[we'll meet again]
-Tuhan itu mungkin memang iseng saat merancang sebuah pertemuan, tapi Tuhan itu tak pernah iseng ketika memisahkan dua insan-
Aliefiya Restu Bachtiar.
Bukan main-main Alief diberi nama tengah 'Restu', karena bagi kedua orang tuanya dan kakaknya saat itu, kehadiran bayi mungil yang ditunggu sejak lama itu tentu saja hanya bisa terwujud karena adanya restu Ilahi. Dan sialnya, beberapa detik yang lalu, Alief nyaris saja mengkandaskan 'restu' dalam dirinya.
Dan bukan perkara sepele ia diberi nama Alief, bukan karena ia anak pertama—ia jelas anak kedua tentu saja, tapi nama itu disematkan karena ia adalah anak gadis satu-satunya yang menjadi pusat dunia orang-orang di sekitarnya. Paling tidak, bagi ayah, bunda dan kakak lelakinya, Alief adalah sentral kebahagiaan mereka. Dan Alief... lagi-lagi nyaris mengenyahkan itu dengan sekali lompatan dari balkon apartemen mewah milik kakaknya di kawasan Holland Village, Singapura.
"Hah...," Alief merutuk nyaring, meski di tempat itu dia hanya sendirian. Kakaknya jelas takkan pernah memaafkan dirinya, andai ia berani-berani meninggalkan dunia ini dengan cara tidak terpuji, apalagi bawa-bawa lokasi apartemen milik kakaknya ini. Alief yakin, saat mereka berdua bertemu lagi di kehidupan berikutnya, Alief bukan mati karena cincangan malaikat, melainkan amukan dahsyat seorang Aldebaran Bachtiar, kakak kesayangannya ini.
Lamunan dan helaan napas berat yang sudah tiga minggu ini menghinggapi Alief, membuat ia terlonjak saat ponselnya dengan kurang ajar meneriakkan bunyi. Hanya satu orang di dunia ini yang memiliki akses untuk mengobrak-abrik ponselnya, dan Alief takkan pernah bisa melawannya. Pernah suatu ketika, saat ia baru seminggu berada di Singapura dan nekat mematikan ponselnya, tak membutuhkan waktu lama saat interpol menghampiri dirinya yang tengah merenung di sudut sebuah kafe di Orchard Road dan menyuruhnya segera mengaktifkan telepon genggam atau kakaknya akan segera terbang menuju Singapura dengan pesawat milik keluarga mereka.
Sial!
Hanya kakaknya yang mampu berlaku demikian gilanya.
Dan sekarang, andai Alief tak mengangkat teleponnya, gadis itu yakin sekali, tak butuh waktu lama gedoran bahkan dobrakan pintu apartemen akan terjadi, pasti melibatkan interpol lagi. Dan mengganti pintu apartemen yang rusak jelas tak ada dalam daftar dosa menjelang bunuh diri seorang Aliefiya.
Diraihnya ponsel dan menggeser tanda panggilan masuk, "Ya, A'?"
"Belum tidur lo?" Suara kakaknya langsung menyerbu indera pendengaran.
Entah kenapa, meski kesal... Alief justru merindukan suara ini. Meski bukan suara yang paling ia dambakan untuk menghubungi—ah... sudahlah, Aliefiya!—setidaknya, suara ini adalah penyelamat dari kegilaan yang nyaris saja terjadi.
"Baru mau tidur," bohongnya. Alief jelas-jelas tak berniat tidur meski kelopak bawah matanya sudah setebal pantat kuali para penyihir saking hitamnya.
Desahan terdengar di seberang sana, "A'Al baru kelar operasi. Mau pulang."
Ini pukul tiga pagi waktu Singapura dan Alief bisa membayangkan raut wajah kakaknya yang kelelahan dan masih sempat menghubunginya. Air matanya sedikit merebak.
"Oh, baiklah. Hati-hati, A'."
"Hati-hati, gundulmu! Lo lupa? Besok weekend, dan apa artinya weekend bagi keluarga kita. Gue sampai nggak enak hati pulang dua minggu ini karena Bunda terus-menerus mencecar gue karena ngebiarin lo pergi sendiri ke Singapura. Dan besok gue kudu ngadepin kondisi yang sama lagi? Ya Tuhan, gue takjub banget kalau Bunda nggak nongol di sana akhir pekan nanti!"
Alief meringis sendiri meski hanya mendengar pisuhan kakaknya lewat telepon. Ia mengingat dengan baik saat kakaknya harus membuat berbagai macam alasan pada bundanya agar Alief bisa pergi ke Singapura. Kakaknya dengan setengah ikhlas membujuk bunda agar membiarkan gadis itu 'menyembuhkan hati' berkedok liburan tanpa ditemani siapa pun. Dan ini sudah berjalan tiga minggu, yang artinya kesabaran yang dimiliki bunda maupun kakaknya sudah setipis kulit bawang.
"Oke, besok weekend, A'."
"Bukan, oke, Aliefiya!" Nadanya meninggi. "A'al kirim email untuk tiket kepulangan lo kali ini. Lo boleh milih, pulang atau Bunda yang nyamperin ke sana." Kali ini nada Al tak main-main. Alief bisa membayangkan kakaknya meremas rambut beberapa kali saking kesalnya.
