[ 04 ] Dialectic!
04. Dialectic
Never thought of him as a friend, but I think he thinks otherwise – m.r.(s)
Proyek Silverstone akhirnya selesai setelah tujuh bulan waktu pengerjaan yang sempat membuat waktu liburan tahun baru tim kecil proyek itu sedikit berantakan. Juwita terpaksa membatalkan seluruh rencananya cuti dan berlibur ke Madrid karena ada beberapa proses negosiasi yang perlu dia selesaikan bersama seluruh tim demi selesainya transaksi pembelian 40% saham PT Antarnusa oleh investor dari Filipina. Sementara itu, Zain yang tidak memiliki rencana cuti dan liburan apapun diperbantukan untuk membantu Juwita yang sudah sedikit kewalahan. Miruna pun tak terlewatkan merasakan imbasnya. Dia terpaksa harus kehilangan tiket menonton beberapa penyanyi luar negeri yang sudah dibelinya dari jauh-jauh hari.
Walau demikian, di antara ketiga orang itu, Miruna tetap merasa dia yang paling beruntung. Bagiamana tidak?! Sejak hari di mana untuk pertama kalinya dia makan siang bersama Zain yang biasanya selalu makan bersama geng kantornya sendiri, Miruna merasa punya kedekatan yang berbeda dengan Zain. Cowok itu selalu punya pertanyaan yang menurut Miruna dapat membantunya mengenali diri sendiri.
Beberapa kali mereka makan bersama hanya berdua atau bersama Hans. Lebih sering mereka bertukar pikiran dan bekerja bersama hingga malam menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan di Proyek Silverstone. Zain memang irit bicara, namun setiap mulutnya mulai bersuara, Miruna merasa semuanya jadi lebih berarti untuk didengarkan.
Misalnya saja seperti sore ini ketika mereka sedang bersiap-siap untuk mengikuti acara team dinner yang diselenggarakan Pak Guntur untuk merayakan berhasilnya transaksi PT Antarnusa dengan investor dari Filipina. Juwita tidak mengikuti acara ini karena sejak kemarin, senior mereka itu sudah cabut ke Madrid menggunakan cutinya yang gagal digunakan saat tahun baru kemarin. Jadilah Zain dan Miruna berdua menjadi cungpret-cungpret di tengah Bapak Ibu Boss yang nanti akan datang ke acara itu.
"Lo bawa mobil, Za?" tanya Miruna saat Zain sudah menghampirinya di kubikel dengan keadaan sudah siap untuk berangkat.
Zain menggelengkan kepalanya. Lokasi apartemennya dekat dengan restoran tempat acara perayaan ini akan diselenggarakan, sehingga tadi pagi Zain memilih menumpang mobil kakaknya yang juga tinggal di gedung apartemen yang sama dan sedang punya urusan juga di gedung kantor Zain.
Miruna membalas, "Oke, kalau begitu kita naik mobilnya Toper. Tadi siang gue udah minta kuncinya, jadi kita nggak perlu ke tempat Toper dulu. Yuk, jalan!"
Keduanya keluar area kantor menuju lift. Seperti biasa, jika tidak ada topik yang terlalu penting dibicarakan, Zain dan Miruna selalu terperangkam dalam keheningan. Meski begitu, keduanya tak pernah ada yang terlalu ambil pusing. Belakangan Miruna semakin belajar menghargai hening dan memikirkan hal-hal sebelum kata-kata meluncur dari mulutnya – sejak mengenal Zain.
Pintu lift terbuka memecah keheningan mereka. Di dalam lift, suara denting dari mesin lift tadi seolah menjadi tanda bagi Zain untuk mulai bicara. "Lo udah kenal lama sama Toper, Run?"
