[ 05 ] Crossroad
05. Crossroad
If there's any feelings left, it's my responsibility to ignore it – m.r.(s)
Tidak perlu bersusah payah menghindari Zain untuk menetralkan perasaannya, Miruna dan Zain sudah dengan sendirinya memberi jarak pada masing-masing karena pekerjaan keduanya yang semakin padat. Apalagi beberapa hari lalu pengumuman promosi di kantor mereka keluar dan Zain menjadi satu-satunya pegawai level associate di Bacth Bitjh yang mendapatkan double promote sehingga dia sekarang sudah ada di posisi senior associate meski baru setahun lebih sedikit bekerja. Miruna sendiri menjalani track karir normal dan sekarang masih berada di level associate tingkat dua sebelum tahun depan jika semua kembali berjalan lancar, dia akan naik ke level senior associate.
Posisi Zain sebagai senior associate sejak beberapa hari lalu membuatnya sudah langsung mendapatkan hibah berbagai proyek baik lama dan baru yang menyita lebih dari sepuluh jam waktunya dalam sehari. Tidak jauh berbeda dengan Zain, Miruna juga mulai mendapatkan proyek-proyek lain setelah sukses dengan Proyek Silverstone yang menjadi penyumbang salah satu pemasukan terbesar untuk SMF Consulting awal tahun ini. Walau masih sering kesulitan dan membutuhkan waktu agak lama untuk menyelesaikan pekerjaan yang diminta seniornya, Miruna masih bisa mengikuti ritme kerja di kantor dengan semakin baik.
Tenggelam dalam kesibukannya masing-masing, Miruna masih secara diam-diam memandangi Zain dari kejauhan. Kadang dia melihat Zain makan siang bersama Hans dan teman satu tim mereka yang lain. Kadang juga Miruna menemukan Zain tengah menunggu hasil print out dokumennya di mesin fotokopi kantor dekat kubikel Miruna. Saat seperti itulah, Miruna suka mencuri pandang walau hanya sebentar.
Perasaan adalah hal yang sulit dihilangkan. Meski begitu, Miruna merasa harus mencoba melupakan perasaan itu. Bukan atas nama pertemanannya dengan Zain, melainkan untuk kesehatan jiwa dan perasaannya sendiri. Dia ingat sore hari saat dirinya dan Zain membicarakan mengenai hubungan platonik perempuan dan laki-laki yang menurut Zain sangat mungkin dilakukan. Dia menangkap bahwa Zain akan bisa memisahkan orang yang dia sayangi secara ikatan romantis dengan orang yang dia sayangi secara platonik. Serta ucapan Zain mengenai Sandra Bullock cukup membuat Miruna yakin bahwa jika memang Zain pernah sekali saja memikirkan dirinya bukan sebagai teman, maka Zain akan dengan segera mendekati Miruna dan membuatnya terlihat jelas.
Sekarang?
Zain tidak melakukan apa yang akan laki-laki itu lakukan jika dia adalah George Clooney dalam kehidupan Sandra Bullock kepada Miruna. Sudah pasti dia memang bukan Sandra Bullock dalam kehidupan Zain Bintara. Jadi, daripada patah hatinya nanti akan menjadi semakin dalam, Miruna memilih untuk segera menarik perasaannya pelan-pelan namun pasti.
Getar ponsel di atas meja membuat Miruna tersadar dari lamunannya memikirkan nasib percintaannya yang tak ada kepastian ini. Seolah masalah hidupnya hanya itu, padahal masih banyak masalah lainnya seperti permintaan salah seorang kliennya yang selalu berganti setiap satu jam sekali dan permasalahan di rumah saat Papanya selalu menyinggung rencana Miruna untuk pergi dari Jakarta jika tabungannya sudah cukup nanti.
Miruna melirik ke ponselnya. Ada telepon dari Christoper. "Yes, Per? Ada apa?"
"Temennin gue nyebat dong ke bawah, Run. Nanti ada Iota. Katanya Iota lagi habis ada meeting dekat kantor kita jadi dia mau ketemu gue. Gue takut mau ketemu dia berdua doang. Bulan depan case closed nih dan report gue kayaknya bakal membuat perusahaan target Proyek Oppa harus pergi dari Indonesia."
