makan? Saya mulai lapar ngomong-ngomong. Dan sepertinya emak bocah ini nggak ada tanda-tanda berhenti mukulin balon," ujar Saga geleng-geleng kepala.

"Makan? Tahu ungkapan keuntungan jadi panitia acara?" tanya Alief. Saga mengangkat alisnya. "Kalau nggak dapat makan paling banyak, atau malah kehabisan, dapatnya cuma sisa-sisa yang udah nggak bisa disantap."

"Nah... tuh tahu. Meski kamu orang dalam, saya nggak mau ambil risiko kehabisan makanan," tukas Saga cepat. "Mau kamu yang ambilin makan, atau mau gendong Wira?" Alief baru mengangkat alis dan bocah itu sudah berpindah ke pangkuannya. "Tepuk-tepuk pelan, dia bakal tetap tidur. Kamu mau makan apa?"

"Eng... Apa aja," jawab Aliefiya bingung. Masih terkejut dengan dengkur pelan bocah yang lelap di pundaknya.

"Oke, tunggu sebentar."

Dan Saga benar-benar kembali membawa sepiring makanan dan seporsi buah-buahan yang telah dipotong. Apa Alief salah dengar, bukannya Saga tadi bilang akan mengambilkan makan? Atau barangkali, lelaki ini meletakkan dulu dan akan mengambilkan sepiring lagi?

"Mau buah dulu?" tanya Saga dan Alief mengangguk bingung.

Detik berikutnya, Alief nyaris tersedak karena dengan tiba-tiba lelaki itu menyodorkan ke depan mulutnya. Nggak ada pilihan lain kecuali melahap perlahan dan matanya mengerjap beberapa kali. Entah, Alief juga tak mengerti, kenapa saat ini dia menurut saja dan menerima suapan demi suapan yang Saga berikan. Seporsi buah ludes dalam waktu singkat. Dan tatapan Alief kali ini tepat menyasar netra Saga.

"Saya nggak akan pernah membiarkan kamu kelaparan apalagi harus menyaksikan saya makan duluan, Fiya," ucap Saga pelan. Hanya mereka yang mampu mendengarnya. Namun efek ucapan itu benar-benar membuat Aliefiya menahan napas.


Note:

Bahahahaa... kali aja masih ada yang mau baca, wkwkw

Sori, kelamaan ngumpet. Sayanya sibuk jadi mama-mama yang spaneng ngajarin anak syekola onlen. Sungguh... punya anak TK yang dari awal onlen itu beneran menyita kewarasan, nggak heran mama-mama onlen pada gila..

Apa kabar kalian? Semoga tetap sehat selalu yaa... ini covid udah macem berapa kali haul aja nggak pergi2 juga...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top