"Dia teman kakak gue dari kecil. Karena jarak umur kita cuma beda dua tahun, gue dan Toper jadi teman juga. Lama-lama dia malah lebih dekat sama gue dibanding sama kakak gue. Waktu keterima FE UI, Toper juga salah satu yang menyemangati gue dan bilang kalau semua akan baik-baik saja. Kita berdua nggak suka finance pada awalnya, mungkin karena capek tumbuh di keluarga bankers. Setelah kuliah, Toper malah suka banget sama business dan finance. Dia bilang nggak mau jadi bankir tapi dia mau kerja di industri keuangan. Toper duluan masuk ke kantor ini. Gue sering lihat dia kerja keras, walaupun pulang malam – bahkan kadang pagi, tapi dia semangat banget. Jadi gue mau masuk SMF juga."
Zain menganggukkan kepalanya seolah bisa membayangkan. "Selama 23 tahun kalian bareng-bareng, nggak pernah ada rasa lebih?"
Mendengar itu Miruna sontak tertawa. "Rasa lebih banyak Zain. Lebih marah. Lebih geregetan, Lebih sebal. Lebih sayang. Sama aja kayak lo ke keluarga lo. Buat gue, Toper udah kayak keluarga. Dia juga kayak gitu ke gue."
"You sure? Berarti lo yakin nggak akan ada apapun terjadi antara persahabatan lawan jenis?"
Pintu lift terbuka membuat pembicaraan mereka sedikit terhenti. Ketika mereka sudah keluar dari lift, Miruna baru menjawab pertanyaan Zain. "Gue justru orang yang sangat percaya bahwa nggak bisa ada yang namanya persahabatan antar lawan jenis. Bullshit lah itu."
"Kasus lo dan Toper?"
Miruna memberikan gelengan kepalanya tanda tak setuju. "Itu, beda. Gue sama dia bukan teman atau sahabat. Kami keluarga. Mana bisa sih lo punya perasaan romantis sama keluarga lo sendiri."
"Interesting," ujar Zain.
"Gue nggak nyaman nih kalau lo udah mulai mengelurkan kata 'interesting' kayak argumen gue lo rendahkan gitu."
"Bukan begitu," Zain menyanggahnya, "pendapat lo itu memang terdengar menarik."
"Kalau lo sendiri tim cowok dan cewek bisa sahabatan atau gak bisa?" Miruna merasa mulai tertarik juga dengan topik asal ini.
Zain tertawa kecil. Hal yang sangat jarang terjadi dan sedikit membuat Miruna terkejut. Dia berusaha merekam momen kecil itu dengan sangat baik-baik dalam ingatannya. "Tentu saja bisa. Kalau nggak bisa, mana mungkin ada hubungan platonik kayak George Clooney dan Sandra Bullock yang ada selama lebih dari dua puluh tahun? Hubungan platonik itu sangat mungkin karena manusia punya kehendak bebas untuk menentukan jenis hubungan seperti apa yang akan dia mulai dengan orang lain."
"Gue lebih kaget lo tahu Sandra Bullock dibandingkan tahu kalau lo merasa hubungan platonik antar lawan jenis itu mungkin dilakukan," Miruna takjub dengan kalimat panjang yang cukup insightful dari Zain.
"I'm a big fan of Sandra Bullock and all my life I wish I was George Clooney," Zain bicara dengan sangat serius.
Miruna meledeknya, "Gue kira lo nggak mau cuma punya hubungan platonik sama Sandra Bullock."
"Memang! Karena kalau gue George Clooney, gue akan langsung bilang sama Sandra Bullock kalau gue cinta mati sama dia the minute I can't let her go from my life."
"That's so sweet," mata Miruna berbinar melihat kedua bola mata Zain yang juga berbinar dari balik lensa kacamatanya ketika membicarakan seorang Sandra Bullock.
***
Makan malam mereka berjalan lancar dan beberapa kali Pak Guntur memuji Miruna dan Zain sebagai cungpret dalam tim kerja Proyek Silverstone. Bos Miruna, Mas Arjuna dan Pak Paskalis juga beberapa kali memuji hasil pekerjaan Miruna dan Zain. Sayang Juwita sedang tidak ada si sana, kalau iya, Miruna yakin Juwita akan menerima lebih banyak lagi pujian karena berulang kali seniornya itu berhasil menghadapi permintaan para calon investor yang sangat beragam dan menyebalkan.