Nah, ini juga salah satu masalah yang seharusnya dipikirkan oleh Miruna di luar kisah cintanya yang mungkin hanya 0.1 persen dari beban hidupnya secara keseluruhan. "Oke. Kita ketemu di lobi aja gimana?"
"Oke. Thank you, Sayang."
"Sayang cuma kalau ada maunya! Dasar!" Miruna mendumel sebentar sebelum menutup sambungan telepon. Dia menarik napas penuh beban. Kasihan juga temannya itu. Memang harusnya Christoper menurut saat dia menjodohkan temannya itu dengan Juwita. Seandainya saja Christoper waktu itu mau mencoba hubungan dengan Juwita, pasti kehidupan mereka tidak akan serumit hari ini.
Miruna menutup laptopnya pelan. Dia ijin sebentar pada Juwita dan Deon yang saat ini mengerjakan satu proyek dengannya dan membuat mereka jadi duduk berdekatan di satu kubikel. "Kak Juju, Kak Deon, gue turun bentar, ya."
Juwita hafal jika Miruna sudah menerima telepon dan meminta ijin begini, "Toper ngajak nyebat lagi? Kok sama lo doang? Biasanya ngajak gue atau Deon."
"Lagi mau curhat dia. Kasihan. Diomelin bosnya. Galak tuh bosnya."
Deon menggeleng tidak percaya, "Yang ada dia tuh senior galak! Gue dengar dari adik kelas gue yang lagi kerja internship under timnya Toper. Katanya galak banget apalagi kalau urusan proyek korea-korea gitu gue lupa namanya. Kok lo lucu-lucu gini bisa temanan dekat sama monster galak kayak Toper, deh?"
"Mereka bukan berteman, Yon. Mereka tuh udah kayak saudara kembar! Aslinya Christoper sama gebleknya kayak Miruna, kok," Juwita mencoba membela Christoper.
"Kurang paham juga gue, mungkin karena waktu kecil gue dan Toper makan wortel dari kebun yang sama, kita berdua jadi tetap dekat sampe udah gede gini. Gue turun dulu, Kak!" Miruna mengambil dompetnya lalu keluar ruang kantor dan betapa kagetnya saat dia menemukan Zain sedang menunggu lift.
"Naik atau turun, Za?" Miruna bertanya berusaha menjadi sebiasa mungkin. Dalam hati dia sangat memohon Zain tidak merasakan kecanggungan yang kini memenuhi otaknya.
"Gue mau naik. Lo?" balas Zain masih datar seperti Zain biasanya jika tidak ada topik menarik untuk dibicarakan.
Miruna menekan tombol turun lift. "Gue mau ke bawah, Za. Lo ke atas ada yang mau ditemuin?"
Zain menganggukkan kepalanya. Dia memang akan mengambil dokumen dari tim pajak yang berkantor satu lantai di atas tempat kerja mereka. "Lo mau ketemu Toper?"
"Kok lo tahu? Ketebak banget?" Miruna bertanya balik karena bingung harus membalas apa lagi sambil menunggu pintu lift terbuka untuk masing-masing dari mereka.
"Tadi gue dengar sedikit pas lo lagi angkat telepon dan gue lagi ambil dokumen di printer."
"Oh..."
Hening menyita sisa waktu yang ada hingga pintu lift menuju ke lantai bawah untuk Miruna terbuka. "Gue duluan ya, Za. See you!" tangannya dia kibaskan menggerakkan gaya "dadah" yang sangat canggung dan saat itulah Miruna meratapi tindakannya sendiri.
***
Saat keluar gedung kantor di pinggiran jalan yang biasa digunakan orang-orang sekitar area perkantoran itu untuk merokok, mata Miruna langsung menemukan sosok Iota. Namun, di sana belum terlihat adanya tanda-tanda kehadiran Christoper. Maka Miruna lekas mengetik pesan untuk meminta Christoper segera menemuinya di lokasi biasa.
"Halo, Kak Iota!" Miruna menyapa Iota yang terlihat sibuk dengan ponselnya.
Iota mengalihkan perhatian dari ponselnya. "Oh, hai, Runa! Kamu lagi mau ke mana?"
