[daylight]

-Teman adalah saudara kandung yang tak pernah diberikan Tuhan kepada kita.-

Salah satu hal yang wajib Aliefiya lakukan setiap tahun adalah menghadiri makan malam perusahaan keluarga besarnya. Yah... Memang tak semua keluarga memiliki kebiasaan seperti ini, tapi mengingat Aliefiya memang bukan datang dari keluarga yang biasa-biasa saja, hal seperi ini justru rutin dilakukan. Dalihnya untuk menambah rekan atau memperluas jaringan. Momen ini pula kadang berubah menjadi ajang menguliti penampilan sekaligus pencapaian.

Awalnya, Aliefiya kurang tertarik menghadiri acara sejenis ini. Andai ayahnya tak keberatan, jelas Alief lebih memilih meringkuk di kamar dan bukannya harus berbasa-basi menyapa ramah pada setiap orang yang ditemuinya. Pasalnya, Alief selalu merasa insecure dengan apa yang ia capai. Tak seperti kakaknya yang bisa dibilang meneruskan bisnis keluarga dengan menjadi seorang dokter, Alief justru banting setir dengan menjadi pemusik satu-satunya dalam keluarga. Sepupu-sepupunya pun berprofesi sebagai dokter dan arsitek jempolan.

Bukan rahasia umum, kalau profesi pemusik tak menjamin kehidupan. Tak banyak seniman yang bisa bertahan terus berada di panggung teratas. Tapi, Alief tak pernah ambil pusing, berapa pun yang ia hasilkan dari musik, ia toh tak pernah kekurangan. Hanya saat akhirnya ia terjun ke dunia perfilman dan bekerja sebagai penata musik, Alief akhirnya bisa dengan percaya diri menatap dunia dan hadir di setiap acara makan malam perusahaan keluarganya. Apalagi sejak kekasihnya, Ian, yang digadang-gadang sebagai penerus jaringan perhotelan—mengingat sepupunya si pemilik hotel justru malah memilih menjadi dokter anestesi—maka rasanya lengkap sudah atribut Alief untuk memasuki kalangan pebisnis keluarganya.

Nyaris tiga tahun bersama, dan setiap kali Ian menggandeng tangannya, Alief merasa memiliki dunia. Oh... jangan lupa dengan tatapan iri dari beberapa perempuan yang ikut hadir dalam acara. Bisa dibilang, setelah kakaknya dan kakak sepupunya sold out menikahi pilihan masing-masing, Ian adalah impian seluruh putri-putri pembesar bisnis yang hadir dalam setiap acara makan malam perusahaan. Dan ternyata... Ian jatuh ke pelukan Alief, dan mereka berdua digadang-gadang sebagai pasangan paling serasi.

Tapi, itu setahun yang lalu.

Dan setahun yang lalu, saat Alief sedang menjalankan segala macam bentuk perawatan demi memoles raganya yang babak belur kelelahan akibat tuntutan pekerjaan, petaka itu datang. Ia ingat, hari itu dengan sangat bersemangat bersama sepupu dan iparnya tengah berada di sebuah klinik perawatan kecantikan langganan menjalankan berbagai treatment, sebuah pesan singkat masuk ke ponsel pintarnya.

My Brian: Sorry, it seems like I can't attend the company dinner.

Me: Why? R u sick?

My Brian: Nope. Just... no longer my place to be there. Sorry.

Alief tidak menanggapinya serius saat itu, lagi pula ia tengah menikmati pijatan dari terapis profesional. Lagi pula, Alief pikir... Ian hanya bercanda, dan mungkin saja kekasihnya itu berbuat seperti itu untuk memberi kejutan setelah pertengkaran hebat yang mereka lalui. Alief yakin, Ian tengah mencari cara agar hubungan mereka bisa hangat kembali. Dengan kejutan kecil seperti tiba-tiba datang dalam acara makan malam lalu memeluknya dari belakang jelas menari-nari di benak Aliefiya.

Tapi, nyatanya hingga akhir acara... sosok yang ia tunggu tak kunjung tiba. Ia putuskan untuk menunggu sedikit lebih lama, berpikir bahwa kemacetan Jakarta menjadi penyebab kekasihnya tak muncul jua. Namun, saat lampu ballroom The Raikan's Hotel mulai dipadamkan, Alief hanya bisa menutup mata dan merasakan buliran bening menetes satu persatu. Bibirnya bergetar tak mengerti akan mimpi buruk yang tiba-tiba datang dan meluluhlantakkan semuanya.