Saat acara berakhir, Pak Paskalis dan Mas Arjuna pulang lebih dulu bersama rombongan Pak Guntur sementara Miruna dan Zain berjalan-jalan sebentar mengelilingi area restoran yang dipenuhi banyak patung-patung dan lukisan antik karena sedang ada pameran yang diselenggarakan oleh firma kurator terkenal dan bekerja sama dengan beberapa restoran elit di Jakarta. Salah satu yang menyita perhatian Miruna adalah lukisan Salvador Dali yang berjudul Nude on the Plain of Roses. Lukisan itu asli melihat bagaimana restoran ini menempatkannya di pusat perhatian ruang lobi, terlindungi kaca yang nampak cukup tebal dan sistem keamanan berupa kamera CCTV serta alat kunci digital.
Lukisan berwarna nuansa coklat muda dan kuning itu menggambarkan bagian belakang seorang wanita tanpa sehelai benang menutupi tubuhnya yang sedang berbaring mengahadap ke horizon membayangkan kekasihnya di ujung sana. Tubuh Miruna seakan terhipnotis dan meneliti lukisan indah itu. "Bagus banget," bisiknya terpesona.
"Lo suka Salvador Dali?" Zain bertanya sambil memerhatikan lukisan di hadapannya dengan saksama mencari poin-poin indah yang bisa membuat perempuan di sampingnya kini terbius sedemikian rupa.
Miruna menganggukkan kepalanya. "Lo sendiri?"
"Gue tahu Dali karena dia salah satu pengikut Sigmund Freud. Waktu umur tiga puluh empat, dia ketemu untuk pertama dan terakhir kalinya sama Freud. Waktu itu Freud umur delapan puluh satu. Freud awalnya punya pandangan negatif tentang surealis semacam Dali, tapi sejak Dali datang ke tempatnya, dia jadi mulai mengubah pandangannya itu. Jadi, gue menyimpulkan bahwa Dali memang keren walau gue masih kurang bisa memahami sisi kerennya."
"Lo irit bicara tapi begitu bicara panjang, semua kata-kata lo kayak ensiklopedi ilmu, Za," Miruna menyemburkan begitu saja apa yang ada di kepalanya dan melupakan segala macam pelajaran mengenai berpikir sebelum berbicara yang sering dia pelajari kala berada di dekat Zain. "Sayangnya, lo nggak bisa melihat keindahan lukisan ini."
"Lo bisa? Coba jelaskan ke gue."
"Well, seperti yang sudah lo bilang tadi, Dali adalah seorang surealis. Lukisan ini juga beraliran surealis dengan tema nude painting. Hal yang paling menyita perhatian gue adalah pemilihan komposisi warna dari lukisan ini yang didominasi warna alam dan nuansa nude. Warna alam ada warna-warna dasar seperti biru dan hijau. Lalu komposisi warna nude-nya bergradasi dari coklat sampai emas. Horizon digambarkan jauh di sana mengaburkan sosok hero dari lukisan ini," wajah Miruna berpaling dari lukisan ke arah Zain begitu dia selesai dengan sedikit penjelasannya. "Udah cukup? Itu baru dari sisi artistik lukisan ini dan belum menyinggung aspek kultur yang ada dan latar sejarah kehidupan Dali waktu lukisan ini dibuat."
