[if I never see your face again]


Di masa lampau, sewaktu kakaknya sedang dalam tahap berengsek-berengseknya, Aliefiya pernah mendengar sebuah ungkapan dari kakaknya. 'Jangan pernah percaya janji dari laki-laki mana pun, terutama yang dia ucapkan saat keadaan genting.' Ucapan Al waktu itu jelas diamini Alief, karena Betya—teman sekelas Alief—datang mengadu menangis padanya, karena Aldebaran Bachtiar yang jelas-jelas berjanji untuk mengajak jalan di minggu berikutnya ingkar.

Ia memberondong kakaknya.

Membombardir dengan banyak pertanyaan dan makian.

Satu, Alief malu karena Betya terlihat sangat mengenaskan. Dan pelakunya adalah kakaknya.

Dua, Alief yang jelas menolak keras untuk mengenalkan mereka termakan bujuk rayu kakaknya hanya dengan secuil upah—diajak ke tempat wisata Kawah Putih—Alief mengumpankan sahabatnya ke bawah hidung berengsek kakaknya.

Dan awalnya, Alief mengira itu hanya berlaku bagi laki-laki seumuran Aldebaran Bachtiar yang waktu itu baru masuk kuliah.

Nyatanya?

Lelaki yang bicara dengan kata-kata sangat lembut dan memintanya untuk menunggu itu... menghilang.

Iya.

Sudah dua bulan.

Kadang, saat ia memejam, Alief masih ingat bagaimana rasanya sentuhan halus di pipinya.

"Musik lo kok gini, Lief?" Ganang, salah satu senior music editor dari proyek reality show yang tengah ia tangani membuyarkan lamunan. "Hallo... Alief, earth to Alief?" Ganang menggoyangkan jemarinya persis di depan wajahnya.

"Eh?"

"Lo nggak denger gue ngomong apa barusan?"

Aliefiya menggeleng. Bibirnya ikut maju dan manyun hanya karena menatap alis Ganang yang meruncing dan matanya menyipit kesal.

"Apaan?"

"Gue tanya. Musik lo sekarang kenapa jadi gini?" Ganang menggeser tangan Aliefiya dan merebut tetikus di jemari gadis itu. Menekan ikon play dan alunan terdengar membahana. "Ngerti?"

Gadis itu menggeleng.

"Mana nyawa musik lo, Aliefiya?" Ganang berdecak sebal. "Lo nyadar nggak ini adegan mereka ketemu lagi setelah sekian lama di olimpiade, dan siap adu kepintaran. Terus kenapa musik lo mellow gini?!"

"Yha... gue kan—"

"Musik lo cocok karena mereka beneran baru ketemu, tapi terlalu mellow pas mereka sama-sama memandangi dengan sengit, Alief. Mereka itu mau bertarung, bukan reunian kangen-kangenan!" bentak Ganang lagi. Lelaki itu geleng-geleng kepala. "Kalau gini mainnya, penonton bakal kebawa ngantuk. Nggak bakal naikin adrenalin dan bikin seru."

Aliefiya menelan ludah, tak sanggup berkata-kata. Dalam hatinya, ia sedikit banyak mengakui omelan Danang. Dan ini adalah ketiga kalinya Danang mengomelinya dalam minggu ini dalam satu topik yang sama.

"Kita harus ready kurang dari empat puluh delapan jam sebelum episode ini tayang, Lief. Dan maaf, kalau kayak gini cara mainnya... gue harus ngegeser lo."

Alief terkesiap. Tenggorokannya tersekat. Susah payah ditelannya ludah di bawah tatapan garang Danang.

"So... sorry, gue edit lagi," bisiknya lebih lemah.

Ganang menggeleng. Laki-laki itu menghempaskan kacamatanya. Terlihat ceruk menghitam di bawah matanya yang menunjukkan lelaki itu benar-benar lelah dan kurang tidur.

"Lo pulang dan istirahat. Delapan jam gue kasih waktu selesaikan apa pun yang ada di dalam benak lo. Setelahnya, lo balik sini dan kerjain dengan sempurna sebelum kita berdua ditendang Iswar!" Ganang menyebutkan nama produser sekaligus sutradara mereka dalam event ini.

