[love somebody]
"Tuhan tidak pernah salah dalam memberikan keputusan. Termasuk tentang kehilangan."
Keheningan yang tercipta sejak dua puluh menit yang lalu tak kunjung berakhir.
Aliefiya langsung tersadar. Pemuda di hadapannya sangat sulit untuk mengeja kata. Diperhatikannya bagaimana beberapa kali Saga menelan ludah, namun tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Untuk itu, Aliefiya menghela napas. Ia sangat tahu rasanya.
"Nggak perlu dilanjutin," ujarnya lirih. Dan ternyata ucapan itu membuat Saga tersentak seolah ditarik paksa dari pikirannya yang sedari tadi mengawang entah ke mana.
"Eh... maaf, saya tadi... anu."
Aliefiya mengangguk kecil. "It's okay. Nggak ada yang salah kalau memang nggak bisa cerita."
Saga balik menghela napas. "Nanti saya pasti cerita," tukasnya dengan ekspresi penuh permohonan maaf.
"Iya...iya," gumam Aliefiya.
"Saya cuma nggak yakin cerita dari mana. Tapi, nanti kalau saatnya udah tepat, saya pasti ceritain semuanya, Fiya. Kamu mau dengerin kan?"
Aliefiya menahan napas sebelum mengangguk. Ia tahu persis rasanya. Ketika tak ingin membicarakan sesuatu atau hanya karena tak tahu harus memulai dari mana. Selain itu, rasanya juga terlalu muluk untuk menuntut pendengarnya bisa memahami dan mengerti posisinya. Makanya, seringkali Aliefiya lebih memilih diam dan menyimpan sendiri.
Makan siang yang tersaji tandas di hadapan. Baru kali ini setelah dua tahun ke belakang Alief mampu menyendok makanan dan memasukkannya ke dalam mulut hingga habis tak bersisa, dan tak merasakan mual di perutnya. Ia mengerjap tak yakin. Padahal biasanya lima suapan saja sudah membuatnya mual dan merasakan pusing. Ia tersenyum simpul.
"Kenapa? Kamu mikirin apa?" Aliefiya tersadar Saga masih memandanginya.
"Kamu benar, nasi gorengnya enak," jawab Aliefiya.
"Saya sudah bertahun-tahun makan di sini, rasanya nggak berubah. Kayaknya kokinya nggak pernah ganti, jadi mereka bisa menjaga kualitas rasanya. Iya kan?"
Aliefiya menghela napas. Andai saja perasaan juga seperti masakan, jika dijaga pembuatnya maka rasanya akan selalu sama. Tapi, perasaan memang bukan masakan. Ada naik dan turunnya. Bahkan jika orangnya sama, perasaan saja tetap bisa berubah. Bahkan dengan segala upaya. Bahkan dengan segala rintihan dan permohonan untuk tetap tinggal. Ternyata, perasaan tetap bisa menghilang.
Wajah muramnya seolah direstui oleh semesta. Hujan deras yang tiba-tiba mengguyur terdengar sayup-sayup dari atap kantin.
"Hujan," bisik Saga. "Seperti waktu itu." Tapi, bukan dengan wajah yang penuh kesedihan seperti ini. Aliefiya yang diingatnya saat menyodorkan paying benar-benar berbeda dengan sosok gadis di hadapannya. Dulu, Aliefiya punya mata yang berbinar dan kata-kata yang tegas. Sekarang, hanya sayu yang ada pada netra gadis ini.
"Kakak kamu nggak papa ditinggal agak lama? Siapa yang jagain?" tanya Aliefiya tiba-tiba. Dan Saga mengerti bahwa gadis ini ingin segera berlalu dari hadapannya.
"Nggak papa, dia tidur terus. Masih dipantau. Kalau ada apa-apa, saya pasti dihubungi," jawab Saga. "Kamu?"
"Ehm... saya mau pulang," ucapnya.
Kemudian Aliefiya meraih ponselnya di dalam tas dan menemukan pesan singkat bahwa kakak iparnya sedang diajak makan siang di luar rumah sakit bersama suaminya. Kalila juga membubuhkan ungkapan yang membuat Aliefiya mendengus. Kakak iparnya itu menyuruhnya menikmati hari, dan sekarang yang ingin Aliefiya lakukan adalah melipat hari demi hari sampai di hari di mana hatinya sudah kebas dan tak terasa berdenyut sakit lagi.
Ia bergegas berdiri dan mengangguk kepada Saga.
"Saya antar ya, sampai parkiran."
"Nggak perlu, nanti kalau dicariin gimana?"
Saga menggoyangkan ponselnya. "Saya bisa lari secepat kilat kalau keadaan darurat. Dan itu sudah terlatih beberapa tahun ke belakang," guraunya seraya menyugar rambut.
Dalam diam mereka berjalan bersisian, hanya senandung nada yang keluar dari mulut Saga. Sesekali ia menatap langit saat berada di koridor yang tembus pandang, dan langit memang sedang seru-serunya memuntahkan air. Awan kelam menghitam, nyaris membuat sekitarnya terasa menggelap.
"Kamu beneran mau pulang sekarang? Hujan lagi deras-derasnya, jalanan pasti macet," ucap Saga. "Tadi parkir di mana?"
"Nggak papa. Tadi parkir di atas soalnya parkiran bawah penuh."
"Oke. Kamu tunggu di sini, biar saya ambilin mobilnya, ya?" tawar Saga lagi. "Jangan sampai kamu kehujanan, nanti—"
"Kamu sendiri kehujanan, dan istirahatnya kurang. Memangnya kamu kebal hujan dan nggak bakal sakit?" tanya Aliefiya balik.