"Lo terlihat beda saat membicarakan art dan diskusi soal data keuangan Proyek Silverstone," Zain mengeluarkan komentarnya. Sedari tadi dia memang tidak terlalu memedulikan lukisan Dali. Hal yang menjadi perhatiannya adalah bagaimana begitu berbedanya Miruna saat dia mengerjakan pekerjaan kantor dengan begitu penuh beban dan saat menjelaskan mengenai karya lukisan Dali dengan penuh pengetahuan yang sepertinya tak ada batas. Dia sering menemukan orang-orang yang merasa terjebak dalam pekerjannya, tapi Miruna ini sekali lagi memang makhluk ajaib. Miruna bukan terjebak melainkan menjebak dirinya sendiri dalam belenggu yang juga dia buat sendiri.
Awalnya Zain kira Miruna mirip seperti dirinya. Manusia yang terjebak dalam kehidupan yang begitu membosankan dan berusaha hidup untuk menjadi pemenang dalam kehidupan membosankan itu. Ternyata, Miruna tidak demikian. Jika Zain selalu berusaha menjadi yang terbaik meski dunia itu bukan dunia yang dipilihnya, Miruna justru sebaliknya. Tahu karena dunia itu memang bukan untuknya, Miruna malah jadi tak melakukan apapun selain menjalani semua apa adanya. Walau dalam hati kecil Miruna, bisa tergambarkan jelas melalui aura bahagia dalam matanya, ada dunia lain yang masih menantinya dan seakan tak bisa tergapai lagi karena dia sudah terlanjur memilih dunia yang dipilihnya sekarang.
"Lo juga terlihat berbeda kalau sudah membicarakan hal-hal berbau filosofi," Miruna mengesampingkan ide yang ditawarkan Zain bahwa mungkin art memang adalah dunia yang harus Miruna kejar.
"Gue suka filosofi dan mempelajari hal-hal abstrak karena mereka bukan ilmu pasti seperti fisika atau matematika. Bedanya, gue cuma suka dan nggak menjadikan itu pusat kehidupan gue. Gue suka filosofi kayak orang suka nonton film action. Kalau lo, benar-benar terlihat punya minat lebih di art dibandingkan dengan keuangan – misalnya."
"Makanya gue akan bekerja keras sampai gue bisa punya kebebasan finansial untuk menentukan apa yang gue lakukan tanpa perlu peduli lagi dengan susahnya hidup karena nggak punya uang," Miruna memberikan senyumannya tanda ingin mengakhiri pembicaraan ini.
"Kenapa menghindar?" Zain mencoba meneruskan dan menolak mengakhiri karena dia masih merasa gemas dengan keadaan ini.
Miruna sedikit kebingungan. "Menghindar dari apa?"
"Dari topik ini."
"Gue nggak menghindar," Miruna mengelak, "di bagian mana gue menghindar?"
"Seberapa besar lo suka membuat karya seni, Runa? Lo biasanya buat apa? Lukisan? Patung? Kerajinan tangan?"
Miruna berpikir sejenak. "Lebih sering lukisan. Terakhir gue bikin beberapa gambar berwarna pakai pensil warna – sederhana banget – di buku gambar yang lo kasih sebagai kado natal."
"You happy?"
"I was."
"Jadi masalahnya apa? You can't do both?"
Pertanyaan itu bukan untuk dijawab saat ini dan mereka meninggalkan malam bersama Dali lewat dialektika yang belum dapat diselesaikan.
***
Weekend biasanya selalu diisi oleh Miruna dengan video call bersama Abangnya yang sedang merantau ke Singapura. Namun, kali ini Miruna bertandang ke rumah Christoper yang masih satu komplek dengannya. Timotius, adik Christoper membukakan pintu untuk Miruna. "Lo mau ketemu Koko? Dia lagi kerja di ruang makan, Run. Langsung ke sana aja."
Miruna menganggukkan kepalanya dan meringis. "Tahu aja sih gue ke sini mau ketemu sama Toper bukan sama lo. Kok lo nggak pernah kepikiran gue bakal ke sini buat nemuin lo, Mot?"
