[misery]
-Seperti membaca buku, ada kalanya perlu membalikkan halaman untuk melanjutkan cerita. Demikian pula hidup.-
Kalila hanya bisa menghela napas saat menyaksikan Aliefiya melewati pintu kamarnya yang terbuka. Gadis itu menunduk, tampak menatap serius ponselnya. Tak lama, jalannya semakin cepat.
"Livie, mau ke mana?" tanya Kalila. Dengan mengenakan gaun rumah, ia berdiri d depan pintu kamar. Mencegat adik iparnya yang nyaris segera berlalu.
"Eh, Teh," balas Aliefiya. "Mau balik."
"Ke apartemen?"
Aliefiya mengangguk. "Udah pesan taksi online. Kayaknya bentar lagi nyampai," jelas Alief sambil melambaikan ponselnya.
Kalila menjajari langkah adik iparnya. Perlahan menuruni tangga. Di bawah, masih banyak pegawai yang membersihkan sisa-sisa perayaan ulang tahun anaknya tadi siang. Dan di salah satu sudutnya, tampak Bunda sedang ikut merapikan beberapa hal. Seperti meletakkan vas-vas bunga kembali ke tempat semula.
"Udah bilang Bunda?" tanya Kalila, menggamit lengan Alief. Gadis itu terpaksa menghentikan langkah dan menatap kakak iparnya.
"Hng... udah sih."
"Bunda bilang apa?" kejar Kalila lagi.
"Bunda nggak ngizinin," jawab Alief sambil meringis. "Tapi, Alief tetap mau pulang."
"Oke."
Kalila berlari mendahului Alief dan sampai di depan pintu rumah, menemukan taksi online yang sudah dipesan adik iparnya telah menunggu.
"Mbak Alief?" tanya si pengemudi.
"Iya. Mohon maaf, Pak. Saya terpaksa membatalkan pesanan. Ini sedikit untuk mengganti kerugian Bapak," terang Kalila lancar sembari mengangguk sopan dan mengangsurkan dua lembar kertas berwarna merah. "Jalan aja, Pak!" perintahnya lagi. Meski kebingungan, sopir menerima dan melajukan mobil keluar dari pekarangan luas rumah mereka.
"Teh!" sela Alief. "Kok?"
"Ke kamar Teteh, yuk. Kita ngobrol-ngobrol. Udah lama nggak ngobrol," ujar Kalila. "Semingguan ini kan kita sibuk nyiapin pesat si Kembar. Sekaranglah saatnya kita me time. Iya nggak? Mumpung si Kembar dan Aluna lagi diajak main sama A'a." Dagunya mengedik ke arah Bunda yang sarat dengan pandangan bertanya. Alief mengerti kode itu dan menurut saja saat lengannya digamit Kalila menuju ke atas.
"Emangnya ke mana A'Al?"
"Nyari kado buat Aluna. Biasa, dia ngambek karena adik-adiknya dapat banyak hadiah. A'a kan paling nggak tahan kalau putri kesayangannya ngambek. Jadinya diajak ngemal, katanya mau nyari rumah Barbie."
"Oh." Hanya pendek sahutan Alief.
Mereka berdua memasuki kamar Kalila. Pintunya ditutup dan dua-duanya duduk di sofa santai yang menghadap televisi. Kalila menyalakan musik, namun dengan suara yang pelan sehingga tidak mengganggu percakapan.
"Gimana kabar kamu, Liv?" tanya Kalila hati-hati.
Alief mengerutkan dahi. Bingung harus menjawab seperti apa. Dan sebenarnya ia sedikit menghindari jenis pertanyaan seperti ini.
"Baik, sehat," jawabnya pendek.
Kalila menghela napas lagi. "Kamu... nggak berniat kembali tinggal di apartemen kan, Livie?"
Gantian Alief yang menjawab dengan helaan napas. "Kenapa memangnya, Teh?"
Kalila menggeleng pelan, "Teteh... ngerti perasaan Bunda. Dan ngerti banget kenapa Bunda keberatan kalau kamu balik ke apartemen. Bunda dan kami kepinginnya kamu tinggal di rumah ini aja."
"Dari dulu juga Alief tinggal di apartemen."
Apartemen yang Aliefiya tempati sekarang sebenarnya adalah milik Al, kakaknya. Sejak menikah, Al lebih memilih tinggal di rumah yang lebih dekat dengan rumah sakit. Pertimbangannya, karena baik Al maupun Kalila lebih dekat dengan tempat kerja sekaligus mudah pulang ke rumah untuk memastikan kondisi anak-anak tetap terpantau.
