Chapter - 2.1

Ujian akhir semester berakhir. Tahun terakhir Chuuya di kelas dua, tahun terakhir Dazai di akademi. Tahun pertama dan terakhir untuk sebutan bersama di antara mereka.

Padahal Chuuya yakin bagaimana perasaannya yang menantang kehendak, tapi ternyata dia bukan apa-apa selain mainan sang bintang. Lalu dihempaskan untuk kembali tenggelam dalam laut yang tiap waktu ia banggakan dengan luka dan segala hal.

Peringkat satu. Dazai Osamu. Disukai dan selalu disukai.

Malam ini adalah yang terakhir. Akhir dari akhir sebagai perayaan perpisahan menuju malam natal dua hari lagi. Semua orang mengenakan pakaian bagusnya, gaun-gaun serta merta setelan bewarna elegan. Sementara Chuuya hanya pergi dengan kemeja merah dan rompi hitam. Topi di kepala dan choker di leher. Tidak butuh sebuah nuansa formal karena ia akan duduk lalu pulang.

"Nakahara," seorang teman memanggil. Tampak terpesona dengan lekuk pinggul penuh yang terlalu indah untuk seorang pria, tapi Chuuya tidak ingin membagi kehangatan malam ini. Ia akan berakrab ria dengan dingin bulan desember sebelum menjalani tahun baru beriring segala ketidakacuhan.

"Kau sibuk?" Sambung si teman yang sejujurnya Chuuya tidak ingat siapa maupun apa namanya. "Aku butuh bantuan di ruang siaran."

Nakahara Chuuya menghela napas dalam sukma. Ia hanya ingin duduk, larut dalam lantunan lagu rohani dan pulang berteman rasa sepi berharap dapat sedikit mengobati patah hati. Bibir Chuuya hendak menolak, jika saja tidak tampak sebuah wajah merah hati berbingkai helai coklat kopi. Mata carnelian yang menatap padanya dalam sebuah pertemuan kejap.

"Akan kubantu," Chuuya berkata demikian dan berjalan duluan. Berpikir lebih baik sendiri di ruang siaran atau mungkin berdua— terserah yang penting tidak satu ruangan dengan Dazai Osamu.

Di ruangan itu ada beberapa orang yang Chuuya juga tidak ingat siapa. Mereka duduk di bangku-bangku depan meja tombol kendali entah apa. Chuuya berdiri, menatap balik jendela kaca yang lebar dan tanpa sengaja mencari dimana sosok brunette yang kemarin begitu ia senangi. Buru-buru Chuuya membuang muka sebelum menemukannya.

"Aku tidak pernah mengurus hal seperti ini."

"Yah, tapi semua orang selain kelas tiga punya klub dan mereka juga harus melakukan perpisahan. Hanya kau yang senggang."

Oh.

"Apa tugasku?" Ia bertanya sebagai keharusan.

"Di sini, untuk pemutaran lagu perpisahan ketika semua bubar." Bibir Chuuya bergetar ketika mendengar kata itu. "Tekan yang ini, lalu ini untuk memutar dan ini untuk volume."

"Itu saja?"

"Ya. Karena di akhir kami akan memberi salam sebagai panitia jadi tidak ada lagi orang di sini. Tolong ya?"

Kalau itulah masalahnya, kenapa tidak nanti saja ketika mereka harus memberi salam perpisahan. Chuuya tidak menyukai kesepian ini. Tapi rasa-rasanya, lebih baik dari ruangan ramai di depan sana. Sebuah jendela kecil di bagian atas menatap langsung ke langit. Biru gelap. Penuh bintang. Dan Chuuya menyukainya lebih dari gemerlap cahaya jingga yang penuh di ruang seberang kaca.

"Kau bisa kembali ke tempat dudukmu dulu, aku akan panggil jika waktunya sudah dekat." Tawaran itu dibarengi sekaleng coklat hangat sebagai penghilang balas budi, Chuuya menerima dengan senyum dan berkata, "Tidak apa. Aku di sini saja, panggungnya terlihat lebih jelas. Boleh, kan?"

"Tentu." Ingin sekali Chuuya bertanya bagaimana bisa orang ini menyapa tanpa maksud. "Kau pasti tidak kenal aku, kan?"

Tertegun. Chuuya melirik ke sebelah dan tertawa renyah. "Maaf."