Timotius yang lebih sering dipanggil Moti oleh keluarganya dan keluarga Runa,berjalan ke arah ruang keluarga di mana televisi berada dan layarnya kini sedang menampilkan sebuah permainan strategi perang yang sedang booming saat ini. "Lo kan lebih sayang sama Koko daripada sama gue. Lagian, lo nemuin gue cuma kalau minta tolong ngebujuk Bang Ola karena Bang Ola lebih percaya sama gue daripada sama lo," jawab Moti malas-malasan.
"Itu mah Bang Ola yang lebih sayang sama lo dibanding sama gue!" Miruna diam-diam membututi Moti lalu dengan sedikit tenaga menepuk punggungnya. "Dasar! Perebut Bang Ola!" ujarnya diselingi tawa setelah berhasil menepuk punggung Moti yang sebetulnya tidak salah apa-apa. Cewek itu lalu berlari dengan cepat menghindari balasan Moti yang meski seumuran dengannya malah lebih dekat dengan Bang Ola – kakaknya satu-satunya.
Mengikuti arahan dari Moti tadi, Miruna berlari ke arah ruang makan dan berhasil menemukan Christoper di sana. "Toper, baby! Aku kangen!!" teriaknya sembari merentangkan tangan seakan ingin membawa Christoper dalam pelukannya.
Dengan satu kali tepis, Chirstoper berhasil menggagalkan usaha Miruna. "Lo kesambet setan alas di mana, Baby?" tanyanya dengan memberi penekanan pada kata 'baby' seolah kata itu sangat menjijikan.
"Gue mau konsultasi, Per. Lo dengarin cerita gue dong, please. Jangan kerja mulu, oke oke?!?" Miruna memohon dengan sangat.
Toper sedikit menggeser layar laptopnya menjadi posisi agak tertutup. "Sebelum lo cerita, gue mau cerita duluan. Ini agak darurat, Run. Kayaknya gue lebih baik disuruh ngerjain proyek prambanan untuk bikin candi dalam semalam, deh."
"Kok terdengar lebih krusial dibandingkan sama kasus gue?" Miruna menunjukkan wajah perhatiannya, "ada apa? Kalau sampai ternyata bercanda, gue potong-potong tangan lo jadi dua puluh bagian."
"Sadis banget, sis!" Christoper merinding mendengarnya. Dia lalu mulai membagikan kisahnya dimulai dengan, "Gue suka sama cewek, Run. Dia kayak dewi turun dari khayangan!"
"SIAPA?!" Miruna histeris mendengarnya, "Lo gue jodohin sama Juwita nggak mau padahal dia cantik banget. Gue tawarin cari yang lain lo masih nggak mau katanya nggak ada waktu buat pacaran karena harus balikin modal kuliah S2 ke luar negeri dari bokap nyokap! Kok sekarang tiba-tiba udah ada cerita lagi suka sama cewek?"
"Itu dia, Run. Rumit banget sampai gue coba dalami beberapa minggu ini. Gue coba timbang baik buruknya kalau gue melanjutkan perasaan gue jadi tindakan kayak pedekate gitu. Terus agak sulit juga karena ini cewek.... Duh gimana jelasinnya, ya," wajah Christoper kali ini sungguh menggambarkan keruwetan yang sepertinya ada di kepalanya saat ini.
"Siapa sih, Toper?"
"Your idol, Run," jawab Christoper dengan nada sedikit mengambang.
"HAH?" Miruna terlonjak kaget. "Maksud lo Iota Bintara?"
"Emang lo punya idola lain?"
"Nah! Karena nggak ada makanya gue memastikan lagi," Miruna kesal dengan tanggapan Christoper. "Kok bisa?! Terus rumitnya kenapa?"