"Gue kerjain sekarang aja!"

Ganang menggeleng. "Nggak. Hasilnya bakal ancur. Nurut apa kata gue, atau posisi lo gue kasih ke Bintang!"

Aliefiya mendengus. Sekenanya ia menjambak outer rajut yang tersampir di kursinya. Secepat mungkin ia menyingkir dari Ganang yang mengacak rambutnya sendiri. Aliefiya memilih menyingkir ke toilet untuk membasuh muka dan membasahi rambutnya. Begitu ia keluar, studio mixing sudah gelap.

Entah sudah pukul berapa saat Alief keluar dari studio tempatnya bekerja. Jalanan mulai terlihat lengang. Lampu coffee shop di sekitarnya juga sudah meredup sebagian. Ia berjalan menuju parkiran yang jadi satu halaman dengan berbagai bangunan. Range Rover Evoque putihnya terlihat menyendiri, tanda ia satu-satunya yang belum pulang.

Lima belas menit melintasi jalanan lengang, Aliefiya merasakan ponselnya menyala dalam gelap. Memang benda itu sengaja ia bisukan agar tidak mengganggu pekerjaannya. Dan semenjak tiga hari yang lalu tak sekali pun ia sentuh. Ia menghela napas dan berpikir paling-paling anggota keluarganya yang sibuk mencarinya.

Tapi, di layar tertera nomor asing.

Ia tak kenal.

Dan Aliefiya yang biasa tak bakal mengangkatnya.

Entah apa yang terjadi, tapi malam ini Alief memutuskan untuk menekan ikon telepon berwarna hijau itu.

"Hallo?"

"Fiya? Aliefiya?" Suara perempuan terdengar di seberang sana.

Lagi-lagi Aliefiya mendengkus. Panggilan itu mengingatkannya pada seseorang.

Orang yang ingkar janji.

Orang yang bilang tunggu tapi tak kunjung kembali.

Dan rasanya kekesalannya memuncak lagi.

"Salah sambung," balasnya dan berniat menekan mati ponselnya.

"Fi... Fiya, ini Lanti," suara itu membuat Aliefiya mengurungkan jemari. "Aku butuh bantuan kamu. Kamu di mana? Kita bisa ketemu?"

[amplitudo]

Seandainya pulang ke rumah membuat Aliefiya lebih tenang, dan kepalanya tidak dipenuhi dengan berbagai pikiran, jelas Aliefiya akan menolak menemui perempuan di depannya ini.

Lanti, tadi begitu wanita ini memperkenalkan diri saat menyalami Aliefiya.

Dalam sekali amati, Aliefiya tahu bahwa wanita ini istimewa. Jenis perempuan yang mudah disukai dan selalu dikelilingi oleh hal-hal baik. Dan juga, tipe yang tidak bakal tega untuk disakiti atau menyakiti. Seseorang yang bahkan perempuan lain pun merasa kagum dan tidak sanggup julid saking tidak menemukan sesuatu yang mampu memancing omongan tak baik.

"Maaf ya, ngajak kamu ketemu selarut ini," ucapnya lagi.

Aliefiya hanya mengangguk. "Ada apa?"

Dan sepersekian menit kemudian, mereka hanya saling tatap.

Aliefiya meniup poni. Entah Lanti yang memang tidak tahu harus bicara apa, atau memang Aliefiya yang sudah terlalu lelah untuk mengulangi pertanyaannya.

"Aku ketemu kamu, nggak ada yang tahu," ucap Lanti. Alief menunggu, ia hanya memberi tanggapan dengan anggukan. "Aku nggak tahu harus gimana lagi," lanjutnya.

Aliefiya menghela napas.

Setengah jam berlalu, hanya berputar-putar saja. Ia tiba-tiba merasa migrain menyerangnya.

"Kalau memang pertemuan ini nggak boleh atau bakal membawa masalah, lebih baik nggak ketemu. Kita pulang aja, gimana?" usul Alief. Pelipis kirinya berkedut. Migrain makin kuat mendera. Terakhir diingatnya, ia hanya menenggak air putih dan kopi sejak pagi hari. Mungkin itu sebabnya, mungkin juga kelelahan baru dirasakannya setelah tidak tidur tiga hari tiga malam.