"Kondisi yang sekarang berbeda, Livie. Kamu tahu jelas itu kan?" tanya Kalila pelan, hingga hanya Aliefiya yang mampu mendengar saking lirihnya. "Kami semua khawatir, Livie."
"Nggak ada yang perlu dikhawatirkan, Teh," jawab Alief cepat. Ia mulai tidak suka dengan aroma percakapan ini.
Kalila mengambil jemari Alief dan menggenggam. "Yang lain mungkin menahan diri untuk terlihat biasa-biasa saja, Livie. Tapi, Teteh nggak bisa. Teteh nggak bisa biarin kamu kayak gini seolah nggak ada apa-apa. Kita keluarga, Livie. Sudah selayaknyalah kita berbagi. Iya kan? Kamu tahu jelas sebenarnya alasan Bunda nggak ngizinin kamu kembali ke apartemen. Bukan hanya takut kamu menghilang lagi dan susah dihubungi," Alief meringis, gadis itu menggigit bibirnya, "tapi lebih karena khawatir."
Aliefiya terdiam. Mereka bersitatap, saling mencoba membaca apa yang tersirat dari tatapan masing-masing.
"Nggak apa-apa kalau memang kamu sedang nggak baik-baik saja, Livie," lirih Kalila. "Ada kami di sini. Keluarga kamu. Dan kami ingin memastikan bahwa saat kamu sedang tidak baik-baik saja, kamu berada di sekitar kami. Kami berada di sekelilingmu. Kamu nggak sendirian. Kamu punya kami," tambah Kalila.
"Teh...," ucap Alief merangkul bahu mungil kakak iparnya. Isakan lolos terdengar perlahan dari mulutnya.
"Hidup memang kadang menyodorkan kondisi sulit. Tapi, kami selalu ada, Livie." Kalila menjeda sejenak. "Mungkin yang lain nggak bertanya, tapi Teteh nggak bisa. Teteh peduli dan sayang banget sama kamu. Jadi, daripada terus menebak-nebak... Livie mau ya cerita?"
Gadis dalam pelukan Kalila kini tersedu menahan tangisan. Dengan sigap, Kalila menyodorkan segelas air putih untuk diteguk adik iparnya.
"Cerita, ya. Please."
"Alief nggak tahu kudu cerita gimana," bisiknya di antara isakan.
"Dari tidak datangnya dia ke pesta syukuran Bachtiar Group?" pancing Kalila seraya mengelus punggung Aliefiya.
"Dia... maksud Alief Ian," Alief tergugu lagi. "Alief benar-benar nggak ngerti apa yang terjadi. Dan belakangan, semakin Alief renungkan, Alief juga hanya bisa menebak-nebak, Teh."
Kalila masih terdiam, bersabar menunggu Alief meneruskan.
"Alief merasa... hubungan kami baik-baik saja. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Semua berjalan dari awal begitu saja. Tujuh tahun dijalani dengan sangat baik. Jarang banget kami berantem. Bagi Alief, Ian adalah orang yang paling ngerti Alief. Yang nggak perlu Alief ngomong, Ian udah tahu apa yang Alief rasain kan?"
"Iya."
"Segalanya rasanya benar dan pada tempatnya, Teh. Nggak ada sedikit pun masalah dalam hubungan kami. Dan mungkin aja, karena kami sudah terlalu paham, semuanya menjadi sekadarnya. Sapaan selamat bangun tidur, pertanyaan udah makan belum, dan selamat tidur mewarnai hari-hari kami dalam siklus yang nggak tahu sejak kapan dimulai. Alief juga nggak pernah berusaha gimana-gimana saat menghubungi Ian, karena Alief tahu Ian sibuk. Dan Ian juga tahu kalau Alief sudah di dalam studio dan sedang mixing sound buat film, Alief juga nggak kepingin diganggu. Dan rutinitas itu akhirnya membuat kami semakin menjauh dan sekadarnya."
"Hmm...."
"Dan akhirnya, Alief tahu kalau Ian punya seseorang," bisiknya. "Alief tahu bahwa Ian sering jalan sama perempuan lain. Teman Alief di kerjaan mergokin mereka jalan di mal dan Ian beliin dia sepatu. Alief tanya, dan berakhir kami berantem hebat."