Dan hari ini, entah kenapa kakaknya membelokkan mobil ke tempat ini. Ia tersentak dan akhirnya hanya bisa menghela napas karena serangan nyeri di dada. Di detik itu pula ia menyadari bahwa yang berat dari sebuah perpisahan terkadang bukanlah peristiwa itu sendiri, tapi justru kenangan panjang yang menjuntai di belakang. Karena rasa manis kenangan itu bisa saja menjadi pahit akibat sebuah perpisahan. Karena yang dahulu berbentuk tawa, mungkin sekarang menjadi sebuah tangis tak berkesudahan. Ah... kadang, kalau saja ia tahu efek dari sebuah kehilangan separah ini, mungkin Alief memilih untuk tak usah dipertemukan saja dari awal.

Alief memilih tak bersuara dan tetap mengikuti langkah panjang kakaknya. Deru pendingin udara disertai wangi semerbak langsung menyergap indera penciumannya saat mereka berdua memasuki tempat itu. Alief memejam. Ya, selalu sama sensasi yang ia rasakan ketika berada di sini. Rileks. Hangat. Menyenangkan. Bahkan bisa dibilang, ini adalah salah satu tempat yang wajib Alief kunjungi sebelum kencan. Alief bakal tampil habis-habisan, sampai membuat Ian tak mampu mengerjap apalagi mengalihkan pandangan.

Tapi... saat ia membuka mata, ada nyeri yang kembali terasa menghantam ulu hatinya. Tiba-tiba, ia merasa matanya memanas dan menggigil disertai mual. Ya Tuhan... apakah harus seberat ini efek yang ia terima meski sudah nyaris setahun berlalu?

"Lo nggak ngerasa kalau lo kelihatan kucel banget?" Suara Aldebaran menariknya dari lamunan.

"Heh?"

"Gue bawa lo ke sini, biar nanti malam Bunda nggak syok ngelihat penampilan lo. Ckckck. Asli, kayak anak nggak diurusin."

Aliefiya hanya hanya manyun dan mau tak mau mengikuti kakaknya ke resepsionis.

"Selamat siang, Bapak, Ibu? Ada yang bisa dibantu?" Senyum ramah ia terima dari resepsionis. "Sudah reservasi?"

Aldebaran menggeleng pelan, ia lebih memilih mengangsurkan kartu anggota miliknya. Dan efeknya ternyata masih seperti yang ia duga. Si resepsionis cantik berseragam membungkuk berkali-kali meminta maaf. Dan sempat-sempatnya gadis itu mencuri lirik ke arahnya. Ah... andai itu terjadi lima tahun yang lalu, mungkin Al tertarik untuk menggodainya, tapi sekarang... hatinya hanya milik Kalila, tak ada tempat untuk sepik-sepik jahanam apalagi modus terselubung pada gadis lain. Al sudah kehilangan minat untuk itu. Al hanya mengangkat alis dan gadis itu berucap terbata, "Maaf... maafkan saya." Dengan cepat, gadis itu meraih telepon dan berbicara cepat.

"Mas Al, Mbak Alief, astaga... kok bisa-bisanya nggak mengabari dulu mau ke sini?" Satu suara menyongsongnya, lengkap dengan langkah tergopoh, membuat Alief mengalihkan pandangan. Alief mengenalinya sebagai manajer tempat ini.

Aldebaran melemparkan senyum, dan sang manajer tersipu kikuk. "Tolong, perawatan buat adik saya. Nanti saya jemput dia, titip, ya."

Lagi-lagi Al membuat orang kesusahan dalam menelan ludah. "I... iya, Mas, Iya."

Alief mau tak mau menggeleng karena melihat bagaimana kakaknya masih saja bisa membuat orang salah tingkah tak keruan.

"Nanti gue jemput, Lief," ujar Al seraya menggamit lengan adiknya.

"Mari Mbak, ke dalam langsung. Mau perawatan yang mana? Kita ada paket spesial, lho, untuk mencerahkan muka. Kayaknya... Mbak Alief belakangan kerja keras dan kurang tidur, ya. Mukanya, aduh... maaf nih, Mbak, rada kusam. Dan kita punya teknologi baru untuk mengatasinya." Alief mendesah mendengar kecepatan perempuan itu berbicara.

