[ 03 ] Luncheon
03. Luncheon
That soup I ate on our first lunch was hot, but really, he was hotter – m.r.(s)
Pukul sebelas malam dan Miruna masih berkutat dengan laptopnya di kantor. Suasana kantor sudah mulai sepi mengingat hari sudah hampir berganti. Batas lembur orang-orang di grupnya paling mentok adalah di pukul sepuluh malam. Kasus-kasus khusus seperti Miruna saat ini tidak terlalu sering terjadi. Mata Miruna sudah memerah dan kepalanya sudah sangat pening.
"Kak," Miruna memanggil Juwita yang juga masih bekerja di hadapannya, "lo capek nggak sih? Gue nyesal deh tadi siang ngajak lo jajan minuman sama mutar-mutar toko buku terus nemenin Toper nyebat juga. Kalau tadi kita nggak main-main, mungkin jam sepuluh tadi kita udah kelar, ya?"
"Gue butuh jalan-jalan bentar sih tadi siang, Run. Ini memang deadline-nya aja yang agak kurang masuk akal. Zain udah kirim deck dan working paper dia belum, Run?" Juwita berhenti mengutak-atik angka di laptopnya sejenak untuk menjawab pertanyaan Miruna.
"Lo merasa nggak sih lo jadi lebih pemalas dan kurang produktif karena gue?" Miruna sekali lagi masih merasa bersalah karena sudah bermain-main di siang hari dan menghasilkan kerjaan yang belum selesai juga hingga malam hari.
Juwita menghela napas. "Lo ingat tadi kita muterin toko buku dan lama di depan gedung kantor bareng orang pada nyebat sama siapa? Sama Christoper teman lo yang hobi banget kerja dan kata orang di divisinya dia itu sangat amat produktif. Jadi, yang salah bukan kita jalan-jalan saat lagi butuh inspirasi tapi memang ekspektasi klien aja, Runa. Klien mengharapkan kita semua jadi manusia super kayak Chirstoper."
Mendengar itu, Miruna tertawa sebentar. "Lo nggak mau jadian sama Toper, Kak? Bibit bebet bobotnya Toper bagus, loh."
"Kenapa nggak lo aja yang jadian sama Toper? Kalian beda berapa tahun, sih?" Juwita kini memutuskan untuk mengobrol sambil tetap bekerja. Dia nggak ingin semakin lama terjebak di kantor hanya karena dia tidak mau mencoba melakukan yang namanya multitasking.
Sama seperti Juwita, Miruna juga terus mengobrol dengan tetap mengarahkan fokusnya ke latop yang sudah menampilkan beberapa laporan secara bersama-sama dengan membagi layar menjadi beberapa bagian. "Gue sama Toper beda dua tahun. Dia aslinya seumuran Abang gue, tapi jadinya lebih dekat sama gue. Eh, Abang gue malah lebih dekat sama adik laki-lakinya Toper, Kak. Aneh banget dunia. Mungkin gue sama adiknya Toper tuh putra-putri yang tertukar."
"Memang tanggal lahir kalian sama?"
Miruna menggelengkan kepala sambil menjawab, "Enggak."
"Dasar, absurd!" Juwita mendecak. "Eh, terus kenapa jadinya lo nggak jadian saja sama Toper?"
"Kan gue udah bilang tadi dia udah kayak kakak sendiri. Masa gue jadian sama kakak gue. Aneh banget."
"Di luar itu ada alasan lain?" Juwita terus menggali-gali tanpa Miruna sadari.
"Apa, ya?" Miruna menimbang-nimbang, "nggak ada sih karena nggak pernah kepikiran aja."
"Kepikiran apa?" Sebuah suara bergabung dalam pembicaraan nggak penting yang baru saja terjadi antara Juwita dan Miruna.
"Eh?!" Miruna terkejut karena Zain dengan badannya yang tegap dan terbalut kemeja biru muda yang sudah sangat berantakan ternyata sudah berdiri di samping kursinya. "Gue kira lo sudah balik, Zain?"
"Belum," jawab Zain singkat.
