[back at your door]


"Dia kenapa? Mati?" Wanita berambut pendek dengan warna silver metalik itu terkesiap.

"Jangan ngomong sembarangan dong, Kem!" balas Mona. "Kaget atau apa paling."

Lanti yang sejak tadi diam beranjak dari duduknya kemudian mengguncang pelan Aliefiya. "Lief? Kamu kenapa? Hei...."

Dalam dengusannya, Mona berusaha menahan lidahnya. Nyaris terlepas dari mulutnya untuk memaki sahabatnya yang sudah membawa Aliefiya kemari. Bukannya keadaan Saga tambah membaik, malah mereka ketambahan satu pasien yang harus diurus lagi.

Mona menggaruk sisi kepalanya yang tidak gatal. Mencoba berpikir—

Interkom rumah berbunyi. Ketiganya berpandangan.

"Kem?" tanya Mona.

Si Nyonya Rumah segera meraih gagang telepon yang melekat di dekat ruang makan.

"Ya?"

"Maaf, Bu, Maaf," suara di intercom terdengar. "Ini ada beberapa orang yang memaksa masuk. Pakai bawa-bawa polisi lagi," lapor satpam depan.

"Ya Tuhan, siapa sih?" bentak Kemi. "Ibu lagi sib—"
"Buka pintu atau saya dobrak!"

"Siapa?!" balas Kemi berteriak.

"Kalian ngapain adik saya di dalam, heh!" sahut orang di seberang balas berteriak. Suaranya bahkan membuat telinga Kemi nyaris berdenging.

Interkom Kemi lempar begitu saja dan wanita mungil itu berlari ke pintu depan.

"Apa-apaan?!" semburnya.

Sedetik kemudian, Mona dan Lanti berdiri di belakang Kemi yang berkacak pinggang. Di depan mereka, Kemi langsung mengenali Dokter Aldebaran yang jelas terlihat tak sabar. Sementara tiga orang lain di belakang Dokter Al tidak Kemi kenali. Dan... omongan penjaga rumahnya bukan omong kosong, di belakang tiga orang itu mungkin sepasukan pria berseragam gelap menunggu siaga.

Kemi menghela napas. Balas melipat tangannya di dada.

"Maksudnya apaan?" tanya Kemi. "Anda masuk ke rumah orang kayak gini nggak sopan, tahu nggak!"

Aldebaran sudah maju selangkah, tapi tangan Kemi dan Mona terentang. Disambut dengan lengan Al yang ditahan seorang wanita yang tak kalah mungilnya dari Kemi.

"Maaf... Maaf, Mbak," ujar wanita itu pelan. Suaranya terdengar lebih tenang. "Saya Kalila, kakak iparnya Aliefiya, mohon maaf banget udah bikin rusuh. Jadi gini, kami menemukan kalau sinyal ponsel Livie berhenti di area yang tidak kami kenali," jelas wanita itu. "Maaf banget juga, karena pernah terjadi sesuatu di masa lalu adik kami, suami saya memutuskan untuk memasang pelacak, dan... kami merasa aneh aja tiba-tiba dia pergi dari studio tempat kerjanya tapi nggak pulang ke apartemen atau rumahnya," jelas Kalila. "Titik ponselnya menunjukkan tempat ini. Dan... seperti yang terlihat, kami khawatir dan menyusulnya. Takut ada apa-apa."

Kemi menghela napas, namun Lanti mendahului menjawab, "Oh, iya, maaf, Mbak. Memang benar Aliefiya ada di sini—"

"Mana dia?! Ngapain dia di sini?"

"Sabar dikit kenapa sih, Ay," gerutu Kalila. "Livie... maksud kami, dia baik-baik aja?"

"Pingsan, tuh," jawab Mona.

"Hah?!"

Tanpa kata-kata lagi Al nyaris menerobos pintu depan, namun dua orang satpam rumah Kemi langsung membatasi.

"Kita akan bicarakan ini baik-baik, oke, Al?" Lelaki yang satunya mengambil alih sambil menahan lengan Aldebaran. "Nggak ada gunanya lo emosi."

Kemudian lelaki yang barusan bicara berbalik untuk meminta maaf dan membubarkan barisan. Setelahnya, baru Kemi mempersilakan.