Saga terkekeh. "Setidaknya, setelah ini saya bisa langsung kembali ke kamar dan mandi, Fiya. Tapi, kamu mungkin harus berjam-jam di dalam mobil. Hm... mesti banget kamu pulang sekarang?" tanya Saga lagi.
Aliefiya mengangkat bahu. "Nggak sih," ucapnya pelan.
"Kita duduk di situ dulu, yuk. Nunggu hujannya agak reda sedikit," ajak Saga ke arah sofa yang ada di ruang tunggu parkiran bawah tanah rumah sakit.
Aliefiya menurut. Ia melangkahkan kaki menuju sofa di ruang tunggu yang hanya terisi satu perempuan yang mengenakan masker dan kereta bayinya. Didengarnya perempuan itu sibuk menenangkan bayi yang terus saja menangis.
"Cup... cup, bentar ya, Nak, papah lagi ambil mobil. Kita pulang, ya, Nak, ya," lirih suara perempuan itu membujuk namun tangisan si bayi makin kencang.
Saga yang baru datang dan membawa dua gelas kertas berisi kopi yang harum lalu menyerahkan segelas dan melirik kepada si perempuan. "Mungkin diapersnya penuh, minta diganti," ujarnya tanpa basa-basi.
Si perempuan mengangkat kepala dan tanpa bicara mengecek bayinya. "Oh, iya, ya ampun. Maafin Mama ya, Nak, nggak sadar kalau ternyata itu yang bikin kamu nangis."
Melihat perempuan yang kerepotan di depannya menggeser tas perbekalan bayi, dengan inisiatif Saga mendekat dan menawarkan bantuan, "Saya bantu, boleh?" tanyanya.
Perempuan itu mengangguk dan Saga seolah sudah terbiasa melakukannya bisa dengan cepat mengganti dan kini diapers kotor sudah terbungkus plastik tanpa cela. Cara Saga melakukannya membuat Aliefiya melongo cukup lama.
"Terima kasih banyak, ya, Mas. Biasa Papahnya yang gantiin, ini lagi ngambil mobil."
"Nggak papa, saya udah biasa sejak ponakan saya baru lahir," ujar Saga. "Hujan juga, mungkin kejebak macet dari parkiran sampai ke sininya."
"Sorry, tadi antre banget ngeluarin mobilnya." Sebuah suara tiba-tiba terdengar di sebelah Saga. "Kenapa? Adiva kebangun?"
"Nangis, tadi diapersnya penuh. Tapi, udah diganti, kok. Dibantuin sama Masnya ini."
"Ya ampun, terima kasih banget. Maaf, istri saya belum terlalu lihai," ucap lelaki itu. "Maklum, baru melahirkan dan anak saya demam hari ini." Kemudian beralih lagi "Anak Papah, cup cup... maaf ya, Papah ambil mobilnya lama, ya?" Laki-laki itu tanpa menunggu jawaban Saga langsung memusatkan perhatian ke bayi yang sekarang bergolek tenang di keretanya.
Saga menyingkir memberi mereka ruang. Dan sedetik kemudian ia menyadari bahwa gadis di sebelahnya pucat pasi. Gadis itu terpaku. Mulutnya membuka.
"Fi?" tanyanya pelan.
Saat itulah lelaki tadinya menunduk ke kereta bayi mendengak. Keduanya bersitatap. Lelaki itu dan... Aliefiya. Alief tersentak.
"Aaaa... saya mau pulang." Kali ini Aliefiya berbisik tegas. Saga bisa merasakan desakan keharusan dalam suaranya.
Dan tanpa menunggu Saga bereaksi, Aliefiya langsung berlari ke luar dan nyaris menerobos hujan di depannya.
"Fi, tunggu, Fiya!" Saga menangkap pergelangan tangan gadis itu. Dan saat Aliefiya berbalik, matanya sudah tak bisa dikendalikan lagi. Tak ada suara, hanya bulir-bulir air menuruni pipi. "Fi? Ya Tuhan!" ucap Saga. Dadanya langsung terasa sempit melihat pemandangan di depannya.
"Ma..u pu..lang," ucap gadis itu di sela isakan.
"Iya, iya," ucap Saga. Sebelum Aliefiya kembali berlari, Saga langsung melingkupkan jasnya di atas kepala Aliefiya. "Ayo, saya antar sampai ke mobil," tukasnya langsung memencet remot untuk mengetahui posisi mobil Aliefiya. "Kamu yakin, bisa nyetir?"
Gadis itu hanya mengangguk, dan sangat terlihat ingin cepat-cepat membanting pintu.
"Dingin, pakai jas saya," ucap Saga. Dan bersamaan dengan itu pintu mobil langsung tertutup kemudian meluncur tanpa aba-aba, meninggalkan Saga yang berdiri sendirian di tengah hujan deras.
"Dulu kamu nggak membiarkan saya kehujanan," lirihnya. "Nggak papa, mungkin hujan waktu itu disimpan oleh Tuhan untuk saya sekarang."
Note:
Allahu Akbar, entah berapa lama lapak ini nganggur. Entah masih ada yang baca apa nggak, wkwk. Its okay, saya cuma bisa bilang i am so sorry karena waktu saya menulis kemarin terenggut karena saya kuliah lagi. Dan sekarang udah tahap akhir. Semoga aja bisa istiqomah menyelesaikan cerita ini. Dan satu lagi, saya sampe harus bolak-balik email buat recovery password karena lupa. Plaaak... sapa suruh lama banget nggak buka wattpad. Hiks. Overall, thanks readers.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top