"Ada apa, Zain?" Pertanyaan dari Juwita menyelamatkan keduanya dari kecanggungan tanpa batas. Meski sudah dua minggu bekerja bersama, Miruna dan Juwita sependapat bahwa Zain memang bukan sosok manusia yang approachable.
Zain memandang Juwita dan Miruna bergantian nampak ingin memutuskan sesuatu. Kemudian, dia menggeser kursi kerja entah milik siapa mendekat ke arah Miruna. Dia kini sudah duduk di samping Miruna dan mulai membuka laptopnya yang sedari tadi dia dekap di tangan kirinya. "Gue mau memastikan check point. Deck gue barusan kelar," ujarnya.
"Kenapa nggak lo kirim aja lewat email?" Juwita bertanya sambil masih berkutat dengan laptopnya sendiri tanpa terlalu memedulikan Zain.
"Biar lebih cepat," jawab Zain tidak kalah tidak pedulinya jika didengar dari nada dan jumlah kata yang dia keluarkan,
Miruna mengambil napas panjang. Hari sungguh masih akan lama bagi pekerjaan mereka yang terasa mengerikan ini. "Besok mulai ada DD kan, ya? Kita kelarin satu deck terakhir ini terus napas sebentar boleh gak, gengs?" (t/n: DD adalah due diligence atau uji tuntas. ini adalah sebuah kegiatan yang dilakukan di mana perusahan memeriksa perusahaan lain yang akan dibeli)
"Kirim ke gue dong, Zain. Biar gue aja yang compile semua. Valuasi kita tadi sore udah di-approve sama Mas Arjuna. Deck lo yang ini sudah di-review sama Ko Felix belum?" kini akhirnya Juwita bisa meninggalkan fokusnya sejenak dari laptop karena managernya sudah memberikan persetujuan untuk perhitungan yang membuat mereka berhari-hari belakangan ini selalu pulang malam.
"Udah di-review tapi Felix minta tetap dilihatin sama Arjuna biar seragam sama yang biasa kalian kasih ke klien," Zain menjawab pertanyaan Juwita dan mengabaikan pertanyaan Miruna.
"Gengs, kalian dengar gue nggak, sih?" Miruna mengeluhkan dua orang yang saat ini ada di dekatnya namun tidak sedikitpun menanggapi ocehannya.
"Dengar tapi maksudnya nggak jelas," Zain menjawab tanpa filter sama sekali. Sebetulnya, jika kata-kata itu dikeluarkan oleh Juwita, Miruna tidak akan terlalu merasa terganggu. Sayangnya, mengingat Miruna dan Zain tidak sedekat itu untuk bisa meledek satu sama lain, Miruna merasa kata-kata Zain bukanlah dimaksudkan untuk bercanda.
Melihat wajah Miruna yang sudah tampak sangat kesal, Juwita langsung menahan tawanya yang hampir saja keluar. Dia masih ingat bagaimana juniornya itu selalu menyebut Zain jahat karena hanya berbicara hal-hal yang diperlukan saja – bahkan cenderung dingin. Sebetulnya masih setali tiga uang dengan Arjuna, tapi nada Zain memang terdengar sedikit lebih dingin dibandingkan manager mereka yang bersuara lembut itu.
"Oke, Za. Lo kirim aja lewat email, nanti gue yang akan kirim ke Arjuna buat dia kirim ke Pak Guntur. Anyway, karena besok sudah mulai DD dan untuk saat ini semua dokumen yang dibutuhkan udah kita upload ke dataroom, besok siang makan-makan untuk celebration kecil, yuk. Ini juga proyek divestasi pertamanya Zain, kan? Sebuah pencapaian, loh, dalam dua minggu akhirnya kita udah bisa memulai proses transaksinya juga sejak Zain join," Juwita menawarkan acara kecil untuk tim kecilnya ini.
"Boleh bawa orang lain, nggak?" Miruna bertanya.
"Gue bebas, sih. Lo gimana, Zain" Juwita melempar keputusan kepada Zain.
Cowok itu terlihat berpikir sejenak, "Boleh. Gue bawa orang lain juga, ya." Itu adalah pernyataan dan bukan pertanyaan. Serta dengan kalimat itulah mereka menutup malam panjang yang baru saja terlewati.