Wanita di depannya terkesiap.

Setengah menit kemudian, perempuan itu mengeluarkan ipad dari dalam totebag-nya.

"Lihat ini dulu, please."

Alief membiarkan Lanti mengeklik satu folder yang berisi beberapa video. Dan ia menanti hal apa yang akan Lanti tunjukkan.

Video pertama terbuka. Alief langsung mengepalkan tangannya di paha. Sosok yang menyuruhnya menunggu terpampang nyata sedang berada di sebuah ruangan yang hanya berisi sekitar delapan orang. Lelaki itu berdiri di dekat layar dan menjelaskan beberapa hal yang tidak Alief mengerti. Kemeja slimfit dan dasi yang begitu rapi terpasang jelas kontras dengan penampilan Alief yang sedang menonton sekarang. Awut-awutan. Di akhir video pendek itu, tepukan tangan membahana dan lelaki itu tersenyum simpul seraya menerima beberapa ucapan selamat.

Aliefiya mendecih. Lelaki itu benar-benar terlihat sempurna dan baik-baik saja.

Video kedua diputar. Lagi-lagi menampilkan lelaki itu sedang sibuk bekerja. Lengan kemejanya tersisih hingga siku. Sesekali matanya beranjak dari laptop dan menyisir berkas. Mencocokan entah apa di dalam sana. Sesekali terlihat berpikir, kemudian lagi-lagi jemarinya menari cepat di atas laptop. Video berakhir.

Kali ini Aliefiya menghela napas hingga dua kali. Ternyata, hanya ia yang gila... menunggu janji yang tak kunjung nyata.

Dan video yang terdapat di ujung di klik oleh Lanti. Seperti berada di sofa panjang di ujung ruang kerja. Namun, yang membedakan dengan dua video sebelumnya, lelaki itu hanya duduk diam. Beberapa menit kemudian hanya mengerjap dan menghela napas. Alief mengerutkan kening, ia tahu ada yang aneh tapi tak bisa menyebutkannya.

Kembali dilihatnya video yang menampilkan lelaki itu diam dan hanya duduk di sofa. Beberapa menit kemudian, lelaki itu terlihat menoleh dan seperti menatap jam dinding.

Pukul empat?

Sore?

Atau malah pagi?

Kali ini, Aliefiya mengerutkan dahi.

Lima menit kemudian, posisi laki-laki itu kembali seperti semula. Dan video berakhir.

Aliefiya melepaskan ikatan rambutnya yang longgar dan kemudian mengikat asal hingga membentuk cepolan asal.

"Dan?" Ia tak sabar bertanya, karena Lanti hanya diam saja.

"Itu yang terjadi selama dua bulan ini, seperti yang kamu lihat," jawab Lanti pelan.

"Dia baik-baik saja. Nggak ada masalah." Bukan pertanyaan, malah terdengar seperti nada menuduh. Aliefiya benar-benar tak kuasa menahan kekesalan. Alief hanya butuh Lanti mengonfirmasi pernyataannya.

Lama gadis di hadapan Aliefiya terdiam.

"Di depan orang lain, dia baik-baik saja," ucapnya singkat. Kemudian Lanti menyingkirkan ipad, ganti menyodorkan ponselnya.

Mata Aliefiya menyipit, lagaknya siap mencemooh.

Dengan sabar, Lanti membuka satu video lagi.

Awalnya blur, seperti video yang tak sengaja diambil. Layarnya kacau, seperti dibawa orang yang sedang berlari.

Lima detik kemudian gelap.

Aliefiya menahan napas.

Dan kemudian jeritan panjang yang ia dengar membuatnya merinding. Jeritan perempuan di depannya.

"Saagaaaaaaaaaa....," suara itu histeris, ditingkahi tangisan dari beberapa suara lain. Sekelebat ia melihat sosok lelaki itu ditandu.

"Angkat, woi elah!"