"Semuanya," potong Al sebelum Alief membuka mulut. "Berikan perawatan terbaik untuk dia. Dan... tanpa terganggu."

Perempuan di depan mereka menyungging senyum lalu mengangguk cepat, jelas puas karena bonus besar yang cukup untuk setahun akan mengalir ke sakunya. Kemudian, tanpa banyak membuang waktu, status tempat itu berubah menjadi closed saat itu juga.

Al beralih pandang ke adiknya, tangan kekarnya mengelus pelan sisi kepala. "Nanti A'Al jemput ya, Lief. Kita ke rumah Bunda," ujarnya lembut. Meski si manajer sudah tahu bahwa mereka kakak beradik dan Al sudah memiliki istri, tetap saja gadis itu meleleh dan iri melihat perlakuan Al.

Aliefiya menghela napas. "Oke."

Al nyaris melangkah saat ia merasakan ujung bajunya tertahan. "Kenapa lagi, hm?"

Al bisa melihat bola mata adiknya mulai menggenang tangisan, dan itu membuat hatinya lagi-lagi tercabik tak keruan. "I am sorry, A'Al, I am sorry," gumam Aliefiya. "Maafin Alief udah nyusahin semuanya selama ini."

Al membawa adiknya dalam dekapan hangat. Ia berbisik, "Sudah setahun, Aliefiya. Sudah saatnya menghadapi kenyataan. Kalau perlu, tabrak saja kenyataan itu dari depan. Dan yang Alief harus ingat, A'Al bakal selalu ada." Lagi-lagi Al mengetatkan adiknya dalam pelukan panjang. Matanya ikut berkaca. Ia berjanji, tak seorang pun lagi boleh menyakiti adiknya sampai seperti ini.

"Thanks, A'Al. Alief coba," desah adiknya.

Begitulah, akhirnya... Alief kembali menggunakan namanya saat bicara pada kakaknya, tidak lagi menggunakan lo-gue seperti yang setahun ini gadis itu lakukan.

[amplitudo]

Hal yang pertama kali Saga lakukan saat masuk kamar jelas bukan istirahat. Setelah memastikan bahwa asisten yang Kemi kirim tiba dan bisa mengatasi segala keperluan kakak dan ponakannya, ia beranjak sambil membawa serta laptopnya. Diabaikannya suara peringatan Kemi yang tiba-tiba muncul di pikiran agar Saga beristirahat. Untuk sekarang ini, membuka laptop dan menemukan sesuatu jelas menjadi prioritasnya.

Laman LinkedIn langsung muncul dan Saga segera mengeklik find a person you know, lalu mengetikkan keyword yang sudah memenuhi kepalanya. Hasil teratar langsung menunjukkan beberapa orang yang memiliki nama serupa. Saga menyekrol pelan hingga menemukan foto orang yang dicarinya. Dipandanginya foto gadis berkacamata tebal dan rambut diikat bun. Gadis itu mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna merah oversize dan dalaman kaus berwarna putih. Tidak terlalu rapi, tapi tetap menarik di mata Saga. Di bawah foto itu, tertulis Aliefiya R. Bachtiar, composer, music scoring composer, penata musik film.

Saga mengerjap beberapa kali, hal yang kemudian ia lakukan adalah mengingat dengan baik alamat surel yang tertera dan mengunduh foto Aliefiya dan menjadikannya screen saver laptopnya.

Laptop yang Saga pangku nyaris terlepas dari pegangan saat pintu kamarnya tiba-tiba terbuka.

"Hallo, Bro." Sosok Faisal, suami dari salah satu sahabatnya muncul dan masuk tanpa permisi. Lelaki itu menepuk pundaknya dan Saga dengan cepat menutup laptopnya. "Lo kalau sakit manja banget, ya," omel Faisal.

"Lo kok bisa di sini?" tanya Saga yang masih bingung.

Faisal mendelik. "Bini gue ngotot mau nganterin lo masakan, tuh orangnya di dapur lagi ambil piring. Mastiin lo makan dengan baik dan benar. Ckckck." Faisal menggeleng beberapa kali sambil berdecak.

"Heh? Gue nggak minta," kelit Saga.

"Gue tahu, dia yang mau, kok," timpal Faisal. "Dan gue bisa apa kalau dia ngambek mau berangkat sendiri kalau gue nggak mau nganterin?"