Christoper menarik napasnya dalam-dalam lalu menghembuskan perlahan. "Ini off the record aja, Run. Lo tahu kan kerjaan gue apa?" Christoper menanyakan pertanyaann retorik sambil menjawabnya sendiri dan melanjutkan kisahnya. "Gue kerja di audit forensik, yang mana gue membantu klien gue untuk menemukan transaksi aneh yang merugikan dia di proses bisnis, operasional, dan investasi perusahaan terkait. Sekarang gue lagi kerjain satu proyek namanya Proyek Oppa. Jangan tanya gue kenapa dikasih nama Oppa, gue aja bingung dengarnya. Masa gue cowok tapi tetap nyebut Oppa – well ya udah deh bukan itu intinya. Intinya adalah Proyek Oppa ini pesanan seorang investor Australia dan proyeknya pun dikerjakan bareng tim rekanan SMF di Australia. Long story short, ada perusahaan Australia yang baru masuk ke Indonesia lewat salah satu perusahaan besar di sini. Perusahaan Australia ini punya reputasi yang bagus di Australia tapi kalau ditelusuri sebetulnya kemungkinan besar jaringan usahanya terlibat dalam jaringan mafia Asia yang berpusat di Hongkong dan Korea Selatan."
"Bentar... bentar," Miruna menyela cerita Christoper, "kok tetap jadi panjang. Inti dari semua ini tuh apa, Toper?"
"Duh, lo kok susah banget sih diajak berpikir dengan kerangka besar. Ya udah, inti dari inti semua ini adalah Proyek Oppa ini kemungkinan akan bersinggungan dengan bisnis keluarga Iota dan juga cowok yang lagi dekat dengan Iota namanya Joshua Hong," akhirnya Christoper memangkas cerita panjang itu menjadi satu rangkuman yang lebih cepat Miruna mengerti.
"Gila, Per! Kok kisah asmara lo kayak film-film action hollywood gitu? Hebat juga!" Miruna memberikan tepuk tangannya untuk kisah Christoper yang terdengar fantastis itu.
Christoper sudah memutar bola matanya, "Lo gue bunuh sekarang juga loh di sini biar ceritanya jadi lengkap ala film action hollywood."
"Maaf, Per. Sabar dong. Gue lagi memproses cerita lo nih di kepala gue. Jadi, sudah berapa lama lo mengerjakan Proyek Oppa? Pas kita ketemu sama Iota di Keembap waktu itu, lo udah mulai ngerjain Proyek Oppa?"
Christoper menganggukkan kepalanya. "Udah, Run. Gue sebetulnya mau ikut karena restoran Keembap itu salah satu restoran jaringan perusahaan Australia yang lagi gue selidiki ini. Perusahaan itu Hong Su Group, barangkali lo pernah dengar. Bulan lalu masalah ribet ini akhirnya masuk di beberapa portal berita keuangan. Investor Hong Su Group dari Australia mulai curiga dan mengumumkan secara official bahwa sedang dilakukan audit forensik untuk Hong Su Group dalam rangka perpanjangan komitmen penyetoran modal mereka untuk Hong Su Group. Kalau Hong Su Group nggak mau, investasi dari klien gue ke mereka bakal dicabut."
"Jadi mereka sort of cuci uang mafia dan membuat jaringan mereka di Indonesia, ya?"
Sekali lagi Christoper menganggukkan kepalanya, "Akhirnya lo nyambung juga diajak ngomong dunia keuangan, Run. Lumayan bangga gue jadinya."
"Sialan!" Miruna menendang kaki Christoper di bawah meja. "Terus yang bikin rumit adalah lo nggak bisa menjelaskan sama Iota kalau kemungkinan lo akan menghancurkan bisnis calon cowoknya dan bisnis keluarga dia sendiri, gitu?"
"Tepat sekali!" Christoper menjentikkan jarinya. "Iota ternyata tercatat jadi salah seorang yang menghadiri pertemuan pertama sebelum ada deal suntikan dana dari Hong Su Group ke Golden Greek Corp – perusahaan keluarga Bintara. Can you imagine, kalau sampai Iota tahu dia yang bawa masalah ke bisnis keluarganya."