Aldebaran dan lelaki yang satunya langsung memasuki kamar yang ditunjuk Lanti. Dari gerak-geriknya, Mona menebak bahwa keduanya mungkin mengerti tentang kesehatan.

"Dia pingsan, kenapa?" tuntut Al lagi.

"Heh! Sebelum lo nuduh-nuduh—"

"Gue ngga nuduh!" balas Al.

"Bisa kan nanya baik-baik?!" Mona mendelik.

"Ay, bisa diam? Biar aku yang ngomong, ya," pinta Kalila.

Lanti membawa mereka berempat ke ruang tengah yang cukup luas. Sofa yang sewarna serat goni terasa hangat menyambut. Mereka bertujuh duduk berhadapan memenuhi tempat duduk yang tersedia.

"Jadi, gimana ceritanya?" tanya Kalila sabar.

Ketiganya—Mona, Kemi dan Lanti berpandangan.

"Jadi, gini, Mbak—"

"Kalila. Panggil aja Lila."

"Gini, Mbak Lila, saya Lanti perkenalkan." Kalila mengangguk. "Memang saya yang meminta bertemu Aliefiya tadi," jelasnya. "Saya sungguh minta maaf, sebelumnya nggak minta ijin dan ngerepotin. Saya juga nggak nyangka bakal gini kejadiannya."

Kemudian mereka bertiga secara bergantian menuturkan kejadian demi kejadian yang berlangsung sejak Aliefiya tiba di rumah Kemi.

"Jadi, kalian nyalahin adik saya?!" Nada suara Al naik lagi.

"Bisa tenang nggak sih, Ay!" peringat Kalila lagi-lagi, wanita itu berdecak.

"Kalau lo nggak bisa tenang, mending kita balik. Biar Kalila yang menyelesaikan," ujar lelaki yang satunya. Dari tadi, lelaki itu tidak banyak bicara, hanya menyimak, bahkan tak juga memperkenalkan diri.

Suasana sempat hening sejenak. Masing-masing terpekur seperti tenggelam dalam kereta pikiran masing-masing. Hanya Kemi yang bergerak menggenggam kedua tangan sahabatnya.

"Sama sekali kami nggak bermaksud buruk, Dokter Al. Kami hanya berniat...," Kemi menjeda bicara, "berniat... mungkin saja... kehadiran Aliefiya dapat membantu kondi—"

"A'al," panggilan lirih itu membuat semuanya berbalik. Di depan pintu kamar tempat Aliefiya berbaring sebelumnya, gadis itu berdiri dan netranya kembali bercucuran air mata.

"Lief," seru Al tertahan. Bergegas ia meraih gadis itu dalam pelukan. Dibenamkannya dalam rangkulan sambil mengusap punggung Aliefiya. "Nggak papa... nggak papa, A'Al di sini. Jangan takut. Ada A'Al," ucapnya berulang-ulang.

Tangis Aliefiya teredam. Dan di antara isakannya, gadis itu berucap pelan, "Tolong Alief, A'Al."

"A'al akan terus di sini Alief, ya, ya, Alief nggak salah—"

Gadis itu menggeleng dan menghambur ke pelukan lelaki yang satunya. "Tolong Alief, A'Agil," ucapnya. "Teh Lila," ujar Alief yang langsung disambut dengan remasan tangan Kalila.

"Iya... iya, kita semua ada di sini, buat Alief," ujar Agil. "Kita pulang ya—"

Kemudian Aliefiya menggeleng hebat.

"Tolong kami, ya, A'," ujarnya. "Tolong Saga," lirihnya.

Al yang bertumpu pada bahu sofa terkesiap. "Lief? Apa maksudnya?"

"Tolong kami," ulang Alief. "Alief dan Saga. Tolong kami agar bisa ngelewatin semua ini. Alief benar-benar nggak tahu harus ngapain. Tapi, Alief yakin, A'Al tahu dan bisa ngusahain semuanya."

Hening tak terdengar jawaban.

"Kenapa, Lief?" gumam Al lebih pada dirinya sendiri.

