[don't know nothing]


Aliefiya tak pernah tahu bahwa ia akan menghadapi hari ini.

Sepertinya memang begitu rumus kerja yang Tuhan adakan. Cobaan akan selalu datang tanpa peringatan. Tidak ada early warning system dalam hal ini. Tidak ada persiapan yang bisa dibuat, tahu-tahu ia harus terperosok dalam sebuah lubang yang ia sendiri tak mengetahui bahwa lubang itu ada dan bahkan takt ahu bagaimana caranya memanjat keluar.

Tiga pasang mata di depannya hanya sesekali menatap Aliefiya, sisanya mereka bertiga saling pandang. Entah berkomunikasi dalam diam, atau hanya karena tak ada yang tahu harus melakukan apa dan bagaimana. Keadaan hening ini menyiksa Aliefiya. Gadis itu merasakan pundaknya tiba-tiba digelayuti entah batu terbuat dari planet apa. Berat sekali rasanya. Hingga tak bisa ia mengangkat kepala.

"Ada apa?" lirih Aliefiya bersuara. "Apa yang terjadi?" ucapnya lagi, dengan suara yang mungkin saja hanya Alief yang bisa mendengar.

Mereka berempat tengah berada di ruang belakang rumah yang menurut Aliefiya ditata sangat modern. Dinding-dinding bercat krem, dipadu dengan warna putih yang menjadikan kesan elegan. Di tempat yang mereka duduki sekarang, terdapat beberapa beanbag dengan rumput sintetis di bawahnya. Dua dari wanita di depannya bahkan mengangkat kaki dan memeluk lutut masing-masing. Salah satunya adalah orang yang tadi mendesak untuk bertemu. Lanti.

Kemudian, helaan napas terdengar jelas.

Aliefiya mengangkat wajahnya.

"Gue sebenarnya belum terlalu yakin." Entah kepada siapa wanita itu bicara, setelah menatap tajam Aliefiya, ia beralih pada Lanti. "Gue... nggak tahu kenapa lo bawa dia ke sini, Lan," sambungnya.

"Mon...," desahnya. Aliefiya ingat, bahwa wanita berambut pendek bob itu bernama Mona. "Kita memang nggak tahu harus melakukan apa lagi, tapi di sini kita sama-sama tahu siapa Aliefiya, Mon."

Mona mendengus.

"Menurut gue juga... ah elah gue nggak tahu, sakit kepala gue!"

"Kemi..., coba pikir lagi," ujar Lanti. Terdengar sabar.

"Gue ngikut aja deh. Gue juga nggak bisa mikir."

"Dan lo sepakat sama Lanti bahwa kita harus banget ngasi tau dia?" ujar Mona, seolah Aliefiya tidak ada di situ. "Ini nggak ada dalam rencana kita, Lan, Kem! Dan tanpa ngomong dulu Lanti main bawa aja! Kan nggak gitu jug—"

"Emang lo punya cara lain?" balas Kemi, yang akhirnya bikin Mona terdiam.

"Sorry, saya... gue...," Aliefiya bingung harus membahasakan dirinya. Dia merasa tidak kenal, tapi juga terlalu formal untuk menggunakan kata 'saya'. "Gue benar-benar butuh penjelasan."

"Dan gue juga ngerasa bukan orang yang tepat buat menjelaskan," sambar Mona. "Lo deh, Lan, lo kan yang bawa dia ke sini."

Hening lagi. Aliefiya bahkan bisa mendengar deru napas mereka masing-masing.

"Oke, maaf ya, Lief... kalau misalnya bikin bingung. Aku coba cerita setahu aku. Sisanya mungkin bisa dijelasin sama yang lain." Suara Lanti terdengar lelah, dan saat itu menunjukkan pukul tiga pagi.

Aliefiya mengangguk. Diambilnya tisu yang terletak di hadapan, dan sejak tadi sudah segunung tisu yang ia hasilkan untuk menyusut air mata dan ingus yang tak kunjung berhenti.

"Kami... aku, maksudnya... kenal Saga sejak di tempat kerja. Mona...," Lanti menunjuk wanita yang bersedekap melipat tangan di dada, "...dan Saga masuk duluan. Kemudian kami, maksudku aku dan Kemi setelahnya. Kami ditempatkan dalam satu tim kerja. Yah... seperti yang kamu lihat, bahwa sejak saat itu, kami berempat nyaris tak terpisahkan. Kami yang dengan berbagai latar belakang...," suara Lanti menggantung. "Jadi, tidak semua hal bisa kami ketahui dengan pasti."