"Atau kalau ternyata Iota adalah bagian dari jaringan mafianya Hong Su Group," Miruna menambahkan dengan pandangan yang merabun karena cukup kaget dengan kemungkinan bahwa idolanya adalah seorang antek-antek mafia Asia.
"Untuk yang itu gue udah bekerja beberapa bulan belakangan ini dan nggak menemukan jelas transaksi perbankan dan non-perbankan yang mencurigakan dari akun-akun dan aset bergerak yang dimiliki Iota."
"How did you that again?" Miruna masih selalu heran dengan tipe pekerjaan yang dilakukan Christoper meski sudah berkali-kali mendengar cerita beberapa proyek Christoper yang sudah selesai dikerjakan.
Christoper membalas, "Gue nggak ada waktu jelasin karena yang penting adalah menurut lo gue harus gimana soal Iota?"
"Jujur ya, Toper," Miruna kini menjadi lebih serius dari sebelumnya dan mencoba memusatkan arah fokus pikirannya, "kalaupun lo coba pedekate sama Iota, memangnya lo punya chance? Kayak yang lo bilang, bukannya dia kayak dewi gitu? Dia idola gue, loh. Gue nggak pernah sembarangan milih idola."
"Lo nggak lihat gue ganteng, manis, baik hati, lemah lembut, bertanggung jawab, dan dapat dipercaya gini, Run? Masa cewek ada yang nggak mau sama gue?! Nggak mungkin!" Christoper menjawab tak kalah serius.
"Juwita nggak mau sama lo," Miruna membalasnya dengan cepat.
"Itu karena gue nggak mau duluan sama dia!"
Miruna menendang kaki Christoper sekali lagi. "Senior gue jangan lo ledekin, Toper. Dia bibit unggul, loh. Lo harusnya merasa terhormat karena gue pernah memilihkan lo untuk jadi salah satu kandidat buat dia."
"Miruna, semua manusia itu sama di mata hukum dan di mata Tuhan. Nggak boleh lo bilang-bilang kayak gitu. Tobat, Runa, tobat!" Tangan kanan Christoper naik turun mengelus dadanya.
"Mending lo tobat duluan. Karena lo udah menggunakan gue supaya bisa lihat restorannya Hong Su Group, terus lo udah menggunakan koneksi gue juga jadi bisa kenal dan gue asumsikan sudah cukup dekat dengan Iota Bintara, apa lagi gue juga curiga lo tadinya nempel-nempel sama Iota buat urusan Proyek Oppa, kan? Mampus lo kena karma!"
"Damn, lo ada benarnya!" Christoper menutup wajahnya dengan gerakan kesal yang sangat memuncak. Dia sepertinya memang sudah sangat frustasi, "Kayaknya gue emang kena karma, Run."
"Terus karma lo juga jadinya nyerempet ke gue, Toper!" Miruna masih melanjutkan ocehannya. "Gue kena karma dari lo! Oh My God!"
"Apaan sih, Run?"
"Gue, Per. Gue kayaknya jatuh cinta sama adiknya Kak Iota. Sebetulnya mungkin udah dari lama, tapi gue baru sadar sekarang. Gue dekat sama dia emang nggak pernah seperti sama teman-teman cowok gue yang lain. Dia selalu berbeda dari awal di mata gue. Sekarang gue yakin gue jatuh cinta sama Zain, tapi karena karma dari lo, Zain kayaknya gak jatuh cinta juga sama gue. Sekarang gue harus apa, Per? Gue nggak mungkin tetap bersikap kayak gue temannya Zain. Gue nggak bisa, Per."
Christoper menepuk pundak Miruna. "Terima kasih sudah menemani gue menjalani kisah asmara ala hollywood ini dengan kisah asmara lo yang mirip drama korea."
***
ps:
SUMPAH SIH LUPA BANGET UPLOAD!!!! HAHAHAHAHHAHAA
Siapapun yang mengikuti cerita ini, makaci banyak dan maaf karena aku suka skip upload lol :'')
LOVE YOU!
xoxo,
mongs
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top