***
From: [email protected]
Subject: Invitation to luncheon @ Keembap
Toper, please kindly find attached a calendar invitation to have today's lunch with me & 2 of my team members. We will have the lunch at Keembap Ciranjang. Gue yang traktir jatah makan lo, jadi lo wajib datang.
See you!
Regards,
Miruna R. Sakradhara
Associate – Transaction
SMF Consulting // your best financial partner
Christoper melewatkan surel itu dari kotak masuknya membuat siang ini Miruna mendatangi kubikelnya dan sedikit membuat kegaduhan karena mengomel sambil menyelipkan beberapa kata umpatan dalam berbagai bahasa seperti "tak guna" dari bahasa melayu, "merde" dari bahasa Prancis, "uyu jinja" dari bahasa Korea dan masih banyak lagi umpatan lainnya. Baru setelah membuat Christoper menemukan kesalahannya, Miruna berhenti mengumpat.
"Duh, Runa, lagian kenapa lo nggak konfirmasi ulang tadi pagi sih pas kita berangkat? Tanya kek gitu, gue udah baca email dari lo atau belum. Inbox gue tuh banyak, Runa. Gue nggak lihatin yang nggak penting, lah," Christoper mencoba membuat pembelaan diri.
Miruna menghembuskan napas sengaja menunjukkan kekesalannya, "Oh, email dari gue nggak penting. Oke paham. Besok-besok gue kalau hubungin lo pakai telepati aja kalau begitu."
"Bagus juga ide lo, Runa. Boleh dicoba sekarang!" Christoper menaruh dua jari tengah dan telunjuknya ke masing-masing pelipis kanan dan kiri, "halo Runa, lo bisa dengar gue. Coba biarkan gue masuk ke pikiran lo. Oh, lo sudah memaklumi kalau email gue banyak dan gue skip email dari lo. Bagus! Oke kalau begitu biarkan gue kerja sekarang."
"Makan, Toper! Kerja mulu! Giliran jam tiga nanti baru turun cari snack sama nyebat ke bawah. Dasar orang gila," Miruna tidak mempan digoda dengan tingkah aneh Christoper, karena dia pun sama anehnya.
"Lo makan sama geng kita aja siang ini, Run. Kita mau makan ke kantin B2, loh! Lumayan murah meriah!" Amanda – salah seorang teman Christoper yang duduk tidak jauh dari posisi Miruna saat ini – memberikan ide lain pada Miruna.
Dengan satu senyuman Miruna membalas, "Gue hari ini lagi ada misi sendiri, Manda. Besok deh gue ikut geng kalian makan."
"Misi apa?" Chirstoper langsung menatap Miruna penuh selidik. "Eh, bentar-bentar. Tadi lo rencananya mau makan di mana?"
"Keembap, di daerah Ciranjang, Toper. Aduh!!!! Ayo, dong! Teman-teman gue udah pada berangkat. Nanti kita kesiangan keburu jam makan siang selesai," Miruna kini mengubah nada bicaranya dari kekesalan menjadi merajuk.
Satu nama restoran yang disebutkan oleh Miruna itu membuat Christoper mendadak jadi berminat datang ke sana. Tadinya dia sudah sedikit curiga karena tidak biasanya cewek ini mengajaknya makan siang bersama teman satu timnya. Walau kadang dia suka jajan sore bersama teman-teman satu tim Miruna, tapi bisa dihitung dengan jari momen Miruna mengajaknya makan siang bersama. Justru lebih sering Miruna yang ikut makan siang bersama dirinya dan grup kantornya karena pilihan makan siang teman-teman Christoper selalu jauh lebih manusiawi bagi kantong-kantong kacung kampret alias cungpret seperti mereka.
"Oke, gue ikut," Christoper memberi kepastian, "give me 5 minutes. Gue update kerjaan dulu sebentar."
***
Keembap adalah satu lagi nama restoran yang dimiliki oleh grup Hong Su selain Kotakota. Zain yang memberikan usulan agar mereka lunch bersama di Keembap. Tidak seorang pun dari mereka yang datang siang itu sadar bahwa Keembap sebetulnya dibangun oleh salah seorang anak keluarga Hong Su yang sedang dekat dengan Iota Bintara.