"Oke."

"Saga... dia satu-satunya lelaki di tim ini, dan sejak dulu... dia lebih seperti kakak bagi kami. Orang yang selalu siap pasang badan dan menolong kami, dalam hal apa pun. Makanya...," Lanti menarik napas, "kupikir sepadan dengan membawa kamu ke sini. Karena kamu adalah orang yang sangat penting buat Saga."

Terdengar suara isakan, dan Alief melihat Kemi menyusut pipinya.

"Butuh dua tahun untuk kami mengetahui bahwa Saga memiliki seorang kakak sekaligus ponakan, yang...," Lanti tersekat. Matanya menatap Kemi.

"Kak Anya, kakak Saga, adalah korban perkosaan," lirih Kemi. "Gangster," tambahnya. "Kak Anya bilang, orangnya banyak banget. Dia dijejali semacam minuman dan setelahnya tak tahu apa yang terjadi. Yang terbaca dari hasil visum, nggak cuma satu pelakunya."

Aliefiya terkesiap. Mulutnya membuka.

"Kejadian itu bikin Kak Anya trauma dan nggak bisa ngomong selama hampir dua bulan, Dan ketika Kak Anya udah mulai bisa diajak bicara, ternyata Kak Anya hamil. Tanpa tahu siapa pelakunya... tanpa tahu harus menuntut ke mana...," tambah Lanti pilu.

"Kenapa? Kenapa nggak dilaporin?" tukas Alief. "Polisi atau siapa pun—"

"Oke. Denger," potong Mona. "Sebelumnya gue ceritain tentang keluarga Saga, biar lo bisa bayangin kenapa waktu itu kasus Kak Anya tidak bisa mendapat keadilan." Terdengar suara tak sabar dari Mona. "Saga itu... anak dari istri kedua pejabat tinggi. Ayahnya kepala daerah. Tapi, status ibunya tidak terdaftar secara resmi. Saga, Kak Anya dan ibunya disembunyikan hingga hanya segelintir orang yang tahu soal mereka. Saat itu, menurut yang Saga ceritakan ke gue ya, tahun politik sudah dimulai. Ayahnya lagi gencar-gencarnya melakukan kampanye untuk mempertahankan jabatan di periode kedua itu. Nggak ada seorang pun yang boleh merusak citra baik ayahnya. Termasuk skandal soal nikah siri, dan anak yang hamil di luar nikah. Jangan sampai kehadiran cucu yang tak diharapkan itu terekspos. Bisa lo bayangin? Apalagi mencari pelaku-pelaku bejat yang sudah tega menimpakan kemalangan pada Kak Anya! Semua ditutupi. Akses Saga dan keluarganya terhadap ayahnya ditutup. Mereka... terbuang."

"Ya Tuhan!" Aliefiya tak bisa lagi membendung air mata yang turun di pipinya.

"Mamanya meninggal... nggak lama setelah peristiwa itu. Sakit-sakitan karena tak kuat dengan berbagai teror dan tekanan dari orang-orang di sekitar ayahnya yang menjaga banget jangan sampai masalah ini muncul ke permukaan. Lo bayangin aja, Saga yang harusnya menikmati serunya dunia perkuliahan harus memikul semuanya," lanjut Kemi di antara isakan.

"Kenapa? Kenapa ayahnya setega itu? Orang tua mana yang—"

"Lo yang lahir dari keluarga cemara nggak akan pernah ngerti, Lief!" bantah Mona. "Nggak semua keluarga ideal, dan nggak semua masalah dalam keluarga bisa dihadapi dengan pelukan dan pengertian. Ada, bahkan banyak keluarga-keluarga di luar sana yang menyelesaikan masalah dengan baku hantam dan ancaman!"

Lanti menggeleng pelan, wanita itu menghela napas berat. "Yah... dan akhirnya, Saga berhasil pindah, keluar dari kota itu... bawa Kak Anya yang tengah hamil tua. Sambil kerja serabutan, apa pun Saga ambil asal bisa menghasilkan, Lief."

"Saga berhasil namatin kuliahnya dan karena salah satu orang yang pernah Saga bantu waktu kuliah itu temenan sama Pak Arven, ya Saga direkomendasikan kerja di situ."

"Dan seperti yang lo tahu, lo yang nolongin dia hari itu agar bisa interview tanpa basah-basahan."