"Hah?" Kalila sama sekali tidak menyangka. Ia dan Ian merupakan rekan kerja di hotel milik keluarga mereka, dan tak sekalipun Kalila menemukan tanda-tanda pengkhianatan Ian. Itu juga yang menyebabkan Kalila bingung luar biasa. Karena setahunya, Ian adalah sosok yang setia dan bertanggung jawab. "Gimana... gimana?"
"Ian akhirnya mengakui bahwa mereka sudah bersama selama beberapa bulan. Dan..."
"Dan?"
"Dan Alief membujuknya untuk ninggalin cewek itu!" jerit Alief di antara tangisan yang kini semakin keras. "Teh Lila bayangin, Alief memohon-mohon sama Ian! Alief minta Ian sebutin kekurangan Alief, Alief mau perbaikin diri. Alief rela menutup mata kalau Ian selingkuh asal Ian balik sama Alief. Tapi...," suaranya kembali lirih, "Ian tetap milih perempuan itu."
Rasa-rasanya dada Kalila gemeretuk menahan sakit sekaligus amarah. Ia sama sekali tidak menyangka. Ian sahabat sekaligus atasannya dulu. Salah satu orang yang ia kenal sejak mulai bekerja di hotel, sebelum ia bekerja di rumah sakit. Dan sejak tujuh tahun yang lalu, Ian menjalin hubungan dengan adik iparnya. Hubungan yang sangat direstui keluarga kedua belah pihak, karena yakin... tak ada yang cocok dan pantas mendampingi Aliefiya selain Brian. Sejak itu, tidak sedikit waktu yang mereka habiskan bersama. Ian selalu datang di acara-acara penting keluarga mereka, sebagai calon anggota keluarga sekaligus juga sebagai salah satu tangan kanan bisnis jaringan perhotelan milik keluarga mereka.
Kalila mulai merasakan keanehan ketika Ian tidak datang ke pesta syukuran tahunan bisnis keluarga mereka sekaligus menyerahkan pengunduran diri beberapa hari kemudian. Ia sempat menanyakan hal itu pada adik iparnya yang malam itu terduduk di ballroom hotel sendirian, dipeluk oleh Aldebaran, tanpa bicara sepatah kata pun. Setelahnya, Alief memutuskan bekerja keras hingga jarang pulang ke rumah, jarang sekali berbicara pada keluarga. Dan puncaknya ketika sepucuk undangan pernikahan yang bertuliskan nama Ian tiba di rumah, Alief minggat ke Singapura meninggalkan seluruh keluarga dalam kepanikan dan penuh tanda tanya. Dan kebingungan Kalila akhirnya sedikit terjawab malam ini.
"Ian... ninggalin Alief," bisiknya lagi.
Kalila memutuskan untuk tidak mendesak lebih jauh. Cukup baginya tahu, bahwa Alief sedang tidak baik-baik saja, dan rangkulan keluarga sangat gadis itu butuhkan.
"Ya Tuhan," rintihnya. Di sela isakan adik iparnya, Kalila juga meneteskan air mata. "Nggak papa... nggak papa, nangis juga nggak papa. Ada Teh Lila di sini. Ada orang-orang yang nggak akan ninggalin Livie."
[amplitudo]
Aliefiya akhirnya kembali ke kamarnya setelah perbincangan tadi malam. Gadis itu setuju untuk tidak kembali ke apartemen untuk sementara waktu. Hal yang melegakan bagi keluarga Bachtiar, paling tidak untuk saat ini.
Pagi ini, Alief memutuskan untuk turut serta ke rumah sakit, menuruti ajakan Kalila. Kakak iparnya itu mengajaknya untuk mengunjuki tempat kerja sekaligus bisnis utama milik keluarga mereka itu.
"A'Al udah berangkat dari subuh, Teh?" tanya Alief sambil memarkir mobil.
"Iya, katanya ada pasien yang seharusnya dijadwalkan operasi tiga hari lagi ternyata memburuk tadi malam dan harus segera dilakukan."
"Untung Teteh sabar, ya, sering ditinggal-tinggal sama A'Al tengah malam, pagi buta. Ckckck."
"Udah risiko, Livie. Kalau nggak tahan, sejak awal Teh Lila nggak mau dong sama A'a. Kalau sekarang sih kayaknya udah telat mau protes-protes. Lagian kan... berada di ruang operasi, ngelakuin tindakan medis itu yang bikin kakakmu bahagia. Nggak pernah dia ngeluh karena harus berangkat tengah malam atau pagi buta. Jadi, ya udah seharusnya Teteh dukung apa yang bikin A'Al bahagia."