Seharusnya hari ini Zain memiliki agenda untuk lunch bersama kakak perempuannya itu dan ketika Miruna memberikan tanda bahwa dia ingin membawa seseorang, Zain merasa itu adalah kesempatan baginya untuk juga bisa menyatukan agenda makan-makan tim kecil kantor dengan acara makan-makan bersama kakaknya. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Efisiensi waktu, tenaga, serta biaya tentu saja.
Berhubung hari ini Zain ada meeting pagi dengan kliennya dari proyek lain di area dekat kantor, dia tidak berangkat ke Keembap dari kantor. Meski begitu, ternyata dia justru menjadi orang pertama yang sampai di Keembap. Tak lama kemudian Iota juga datang sendirian membawa beberapa botol jus ukuran sedang yang dia berikan kepada Zain. "Dari Mama, Za. Buat kamu katanya biar nggak sakit kerja sampai malam terus," katanya disertai sebuah senyuman yang dibalas dengan anggukan sekenanya dari Zain.
"Kita makan berdua aja atau ada orang lain, Za? Kok kamu pesan di meja untuk enam orang?" Iota sedikit kebingungan dengan penataan meja yang mereka tempati saat ini.
"Makan sama tiga teman kantorku, Kak," jawab Zain datar.
Iota menggelengkan kepalanya tanda tak setuju, "Kok kamu nggak bilang dari awal? Tahu gitu aku bawa jus lebih dari rumah buat teman-teman kamu. Kamu nggak ke sini bareng mereka."
"Nggak," sekali lagi Zain menjawab dengan datar. Dia melirik sebentar pada jam tangannya, "Kita pesan makanan aja, Kak."
"Teman-teman kamu gimana? Masa nggak ditungguin?"
"Pesan paket keluarga aja, Kak. Nanti ada semua paket keluar, mereka tinggal pilih." Zain menyampaikan idenya tanpa merasa perlu persetujuan dari Iota. Baginya itu adalah pilihan paling praktikal. Menu set keluarga di Keembap memang dirancang khusus untuk menghadirkan hampir seluruh menu yang ada dalam porsi kecil yang dapat dinikmati oleh seluruh anggota keluarga dengan sistem sharing.
Tak lama setelah Zain memesankan set keluarga untuk meja mereka dan Iota menambahkan pesanan minuman di luar paket untuk dirinya sendiri, Juwita datang menghampiri meja mereka. "Hi, Za. Sori banget telat tadi gue ada call sampai agak siang. Gue tadi udah suruh Miruna jalan duluan, sih. Dia belum sampai?"
"Belum, Ju. Gue kira lo bareng Miruna," Zain mencari sosok Miruna yang tak tampak sama sekali.
Juwita mengambil tempat duduk yang kosong di hadapan Zain dan menyisakan satu bangku kosong di antara dirinya dan Iota. Baru saat akan menaruh jaket yang dikenakannya ke bangku kosong, dia menyadari ada sosok Iota di sampingnya. "Oh, hai," katanya tanpa ada kesan canggung sama sekali, "temannya Zain?"
Menanggapi Juwita yang dengan luwes menyapanya, Iota mengulurkan tangannya untuk berkenalan dengan perempuan itu. "Hai, gue Iota, kakaknya Zain. Maaf adik gue sedikit socially awkard jadi nggak kepikiran untuk memperkenalkan kita berdua."
Gurauan Iota yang ringan itu mengurai tawa dan membuat suasana jauh lebih cair lagi, "Gue udah kerja dua atau tiga minggu gitu sama Zain. Jadi dengan tingkah dia yang kayak gitu, gue udah biasa, kok. Gue Juwita betewe. Nice to know you. Kalian udah lama? Udah pesan makanan?"
Iota menganggukkan kepalanya, "Udah, Juwita. Lo biasa dipanggil apa? Ta? Wi?"
"Juju aja, Iota. Beberapa manggil gue dengan sebutan itu."
"Kak Juju! Maaf terlambat!!" Baru saja Juwita selesai menyebutkan nama panggilannya yang kerap digunakan teman-teman di kantor, suara Miruna sudah terdengar mengkonfirmasi nama panggilannya itu. "Halo semua, maaf ya gue sedikit terlambat."