Aliefiya tercenung, ingatannya kembali ke saat di mana ia memutuskan untuk mengantar seorang lelaki yang terjebak hujan deras. Ia ingat, menyuruh supirnya berputar arah dan mengulurkan payungnya. Payung yang akhirnya kembali lagi dilihatnya saat membawa Saga yang pingsan ke IGD.

"Kalau lo mikir cobaan mereka berakhir saat Saga keterima kerja maka lo salah," Aliefiya terkesiap lagi, rasa-rasanya ia belum siap mendengar lanjutan cerita itu. Setelah Dion lahir, Saga berubah tanggung jawab menjadi bapak muda yang harus mencukupi ponakannya. Dan di sisi lain, kondisi Kak Anya memburuk. Dia terus demam. Dan pada akhirnya... Kak Anya divonis menderita auto imun. Neraka bagi mereka dimulai lagi pada saat itu," jelas Kemi.

"Sering banget tiba-tiba Kak Anya ngamuk ngga sadar terus lari ke kamar mandi dan berdiri di bawah kucuran shower deras. Dan setiap itu pula Saga harus lari dan memeluk Kak Anya, bahkan kadang ia harus pasrah menggigil menemani Kak Anya yang teriak kepanasan."

"Hal berat yang tidak seharusnya dia pikul, beban yang tidak seharusnya jadi tanggung jawabnya, tapi... Saga lah yang menanggung semuanya, Lief," tambah Lanti.

Aliefiya tergugu. Tubuhnya terasa lunglai. Ia tak tahu bahwa lelaki yang kemarin mampu menenangkannya dalam pelukan hangat memiliki beban sebesar itu.

"Saga... sebenarnya menanggung rasa bersalah yang bukan sepenuhnya kesalahan dia," lanjut Lanti. "Saat itu, Kak Anya pulang dari tempat kerjanya. Kak Anya penyiar radio, Lief, dia pulang terlalu malam. Malam itu, Kak Anya minta Saga buat jemput... tapi Saga... sibuk dengan organisasi di kampusnya. Dan terjadilah..."

"Hal itu bikin Saga menyesal sampai nyaris gila," bisik Kemi. "Sejak saat itu, prioritas Saga berubah jadi Kak Anya dan Dion. Terutama saat ayahnya tak lagi bisa diharapkan dan cuma nambah kesakitan mereka."

"Lalu semuanya berubah!" Suara Mona bergetar.

"M-Mon!" Lanti menahan tangan Mona, menggeleng kuat-kuat. "Dia harus tahu!"

"Apa? Apa yang harus gue tahu?" tukas Alief. Netranya sudah mengabur, penuh dengan air mata.

"Sejak ada lo, prioritas Saga berubah. Lo jadi yang utama. Kebutuhan lo, kondisi lo yang Saga pentingkan. Lo yang Saga pikirkan dari buka mata sampai tidur lagi. Hingga saat Kak Anya kritis, Saga lagi nolongin lo yang mabuk-mabukkan kan? Dan saat kedua kakak lo yang songong itu menyidang Saga atas ketololan yang lo buat, Kak Anya pergi! Lo bayangin aja ya, Lief, gimana Saga ngadepin itu?" teriak Mona tanpa jeda. "Karena lo, dia nggak sempat ngecek kondisi Kak Anya yang memburuk dan lo bisa bayangin segimana rasa bersalahnya dia karena malam itu Kak Anya meninggal, dan itu akhirnya bikin dia lompat dari—"

"Mona! Cukup!" bentak Kemi.

Aliefiya merasakan jeritan di tenggorokannya yang keluar tanpa bisa ia tahan. Tubuhnya bergetar dan sisi kepalanya berdenyut makin hebat. Rasa-rasanya pandangannya mulai menggelap. Ia serasa ditarik pusaran tak berkesudahan dan lalu semuanya hening.


Note:

Selamat malam minggu... 

Aduh...sakit banget dada saya pas menuliskan cerita ini.

Jadi, paham ya kenapa Saga begitu protektif sama kakak dan sahabat-sahabat ceweknya.

Karena Saga ini merupakan tokoh asli, penderitaannya pun saya tuliskan seasli yang dia alami.

Ini bentuk penghargaan saya untuk dia yang udah berani terus menjalani hari demi hari dan berlari bersama.

Saga, ini buat kamu. Kamu tahu, kami (teman-teman cewekmu ini) akan selalu ada, hingga maut memisahkan kita. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top