"Aku biasa turun jam segini sama Toper, Kak," Miruna membuat satu kebohongan kecil untuk menutupi keadaan sebenarnya bahwa Christoper sebenarnya hanya sedang tidak ingin bertemu hanya berdua saja dengan Iota. "Kak Iota lagi ada urusan apa?" tanya Miruna kini pura-pura tak tahu dengan keadaan yang ada.
Iota melemparkan senyumannya dari bibir yang terpoles lipstik berwarna pink natural. Miruna menahan napas. Kalau tidak salah, dia memakai warna sejenis ini untuk bibirnya sekarang, tapi kenapa warna lipstik Iota nampak lebih pas di wajahnya yang elegan? Iota mulai menjelaskan alasan kenapa dia ada di sini sekarang, "Aku habis ada meeting di gedung sekitar sini. Jadi aku mau ngobrol-ngobrol aja sama Christoper. Udah beberapa kali sih aku datang ke gedung ini buat brunch, lunch, atau kadang dinner sama Christoper. Dia seru banget ternyata orangnya."
Miruna hanya bisa menganggukkan kepalanya. Tentu saja Christoper orang yang seru jika kamu adalah perempuan yang sedang dia incar, pikir Miruna. "Kak Iota udah lunch? Mau grab a coffee abis ini?"
"Udah makan siang kok tadi. Thanks, Runa. Seru tuh kalau kita bisa beli kopi gitu habis ini. Kamu lagi ada kerjaan nggak?"
"Tenang, Kak. Tadi aku udah ijin buat beli kopi sama seniorku. Bisa diatur kok kerjaan. Nanti ngobrol sama Toper nggak usah lama-lama, Kak. Kalau kelamaan Kak Iota bisa ketularan jadi orang nggak waras kayak dia!"
Belum selesai Miruna menyebutkan hal-hal buruk lain tentang Christoper, pundaknya sudah ditinju ringan oleh seseorang. "Duh! Apaan sih, Lo!" Dia sudah menduga bahwa orang yang meninjunya barusan adalah Christoper.
Tingkah laku Christoper dan Miruna membuat Iota tertawa. "Kalian lebih seru daripada kakak-adik betulan. Aku sama Zain mana pernah kayak gitu. Dia anaknya irit banget bicara dan jaim parah."
"Oh ya?" Miruna mulai tertarik dengan pembahasan mengenai Zain yang dibuka oleh Iota.
Christoper menggelengkan kepalanya tanda sudah saatnya dia mengembalikan temannya ini pada komitmennya untuk mulai melupakan Zain. "Miruna udah cerita apa aja tentang aku, Ta? Jangan didengarin kalau Runa yang ngomong. Sebagian besar pasti fitnah. Dia hobinya jahatin dan fitnah aku."
Baru kali itu Miruna mendengar gaya berbicara Christoper dengan Iota. Kalau boleh jujur, rasanya Miruna sangat terkejut sekaligus geli melihat idolanya memakai bahasa imut dengan temannya sejak kecil. Dia melemparkan pandangan pada Christoper seolah berkata 'oh udah aku kamu?!' dan hanya ditanggapi dengan satu tawa kecil dari Christoper.
"Aku tadi diajak Miruna buat beli kopi, Christoper. Jadi ngobrol sama kamu nggak boleh lama-lama takutnya nanti Miruna dicari sama atasannya," Iota menjelaskan pembicaraannya sebelum ini dengan Miruna.
Christoper nampak sangat lega dan senang mendengarnya. Miruna memang selalu bisa diandalkan untuk urusan kongkalingkong semacam ini. "Wah, sebenarnya aku juga turun untuk bilang kalau aku sekitar lima menit lagi ada call dadakan sama klien jadi nggak bisa lama-lama di bawah. Cuma, karena kamu udah terlanjur sampai sini, aku nggak enak kalau nggak turun dulu."
"No worries, Per. Kamu balik ke atas aja kalau gitu. Aku mau lanjut beli kopi sama Miruna," Iota memberikan ijinnya kepada Christoper untuk menghindari diskusi mereka hari ini.
"Oke, deh. Maaf ya, Ta. Anyway, kalau pesan kopi, better jangan yang sama kayak Runa. Terakhir aku pesan menu yang sama, yang datang bukan kopi tapi jus jeruk nipis alias asam banget. Dia suka menipu orang lewat rekomendasi menu-menu aneh di coffee shop. Kamu hati-hati sama Miruna, Ta. Aku naik ke atas, ya. Bye!" Christoper segera pergi sebelum Miruna sempat menendang kakinya sebagai balasan atas pernyataan sembarangan yang dia keluarkan.