"A!" keluhnya.
"Apa?! A'Al udah kehabisan alasan buat menyabarkan Bunda. Beliau berhak tahu apa yang terjadi sama lo, Aliefiya! Andai ini kejadian lima atau enam tahun lalu, A'Al nggak segan-segan nyari Ian dan bikin dia babak belur—"
"A'!" Jeritan Alief membuat Al terdiam, kakaknya sadar bahwa sudah menyebutkan nama yang tabu untuk didengar adiknya.
"Oke! Maaf! Maafin, A'Al." Nada di seberang kini mulai turun, dan seiring dengan itu isakan tertahan mulai muncul tanpa bisa Alief tahan. "Ya Tuhan, gue kudu gimanaaa coba!" seru Al terdengar frustrasi. Alief langsung menghentikan tangis, setidaknya untuk saat ini. Dan ia cepat-cepat meminta sambungan diputus. Syukur saja, meski kesal... kakaknya mengalah dan telepon ditutup.
Semenit kemudian, Alief yakin, kakaknya pasti meremas rambut karena kesal dan pulang dalam kondisi awut-awutan. Masih syukur kalau kakak iparnya tidak berpikir yang tidak-tidak, menduga Al baru saja selingkuh dan terlibat permainan panas yang di dalamnya ada adegan jambak-jambakan.
Ah... rasa-rasanya, hidup Aliefiya semakin tidak berguna dan membawa masalah saja.
Saat Alief menatap balkon yang nyaris saja menjadi tempat terakhir berpijaknya di bumi, sebuah pesan singkat masuk ke ponselnya:
A'Al: Pulang, ya, Nte Alief.
Kali ini, air mata Alief tak bisa lagi ditahan saat kakaknya menyuarakan tingkah keponakannya dalam pesan singkat.
"Ugh, Nte Alief juga kangen Luna, Kaka, Dede," rintihnya.
[amplitudo]
Adipati Paramartha Sagala berjalan sedikit bergegas menuju SilverKris Business Class Lounges untuk menghempaskan diri dan memijat pelipisnya sedikit lebih kencang. Ia merogoh saku tas kerjanya dan menyadari bahwa aromaterapi yang biasa ia bawa tertinggal di tas kerjanya yang lain atau mungkin saja jatuh mengingat ia memiliki banyak benda sejenis dan kerap menggunakannya. Berbicara dengan klien yang tetap merokok dengan asap tebal mengepul merupakan salah satu siksaan bagi Saga. Namun, apa daya... sebagai ayam sayur—meski sebenarnya jabatan Saga sangat jauh dari ungkapan menyebalkan itu, tapi tetap saja Saga memiliki bos yang jauh lebih berkuasa—maka mau tak mau ia tetap menemui klien yang akan menggunakan jasa perusahaan mereka.
Tiga puluh empat tahun, partner di sebuah kantor akuntan publik dengan gaji sudah menyentuh angka tiga ratus ribu dolar pertahun, berkemeja slimfit dengan jas tersampir di lengan, dan sekarang dia sedang memijit kepalanya yang pusing karena minyak nenek-nenek kegemarannya entah tercecer di mana, sungguh tidak keren sama sekali! Karena itulah Saga memutuskan untuk meminta secangkir kopi demi melenyapkan rasa pusing yang melanda.
Panggilan untuk segera menaiki pesawat diabaikannya, ia menyesap seteguk demi seteguk dan bersumpah kalau sampai ia memuntahkan sesuatu di pesawat nanti gara-gara pusing yang mendera, ia bakal memaki-maki rekan sekaligus atasannya yang sudah tega menyurukkannya ke bawah hidung seorang klien perokok.
"Sialan!" umpatnya. Gejolak di perutnya makin menjadi, dan ia menepuk dahi keras-keras karena baru saja menyadari bahwa perutnya kosong—hanya terisi sepotong croissant, dan itu belum bisa dihitung makanan bagi Saga—dan ia malah dengan bodohnya menenggak secangkir kopi.
"Sorry?" Suara di sebelahnya membuat Saga berhenti menekap perut. Ia menoleh menemukan gadis berkacamata hitam dan bermasker di sampingnya. Bersebelahan dengan seat-nya.
"Eh? No... not you," tutur Saga cepat. "My stomach isn't good, I was drinking coffee—"
"Even though you haven't eaten yet?" potong gadis itu. "So, now you want to vomit?"
Saga memiringkan kepalanya, takjub. Gadis itu mengerjap lagi. "Iya, gitu," sahutnya sambil meringis. "Eh, I mean—"
"Saya dari Indonesia juga, kok," potong gadis itu, kemudian dengan cepat meraih tasnya lalu mengulurkan sesuatu. "Mungkin salah satu dari ini bisa membantu?"
Mata Saga melebar dan ia cepat-cepat meraih aromaterapi yang disodorkan. Dioleskannya beberapa kali di pelipis dan kemudian ia mendengak lagi menghadap si gadis, "Eng... keberatan nggak kalau ini saya olesin ke perut. Buat ngurangin mual. Nanti saya ganti deh ininya."