Perkataan Kalila membuat Alief terdiam. Awal-awalnya, Ian juga sangat mendukung pekerjaan Alief sebagai penata musik film. Alief bahagia dengan pekerjaannya, meski harus lembur dan begadang tak kenal waktu. Setiap kali proyeknya selesai dan film barunya tayang di bioskop, dengan berapi-api Alief menjelaskan tentang nada-nada yang melatari suatu adegan dan alasan kenapa ia memilih nada tertentu tersebut. Ia sangat bersemangat... awalnya.
Dan belakangan, sebelum Ian meninggalkannya, lelaki itu berulangkali menyuarakan protes karena kesibukan Alief, yang ditanggapi dengan santai oleh Alief. Tiba-tiba ia tersadar, bahwa sesuatu yang membuatnya bersemangat dan bahagia, yaitu pekerjaannya... tak membuat Ian paham seperti Kalila paham terhadap pekerjaan kakaknya.
"Kok melamun, Livie?" tegur Kalila. "Bawa harpanya, dong. Bawa kan yang portabel?" lanjut Kalila lagi.
Alief tersentak. "Eh, emangnya mau ngapain?" tanya Alief. Tapi tak urung meraih kotak harpanya dan berjalan mengiringi Kalila.
"Livie mau ya, bantu Teteh hari ini," pinta Kalila. "Kita bakal mengunjungi bangsal kanker. Dan di sana banyak anak-anak yang sering Teh Lila bacain cerita. Hari ini, Teh Lila janji mereka bakal dihibur sama musisi keren dan terkenal seantero nusantara. Mau, ya?"
"Ugh... malu, Teh. Nggak biasa ah ngelakuin gituan. Alief kan biasanya jadi orang di balik layar."
"Sesekali ngelakuin hal-hal berbeda itu menyenangkan, percaya deh. Nanti kamu lihat sendiri deh di sana, tega nggak kamu menolak permintaan mereka."
Keduanya sudah keluar dari lift menuju bangsal kanker anak yang Kalila maksud. Meski bangsal itu terkesan ceria penuh dengan warna-warni dan hiasan dinding khas anak-anak, namun pemandangan anak-anak yang sedang duduk di kursi roda, dengan infus di tangan dan satu hal yang membuat Alief menahan napas, kepala anak-anak itu nyaris tak menyisakan sehelai rambut. Pun adam, hanya mencuat beberapa dan sudah berwarna kuning kemerahan, pucat.
"Ya Allah, Teh," bisik Aliefiya.
Kalila menggenggam tangan Alief yang bebas dari kotak harpa, mengajaknya mendekati salah satu pasien dan menyapa ramah. Anak itu membalas dengan ucapan yang tak kalah hebohnya. Kalila memeluk setiap anak yang ada di sana. Ada delapan anak yang bisa dilihat Aliefiya.
"Anak-anak," seru Kalila. "Seperti yang Bunda Lila janjiin, hari ini kita kedatangan musisi keren yaaa... ayo yang mau request lagu, boleh, lagu apa aja bisa. Kenalin nih, namanya Kak Livie, mau menghibur kita semua," ucap Kalila bersemangat. "Say hallo, dulu," perintah Kalila.
"Hallo, Kak Livie," suara bergemuruh. "Aku mau lagu Manusia Kuat, Kak! Bisa ya?!" teriak bocah di ujung yang dengan semangat mendorong sendiri kursi rodanya mendatangi Aliefiya.
Alief mengangguk cepat, mengelus perlahan kepala anak perempuan yang nyaris plontos itu. Mata bocah itu berkilat, penuh dengan tatapan kagum pada Aliefiya.
Air mata Aliefiya nyaris menetes saat mulai memetik harpa membentuk melodi yang diinginkannya, dan saat memasuki bait pertama koor terdengar bersamaan. Anak-anak itu hapal lagu yang sering dibawakan Tulus. Dengan penuh teriakan sebisa mereka, mengiriki petikan harpa Aliefiya. Dan hingga lagu itu selesai, mereka masih dengan semangat menyanyikan bait terakhirnya. Diakhiri dengan tepuk tangan membahana.
Dan satu tepuk tangan nyaring justru datang dari sisi kiri Aliefiya. "Kamu benar-benar seperti malaikat, Fiya," ucapnya.
Note:
Sabar ya... cerita ini pelaaan sekali... bentar lagi udah mulai masuk serius2 usaha...wkwk..
Semoga masih ada yang mau baca... dan semoga kita sehat-sehat selalu... aamiin.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top