"Nggak apa, Runa. Lo bawa Christoper?" Juwita menggelengkan kepalanya tak percaya.
Miruna hanya tertawa kecil lalu segera mengambil posisi duduk di samping Zain yang dengan sengaja bergeser satu bangku membuat posisinya kini berseberangan dengan kursi kosong di antara Juwita dan Iota. Hal ini membuat Christoper tak punya pilihan lain kecuali menempati posisi bangku kosong di antara Juwita dan Iota.
Zain memerhatikan wajah cewek di sampingnya yang kini nampak lebih kegirangan dari beberapa saat sebelum ini. Entah apa yang ada di otak makhluk ajaib itu saat ini. Jarang Zain menemukan ekspresi seperti itu. Ada percampuran antara pandangan jahil yang biasa muncul dari kedua mata besar Miruna dan kegirangan yang terpancar dari kedua wajahnya yang agak tembam.
"Oh, Kak Iota?!" Miruna akhirnya menyadari keberadaan idolanya yang agak sedikit terpojok karena sedari tadi Miruna begitu fokus dengan misinya hari ini. Segera saja ekspresinya berubah menjadi sedikit canggung.
"Wah, kamu kenal aku?" Iota sedikit tersanjung karena ada teman sepergaulan adiknya yang mengenali dirinya meski mereka belum berkenalan. Kebanyakan teman dekat Zain sama sekali tidak mengenali sosoknya seolah eksistensi sekitar 2 juta pengikut Iota di instagram tidak pernah ada.
Sedikit ragu, Miruna menganggukkan kepalanya, "Aku follower Kak Iota dari beberapa tahun lalu. Ternyata yang Zain ajak hari ini Kak Iota. Tahu begitu aku bawakan salah satu buku fotografi travelling buatan Kak Iota buat dapat tanda tangan."
Mendengar itu Iota tersipu sebentar dan segera menutupinya dengan tawa kecil, "Nama kamu siapa, anyway?"
"Namanya Miruna dan nama gue Christoper. Salam kenal Iota Bintara, idolanya Miruna yang sudah berhasil membuat anak bandel satu itu mau kerja kantoran juga. Kalau hari ini gue bawa Mama Papanya Miruna, berani taruhan mereka bakal sujud-sujud kalau ketemu lo."
Baru mendengar itu saja, Juwita sudah tertawa lepas. Ini bukan kali pertama dia mendengarkan mengenai kisah absurd Miruna dalam memilih karirnya. "Toper, lo mending nggak umbar-umbar cerita itu, deh. Nanti Miruna ngamuk lagi."
Iota lekas mengibaskan tangannya. "Wah jangan kentang, dong. Gue mau tahu kenapa lo berani taruhan begitu, Chritoper?"
Cowok itu menatap ke arah Miruna sebentar dan bisa menemukan wajah Miruna yang sudah memerah entah karena marah atau malu atau mungkin keduanya. Satu hal yang pasti, temannya itu tidak mengeluarkan kalimat larangan apapun sebagai aksi protes.
"Alkisah," Christoper memulai ceritanya, "seorang manusia yang baru lulus SMA diterima di FE Universitas Indonesia yang kata banyak orang menjadi salah satu fakultas paling sulit dimasuki di Indonesia. Namanya Miruna. Saat itu Miruna menangis. Dia menangis bukan karena bahagia, melainkan karena berarti dia nggak akan diijinkan untuk mendaftar lewat jalur mandiri untuk masuk ke Fakultas Seni Rupa dan Desain alias FSRD ITB – kampus dan jurusan yang dia idam-idamkan. Padahal, dari kecil Miruna suka sekali dengan seni kontemporer dan bercita-cita jadi seniman terkenal di dunia. Mimpinya pupus dan dia menerima takdir kuliah di FE UI. Awalnya dia sedih dan setengah hati menjalani pendidikannya."
"Kasih jeda dulu, Bang," Juwita mengingatkan sambil menahan tawa mendengarkan nada bercerita Christoper yang sangat serius seolah ini adalah kisah fabel mendidik untuk anak-anak pra-sekolah.