"Karena Saga penting buat Alief, A'," Al menahan napas, dan sebelum ia sempat bicara, Alief melanjutkan, "Sepenting Teh Lila buat A'Al dan Kak Ghea buat A'Agil."

Waktu seakan diputar jauh lebih lambat, saat semua orang di ruangan itu saling berpandangan. Tak satu pun bicara dan jelas tak tahu harus bicara apa.

Akhirnya Kalila melepaskan genggamannya di tangan Alief. Wanita itu berjalan mendekati suaminya yang masih terdiam membisu. Diusapnya berkali-kali lengan Al yang terasa padat dan keras.

"A'," panggilnya.

"Ya, Ay?" balas Aldebaran.

"Tolong Saga," ujar Kalila, lebih seperti perintah.

"Hmm...."

"Karena dia... keluarga kita," lanjut Kalila.

[Magnitudo]

Tirta Magadha tak pernah seterkejut ini sebelumnya.

Seingatnya, ia tak pernah harus datang pukul empat pagi ke rumah sakit sebelumnya. Jika bukan karena sahabat lamanya yang tiba-tiba mengontak dan memintanya datang ke suatu tempat serta mengirimkan lokasinya.

"Hai, Ta! Makasih banget udah datang." Lelaki yang memanggilnya sudah berdiri di teras rumah. Jelas seperti menunggunya datang.

"Bro! Tumben banget lo, ada apaan? Awas banget lo kalau nggak penting-penting banget," sahutnya. "Lo nelpon nodong nyuruh datang aja, kali ngajak ngopi-ngopi kek!"

Seperti tak sabar, Tirta bagai diseret Al memasuki rumah yang penghuninya terlihat tegang. Beberapa Tirta kenali seperti Agil dan Kalila. Sisanya, Tirta sama sekali tak pernah merasa bersua. 

Dan kemudian Tirta mematung. Di depan kamar yang baru ia masuki, terbaring seorang lelaki yang sepertinya tertidur lelap. Tetapi, kedua tangannya terikat ke masing-masing sisi tempat tidur.

"Al?" tanyanya dengan alis terangkat.

"Gue juga belum sepenuhnya mengerti, tapi cuma lo yang bisa gue andelin, Ta. Dia—namanya Saga," ucap Al. "Dia... baru-baru ini dia mengalami kejadian yang yah... mengerikan. Mungkin... kejadian itu mempengaruhinya terlalu hebat dan... yah... begitulah."

"Ini siapa yang pasang ini?" tanya Tirta mendekati semacam alat yang menunjukkan waktu.

"Hng... Rania," cicit Kemi menyebutkan nama kakak tirinya.

"Rania? Rania yang temen kita? Bukannya dia dokter kandungan?"

Al geleng-geleng kepala. "Justru itu gue manggil lo, Ta. Kalau ini ketahuan bakal jadi masalah. Tapi, gue yakin Rania juga punya pertimbangan, dan nggak mungkin mau bantuin kalau nggak terpaksa banget."

Tirta Magadha memijit sisi kepala. "Terus? Gue harus ngelakuin apa?"

"Ini kan keahlian lo, Bro," ujar Al. "Gue serahin ke lo."

Lama Tirta terdiam, seperti menganalisa lelaki yang terbaring tenang di depannya.

"Walinya mana? Kita pindahin dia ke rumah sakit gue."

"Untuk saat ini gue walinya, segala macam perawatan yang dia perlukan, gue serahin ke lo. Segala berkas yang memerlukan wali sahnya akan gue urus setelah ini," ujar Al maju. "Pokoknya, lakuin yang terbaik yang lo bisa. Untuk urusan ini, gue cuma percaya lo, Ta."

"Nggak bisa, Al, harus keluarga yang berhak menandatang—"

"Dia adik gue, Ta," potong Al tegas.

Diam-diam, Lanti tersenyum.

Setelahnya, Al nyaris terjengkang karena Kemi dan Mona menyerbu dan memeluk Aldebaran disertai tangis kencang.


Note:

Tuhan itu memang adil.

Di saat Saga benar-benar tak tahu harus melakukan apa... Tuhan mengulurkan bantuan melalui tangan-tangan mulia manusia...

Sampai jumpa, ya...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top