"Jangan, Lan!" Suara lelaki terdengar. Kamera bergerak lagi, sosok berkemaja slimfit itu terlihat berontak dan mengamuk hebat. Di belakangnya entah siapa mengambil alih dan memiting lengan Saga.

"Panggil ambulance!"

Dan video terputus.

Aliefiya menegakkan badan.

"Sampai saat ini Saga masih si bawah pengaruh obat penenang." Lanti terisak.

"Sa..ga?" Tenggorokan Aliefiya terasa sangat kering. Ia kesusahan menelan ludah.

"Kak Anya meninggal. Saga mengurus segalanya. Hingga suatu hari dia masuk kantor seperti biasa," lanjut Lanti. "Kami benar-benar lengah. Kami pikir, Saga melanjutkan hidup. Semangatnya benar-benar luar biasa hingga segala pekerjaan dan performanya meningkat drastis. Bahkan terlalu hebat dibanding apa yang selama ini pernah Saga lakukan. Kami pikir, Saga benar-benar melanjutkan hidupnya dan seolah seperti beban yang harus dipikulnya selama ini lenyap."

Alief terkesiap. Mulutnya meloloskan desah.

"Saga... tak pernah memberi ruang pada dirinya untuk merasakan sedih, ia menyingkirkan perasaan itu. Dia menolaknya. Dia tak memberi kesempatan pada dirinya sendiri untuk berduka dan berdamai atas kehilangan yang dialami."

"Ya Tuhan...."

"Ternyata, Saga tak pernah bisa tidur sejak peristiwa itu dan kehilangan kontrol atas dirinya. Puncaknya, Saga melompat dari balkon rumahnya."

"No!" jerit Aliefiya.

Alief tahu betul perasaan yang pernah menghimpitnya hingga gadis itu nyaris melenyapkan dirinya sendiri. Dan sekarang, lelaki yang selalu ada di sisinya, dengan senyuman hangat dan peduli padanya melakukan hal itu. Hal yang sempat ingin dilakukannya, namun ia masih bisa berhenti.

Tapi... Saga melompat.

Saga... yang berjanji padanya untuk kembali.

Lelaki itu melompat?

Aliefiya terpekik.

"Di mana... di mana dia sekarang?" tanya Aliefiya dengan suara bergetar. Lanti menjulurkan selembar kertas terlipat.

Satu jam kemudian, gadis itu mengabaikan outernya yang terlepas karena Alief berlari kencang. Digedornya pintu rumah bercat putih dengan pekarangan luas itu sekeras yang ia bisa. Air mata sudah mengaburkan matanya saat pintu menjeblak terbuka dan kedua perempuan yang sempat ia lihat berdiri terpaku menatapnya.

"Aliefiya?" Mona yang sadar lebih dulu.

"Di mana?" lirih Aliefiya. Badannya nyaris tersungkur.

Kemi hanya menunjuk sebuah pintu tanpa suara.

Sekali lagi Alief menarik napas dan menghempaskan pintu.

Sesosok lelaki yang sangat berbeda dari ingatannya terbaring kurus dengan berbagai macam selang. Di sisi tempat tidur terdapat alat dengan suntikan yang disertai waktu.

Aliefiya tidak peduli.

Diterjangnya lelaki yang tengah lelap itu. Diguncangnya bahu Saga yang hanya diam dan terpejam.

"Ga, bangun, Ga. Katanya nyuruh aku nunggu," ucapnya. "Kok kamu nggak datang-datang!"

Tetapi lelaki itu bergeming.

Rasa-rasanya, kekesalan Aliefiya sudah terhimpun hingga ubun-ubun dan sudah tak tertahankan. Perasaannya campur aduk. Sakit di kepalanya tambah hebat, tangisnya sudah tak terbendung lagi dan terutama nyeri di dadanya yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.

Ia berteriak sekeras-kerasnya. "Kalau kamu begini, aku mati aja, Ga!!!" jeritnya.


 Note:

Hallo...

Maafkan hamba, wkwkwk

Tiba-tiba setelah melanjutkan cerita ini, saya kudu ngerjain kewajiban yang lain...

semoga masih ada yang nunggu cerita ini...hehehe...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top