Setelah Christoper meninggalkan mereka, Iota dan Miruna berjalan bersama ke arah mall terdekat dengan kantor Miruna untuk membeli kopi di sebuah kedai kopi terkenal di dalam mall tersebut. Sepanjang perjalanan, Iota dan Miruna membicarakan banyak hal. Mulai dari kota-kota yang pernah Iota kunjungi dan yang berkesan untuknya, makanan yang keduanya paling rindukan ketika sedang keluar negeri, dan tentu saja tentang Christoper serta Zain.
"Christoper orangnya memang lucu gitu dari dulu, Run?" Iota melemparkan pertanyannya saat mereka mengantre untuk memesan kopi.
"Dulu sih jahil parah, Kak. Aku pernah sampai nangis berhari-hari karena diledekin 'anak pungut' sama Toper dan Bang Ola, kakakku. Semakin gede, untungnya dia semakin berubah ke arah yang lebih baik. Jahilnya berubah lebih pengertian dengan orang lain, jadi kesan yang ketinggalan tinggal lucunya aja. Dia pernah jahilin Kak Iota, nggak?"
"Hmm," Iota berpikir cukup keras, "terakhir kali dia pernah umpetin kunci mobil aku di dalam box tissue rumah makan pas kita lagi makan siang bareng. Aku sampai panik udah mau nangis, akhirnya dia tunjukkin dan minta maaf."
"Kebiasaan nggak berubah memang. Atas nama temannya dari kecil, aku minta maaf untuk kelakuan dia ya, Kak," Miruna turut prihatin dan marah mendengar idolanya sampai hampir menangis dijahili oleh Christoper.
"Justru karena itu, Runa, aku jadi galau," Iota mengingat lagi kejadian beberapa hari lalu yang masih menghantuinya hingga hari ini. "Waktu aku hampir nangis, Christoper panik dan langsung minta maaf. Dia kelihatan menyesal banget. Mungkin karena terlalu panik, dia masih terus minta maaf waktu dia antar aku ke mobilku. Di sana dia sampai janji nggak akan pernah bikin aku nangis lagi dan kita... ciuman."
Kalau ada yang bisa melukiskan bayangan seorang manusia dengan hanya mengenakan kain setipis kapas melayang-layang di udara kehilangan arah, sementara ada keramaian begitu bising sebagai latarnya, seperti itulah bayangan kondisi kesadaran Miruna saat ini. Ternyata Christoper sudah mengambil jalur yang tidak bisa dia putar lagi. Pantas saja orang itu menghindari Iota walau tidak terang-terangan.
"Kalau kamu di posisi aku, kira-kira kamu bakal ngapain apa, Run?" Iota bertanya bingung.
"Ada dua pilihan, Kak. Kak Iota mau menyeberang jalan atau kembali ke jalur Kak Iota sebelumnya? Semua pilihan ada risikonya karena Kak Iota kayak sedang ada di persimpangan jalan. Kalau menyeberang ada risiko tersesat atau tertabrak karena Kak Iota nggak paham dengan jalur di depan sana. Kalau kembali ke jalur Kak Iota sebelumnya, Kak Iota akan kehilangan kesempatan untuk mengeksplorasi hal baru."
"Jadi?"
Miruna menangkupkan kedua tangannya seolah sedang berdoa, "Jadi, Kak Iota harus minum sparkling americano with no sugar. Rasanya pahit asam bisa bikin energi positif kembali dan energi negatif keluar dari kehidupan kita, Kak."
Menanyakan sebuah keputusan penting pada Miruna dan Christoper memang tidak akan pernah menjadi pilihan yang tepat. Keduanya hampir sama dalam menghadapi kenyataan di depannya. Keduanya menggunakan prinsip satu lagu yang selalu mereka dengarkan sejak kecil. Judulnya "Hadapi dengan Senyuman".
Pada sore itu memang tidak ada pilihan yang bisa Miruna rekomendasikan kepada Iota. Namun, perempuan itu memilih jalannya sendiri dan mengabari Miruna lewat satu buah pesan bertuliskan demikian: aku memilih menyeberang, Runa. Thank you!
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top