Lanti yang melihat pintu kamar terbuka langsung membawa makanan ke hadapan Saga. "Dimakan, Ga, aku sengaja masak buat kamu."

"Astaga, Lan, kok jadi repot-repot. Kan Kemi udah kirim pembantunya ke gue."

"Nggak ada repot dalam persahabatan, Ga," ujar Lanti lagi. Dan tanpa setahu Lanti, Faisal menjulurkan lidah dari belakang.

"Udah dimakan aja, bini gue susah-susah masak ini. Gue sebenarnya males banget berbagi, kepinginnya lidah gue doang yang tahu masakannya Lanti. Apa daya dia juga peduli sama lo. Cuma peduli sebagai sohib ya, Ga, bukan apa-apa kayak gimana pikiran lo. Awas kalo lo—"

"Ini orang berisik banget, sih!" Toyoran Kemi yang datang di belakang menghentikan ocehan Faisal. "Ngoceh lagi, gue tabok lo, Cal!"

"Gimana, masih pusing, Ga? Masih mual?" Mona yang juga ikut muncul langsung bertanya. "Ini nyokap gue bikinin ramuan dari kunyit apalah-apalah, buat lo, Ga. Diminum, ya," lanjut Mona.

"Ya... ampun, dia sakit yang repot orang sekampung," seloroh Faisal. Dan otomatis mendapat injakan di kaki dari Kemi.

"Lho, kok bisa pada dateng?" Saga memilih mengabaikan gerutuan Faisal dan menatap sahabatnya satu persatu.

"Tadi Lanti ngabarin mau ke sini bawain makanan, jadi gue jemput Kemi dan sekalian ke sini juga," jawab Mona.

"Dimakan, Ga," ujar Lanti menyodorkan sepiring nasi putih mengepul.

"Ehem! Nggak usah disuapin juga kali, Yang!"

"Tangan gue sakit, suapin dong, Lan," ujar Saga iseng.

"Lo ya, Bro, ngelunjak. Baku hantam sini sama gue!"

Dan kamar Saga pun pecah oleh tawa berderai dari sahabat-sahabatnya. Rasanya, sekarang jauh lebih membaik daripada tadi siang. Memang, Saga benar-benar merasa beruntung memiliki sahabat-sahabatnya. Karena bagi Saga, sahabat adalah saudara tak sedarah yang Tuhan kirim untuk selalu menjaganya.

"Eh, Ga, ngomong-ngomong, nih," Kemi memecah lamunan Saga yang asyik menikmati masakan Lanti. "Minggu depan, Rania minta tolong gue." Rania adalah kakak Kemi yang berprofesi sebagai dokter kandungan. "Anak temannya ultah, pas banget Rania sama suaminya ada seminar di luar kota. Jadi, minta tolong gue bawain ponakan ke ultah anak temennya itu."

"Terus?"

"Ya, gue mau ngajak lo ke sana. Lo kira gampang apa bawa rombongan badut ke ultah. Lo juga boleh bawa Dion kok."

"Kok gue, Lanti aja," tolak Saga cepat. "Lanti kan juga demen sama anak-anak."

"Tapi, yang ultah ini anaknya temen Rania, lho. Yang tadi siang kita ketemu. Anak kembarnya Dokter Aldebaran," ujar Kemi seraya tersenyum licik. "Dan jelas banget pasti seribu persen tantenya hadir di sana. Tantenya yang namanya—"

"Oke, Kem! Hari apa? Jam berapa kita ke sana? Gue kudu pakai baju apa? Gue perlu potong rambut dulu apa nggak, nih?"

Dan sahabat-sahabatnyatertawa terpingkal-pingkal mendengar reaksi Saga.


Note:

Ya ampun, Ga, sabar Nak, sabar... nggak usah ngegas gitu, nanti jatuh di tikungan kan sakit :P

Ada pertanyaan menarik yang selalu saya baca: Sosok Saga ini ada nggak sih?

Justru sosok Saga adalah satu-satunya yang real di dunia saya, diambil dari karakter sahabat saya yang jauh di mata, tapi selalu ada di setiap persimpangan yang saya hadapi :)

Selamat malam minggu, nggak usah terlalu senang kalau saya update cepat. Nanti kalau dibekep kerjaan, bisa ilang berbulan-bulan lagi, lho *eh

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top