"Betul juga!" Christoper menjentikkan jarinya. Sekitar setengah menit kemudian, dia melanjutkan kisahnya kembali. "Pada tahun terakhir dia harus menyelesaikan pendidikannya di UI, Miruna seperti mendapatkan pencerahan ketika melihat akun instagram milik Iota Bintara. Kata Miruna, 'Toper, ini kayak keajaiban dan jawaban semua doa gue ketika gue minta petunjuk. Gue sekarang udah tahu gue mau jadi apa setelah lulus.' Seorang Iota Bintara menginspirasi Miruna yang malas-malasan dalam belajar untuk bisa segera memiliki kemandirian finansial dan menjalani hidup sebagai full time traveler sebelum usianya 30 tahun. You, the very beautiful and smart Iota Bintara, did that. Orang tua Miruna yang sudah pasrah akhirnya punya harapan lagi pada anak bungsu mereka yang nggak punya bakat di dunia keuangan sama sekali ini."
"Are you for real?" Iota bertanya masih dikuasai rasa takjub. "Aku merasa tersanjung mendengarnya. Terus, kenapa pilih jadi konsultan?" Iota bertanya pada Miruna dan memandang tak percaya pada perempuan di hadapannya itu.
"Karena, Iota," Christoper masih memberikan jawaban seolah dia adalah jubir Miruna, "jadi konsultan adalah jalan tercepat mengumpulkan uang selain mencoba peruntungan praktik babi ngepet. Sebetulnya dua pilihan itu sebelas dua belas karena babi ngepet biasanya melakukan aksinya malam hari. Kalau jadi konsultan, kamu hanya perlu kerja dari pagi sampai pagi sampai umur kamu sekitar dua puluh delapan tahun untuk bisa bikin kamu punya kebebasan finansial setelahnya."
"Itu kalau lo nggak keburu mati duluan, sih, Iota," Juwita menambahkan informasi dari Christoper yang dirasanya masih kurang lengkap.
"Oh, I see," Iota menganggukkan kepalanya. "You know what, Miruna. Kayaknya kamu yang sekarang sudah meginspirasi aku. Really happy and feel really inspired setelah mendengar cerita tentang kamu."
Miruna tersenyum malu-malu. "Terima kasih, Kak Iota. Aku jauh lebih terinspirasi karena Kak Iota."
Zain hanya bisa menatap bingung semua hal yang terjadi di hadapannya siang ini. Sepanjang sisa waktu makan siang yang mereka lewati, Zain hanya bisa memproses beberapa fakta baru yang masuk di waktu bersamaan. Pertama, sepertinya Miruna dan teman laki-lakinya ini sudah saling kenal sejak lama. Kedua, Juwita kemungkinan besar juga sudah kenal lama dengan laki-laki bernama Christoper ini. Ketiga, Miruna ternyata tidak merasa keuangan adalah dunia yang ingin dia geluti hingga lama. Keempat, Miruna ternyata adalah salah satu dari 2 juta lebih sedikit pengikut akun instagram kakaknya. Kelima, Miruna sepertinya tidak hanya mengikuti akun Iota, tapi juga sudah menjadi bagian dari kultus pemuja kakaknya.
Jika acara makan siang ini diperpanjang hingga waktu makan malam nanti, rasanya Zain akan kehabisan sisa memori untuk memproses terlalu banyak fakta baru mengenai Miruna. Semuanya menjadikan Miruna semakin ajaib bagi Zain. Bagaimana mungkin manusia ajaib seperti Miruna ternyata terperangkap materi digital marketing seorang Iota Bintara – bahkan sampai membuat tujuan hidupnya berdasarkan ilusi maya dunia travelling yang disusun sedemikian rupa oleh kakaknya. Mungkin, justru keanehan itulah yang membuat Miruna terasa semakin ajaib di pikiran Zain.
Usai seluruh makanan di meja habis dimakan oleh kelima orang itu, Chirstoper mengajukan tawaran bagi siapapun yang ingin menemaninya merokok sebentar ke smooking room restoran ini. "Gue mau nyebat sepuluh menit nih. Ada yang mau join."
"Gue ikut," jawab Iota dan Juwita bersamaan dan dengan itu ketiganya meninggalkan Miruna dan Zain menuju ke smooking room.