Gadis itu tertawa. "Nggak papa, pakai aja. Saya masih punya banyak, kok. Sekalian minum aja obatnya, siapa tahu jadi lebih enak."
"Ah, terima kasih," ucap Saga, kemudian dengan cepat menenggak sebutir pil dan berniat memejamkan mata saat pesawat mulai bergerak.
Namun, di saat bersamaan, ekor mata Saga menangkap gerakan gadis di sebelahnya meraih majalah dan membuka kacamata hitamnya dan meletakkan di atas kepala. Dengan lincah, tangannya mulai membalik-balik halaman.
Dan Saga menatap mata itu dengan beberapa kali kerjapan.
Ia tiba-tiba meyakini sesuatu. Mata itu! Saga mengenali mata itu. Bentuknya, warnanya, alisnya, rambut cepolnya, mengingatkan Saga akan seseorang. Ia tahu, bahwa ia telah menemukannya. Dan pertemuan kali ini tak boleh menjadi sebuah kesia-siaan lagi.
Namun, pusing dan mual yang menderanya ternyata lebih jahanam daripada keinginannya untuk mengajak gadis itu bicara. Pilihannya adalah mengajak gadis itu berkenalan namun disertai isi perut tak terkontrol yang keluar tiba-tiba. Dan itu bakal memalukan sekali rasanya! Ditahannya sebisa mungkin pusing dan mualnya dan entah berapa lama ia dalam posisi itu, kemudian gelap dan ia akhirnya merasakan lengannya ditepuk pelan.
"Maaf, Pak, kita sudah sampai." Suara itu membuatnya mengerjap. Dengan cepat ia menoleh dan menemukan sisi sebelahnya kosong melompong.
"Di mana?" kejarnya.
Perempuan berseragam penerbangan menatapnya sedikit bingung. "Jakarta?" tanyanya menggantung. "Penerbangan ini mendarat di Jakarta."
"Bukan, maksud saya, penumpang di sebelah tadi?" ucap Saga cepat.
"Oh, sudah turun duluan."
"Hah?"
Saga tergeragap, dengan panik diraihnya tas kerja dan nyaris berlari menuju garbarata. Sambil komat-kamit berdoa, ia berharap adanya keajaiban. Dipindainya sosok yang ia temukan atau melintasinya. Beberapa orang malah sempat ia raih di lengan dan kemudian ia harus sibuk membungkuk untuk meminta maaf karena salah orang. Namun, sepertinya sia-sia, sosok yang ia cari lenyap dari hadapan. Gadis itu lenyap seperti angin dan Saga mengutuki dirinya sendiri.
Saga meringis dan merasa kesal sendiri, kemudian memutuskan untuk menuju tempat pengambilan bagasi. Saga adalah orang paling praktis yang sebenarnya malas membawa koper atau menitipkannya di bagasi pesawat, namun entah kenapa separuh hatinya benar-benar mengharapkan keajaiban. Pengambilan bagasi adalah tempat berkumpul sebagian besar penumpang pesawat, dan ia benar-benar berharap salah satu orang yang ada di sana adalah gadis itu. Namun sia-sia, matanya berkeliling dan tidak menemukan orang yang ia harapkan. Saga menarik napas, ia menuju pintu keluar sambil meraih ponsel untuk memastikan jemputannya sudah tersedia. Di saat itulah matanya bersirobok dengan gadis yang tengah menunduk sambil menyeret koper besarnya, nyaris menaiki taksi. Saga berlari dan untuk mencegatnya.
"Eh?" Gadis itu kaget karena Saga berhenti tiba-tiba di hadapannya.
"Ah... syukurlah. Ya Tuhan, ilang mulu," ucap Saga. "Untung ketemu, astaga!"
Gadis itu terkekeh sambil memiringkan kepala. "Sudah saya bilang, nggak perlu balikin, kok. Simpen aja buat, Masnya. Duluan, ya."
Saga menggeleng cepat. "No! Tunggu!" cegahnya. Gadis itu menghentikan langkah. Kali ini mereka berdua berhadapan dan tanpa memerhatikan hiruk pikuk di sekitarnya. Saga merasa... ia seperti berada di pusat gravitasi yang benar-benar menariknya sangat kuat. Bentuk matanya, bulu matanya, alisnya, ujung hidungnya yang hanya terlihat sebagian karena tertutup masker, rambutnya yang diikat cepol ke atas, dan kerjapan beberapa kali gadis itu menyadarkannya. Ia menarik napas beberapa kali, lalu berujar, "Ini sudah kali ketiga kita, dan saya nggak mau melewatkan kesempatan ini lagi. Saya bukan Masnya, nama saya Saga. Anda?"
Note:
Hai... maaf ya, baru bisa update. Kerjaan saya ke lapangan mulu beberapa hari ini dan pulang-pulang udah tepar. Lol.
Oh, iya, kakaknya si Aliefiya, si Aldebaran yang somplak itu bakal terbit bukunya. InsyaAllah bulan depan. Beli, ya... beli dong, beli harus dong. Ahahahaa...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top