Selama satu menit pertama hanya ada keheningan di antara keduanya. Miruna sedang memutar otak memikirkan topik apa yang bisa membuat Zain mengobrol dengannya lebih dari tiga baris kalimat. Dia kalah cepat. Zain sudah lebih dahulu melemparkan topiknya, "Lo nggak suka finance?"
"Ha?" Miruna agak kaget untuk beberapa detik. Baru kemudian dia berhasil dengan cepat mengolah keadaan di mana Zain tampak tertarik dengan sebuah topik, "Iya, gue diterima accounting dan orang tua gue senang banget. Keluarga gue latar belakangnya finance semua. Bokap di bank dan nyokap di NGO yang banyak mengurusi topik inklusi keuangan."
"Sounds interesting," meski hanya dua kata tapi suara Zain kali ini terdengar lebih hangat dari biasanya di telinga Miruna. Bisa jadi itu karena Miruna sedang kekenyangan sehingga otaknya tidak bisa bekerja dengan baik.
"Nggak akan menarik kalau dari kecil lo hidup dengan orang tua yang menjunjung tinggi kepercayaan bahwa cara tercepat hidup sejahtera adalah dengan bekerja di industri keuangan. Gue sebetulnya lebih suka bikin barang-barang seni dan melukis. Sayangnya gue keterima FE UI jadi gue nggak dibolehkan explore jurusan dan kampus lain sama orang tua gue."
"Jadi lo tersiksa waktu kuliah?"
Miruna menggelengkan kepalanya, "Anehnya gue nggak merasa tersiksa tapi nggak merasa enjoy juga. Paham nggak ketika lo merasa kehidupan lo memang harus berjalan aja kayak gitu. Jadi lo nggak punya pilihan lain kecuali menerima karena lo nggak tahu apa-apa lagi."
"Actually, Socrates once said, 'one thing I only know and that is that I know nothing'. Can you believe that? Socrates menawarkan pendapat bahwa ketidaktahuan adalah kunci untuk mencari kebenaran. Justru karena lo pernah nggak tahu harus melakukan apa dalam hidup, lo jadi harus terus mencari kebenaran mengenai purpose lo dalam hidup ini," Zain bicara dengan mata yang mengawang di balik kacamatanya seolah ada kumpulan awan dari jaman peradaban Yunani.
Melihat hal aneh yang baru saja terjadi di sampingnya, Miruna memajukan tangannya dan menempelkan sisi luar telapak tangannya ke dahi Zain. "Normal, sih. Sumpah gue kira lo tiba-tiba demam atau kerasukan filsuf dari zaman batu gitu, Zain. Ini masih Zain Bintara, kan?"
"Sayangnya, iya. Gue masih Zain," kini kedua alis Zain bertaut karena sedikit bingung dengan reaksi aneh Miruna.
"Lo suka hal-hal mengawang berbau filosofis sejenis Socrates tadi, Zain?"
Zain hanya mengangguk. "Pendapat dari Socrates ada betulnya, kan?"
"Iya, sih." Miruna menaruh ibu jari dan telunjuknya di dagu, "Gue jadi merasa salah sudah mengikuti kakak lo. Harusnya gue mengikuti Socrates. Mungkin nggak butuh sampai tahun akhir kuliah, gue udah bisa menemukan jawaban hidup gue."
"Waktu itu lo belum sampai di level pengikut Socrates," jawab Zain kembali pada nada datarnya.
Miruna sedikit kaget dengan panas-dingin perubahan mood Zain yang begitu cepat, "Kok lo judgemental. Dasar SJW!"
"Pengikut Socrates punya cara lebih benar kalau mau mempertemukan dua manusia. Namanya lewat dialog. Lo belum sampai level itu, kan?"
"Kelihatan banget, ya?" Miruna meringis kecil.
Zain menggelengkan kepalanya, "Gue cuma nebak. Jadi Christoper sama Juwita udah sejauh apa?"
"Sejauh mata memandang, Zain"
"Hah?" Zain memberikan tatapan bingungnya kepada Miruna yang sekarang sedang menatapnya dengan padangan aneh yang sekali lagi tidak bisa Zain olah dalam kepalanya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top