"Seperti kata Dazai-senpai," ada gelak yang keluar dan sebuah ejekan tak kasat mata. Chuuya hendak menangis namun tangannya mengepal ingin sekali memecahkan kaca di sana.

"Apa yang dia katakan?" Basa-basi.

"Kau sombong dan berlagak seperti tidak membutuhkan orang lain." Kalimat itu diakhiri dengan nada tanya walau bukan berupa pertanyaan.

Chuuya hanya membentuk senyum dan kembali melihat panggung.

"Jangan salah sangka, aku tahu kau anak baru jadi mungkin masih sulit bagimu beradaptasi. Apalagi masuk dua bulan sebelum ujian dan orang-orang sudah sibuk dengan urusan akhir klub mereka." Sungguh Chuuya tidak butuh pengertian itu. "Ngomong-ngomong namaku Tachihara."

"Aku Chuuya."

Pemuda bersurai tembaga itu tertawa. "Aku duduk di sebelahmu," dan kalimatnya sukses membuat Chuuya menyahut. Tidak percaya, tapi ketika ia membongkar ingatannya, benar sekali anak ini adalah orang yang duduk di sebelahnya. Chuuya pernah menatap beberapa kali karena wajahnya manis. Tapi hanya sebatas itu.

Terkadang ia mengajak Chuuya ke kantin sebagai sarat teman sekelas yang baik, tanpa memikirkan Chuuya ingin ikut atau tidak. Atau terkadang basa-basi bertanya pekerjaan rumah.

"Maaf, aku baru ingat." Jujur Chuuya mengelus kepala belakangnya. "Tachihara Michizou, kalau tidak salah?"

Astaga. Bersyukur sekali rasanya memiliki ingatan kuat dan pernah membaca nama di buku tulis orang yang disebut.

"Iya, salam kenal kalau begitu ya." Pemuda itu meneguk minumannya, lalu kembali berbicara tanpa ketertarikan pada ceramah pastur di bawah sana. "Kau tahu, aku melihatmu saat bertengkar dengan Dazai-senpai."

Chuuya pikir ia bisa tenang jika berada di sini. Chuuya pikir ia bisa tetap diam dan menatap sepetak jendela yang begitu gelap dan berhadapan langit mendung. Tapi ternyata si brengsek Tachihara sok ikut campur.

"Bukan urusanku, tapi aku agak tidak tega."

"Aku tidak perlu belas kasihmu, Tachihara Michizou." Kalimat itu meluncur dingin dari mulut Chuuya sampai ia sendiri menyesal karena memperlihatkan sisinya yang culas dan buas pada pemuda manis yang adalah tetangga di kelas. "Lupakan itu.."

Tachihara diam, tidak nyaman, namun ia seperti menahan sesuatu karena terus menerus menatap Chuuya seakan mulutnya begitu terdesak ingin mengucapkan sebuah kata.

"Dazai-senpai berbohong untukmu, kau tahu?"

Sekali lagi Chuuya tertegun. Karena Tachihara berbicara tiba-tiba, dan karena perkataan sangat tidak terduga. "Apa yang kau bicarakan?"

"Sebenarnya bukan urusanku tapi aku merasa bersalah padamu," Tachihara tidak akan mengatakan bahwa ia melihat para gadis melucuti tas Chuuya dan mengambil catatannya. Tachihara melihat, ia berada di sana, tapi begitu kaku dan tidak bisa melarang mereka membasahi buku itu lalu melempar ke tong sampah. Tachihara tidak akan mengatakan dosanya, ia hanya ingin memperbaikinya.

"Dazai-senpai mungkin berpikir, apa yang akan terjadi padamu jika orang-orang tahu kalian bersama. Maksudku, kau tahu, Dazai-senpai punya banyak penggemar mulai dari yang santai sampai ekstrem."

"Aku tahu," Chuuya tidak menjawab kalimat terakhir. Ia tahu Dazai melakukan itu, segala hal, karena ia peduli. Karena Dazai takut Chuuya terluka dan dengan peduli itu pula dia menyakitinya. Chuuya tidak butuh perlindungan seperti itu.

Pengkhianatan yang ia maksud adalah karena Dazai pengecut dan membuat hatinya terluka.

"Si bodoh itu tidak tahu bagaimana jatuh cinta," tanpa sengaja bibirnya berucap.

Tapi Tachihara tertawa rendah.

"Dia tidak pernah benar-benar mencintai seseorang. Jadi ketika mencintaimu dia linglung."

"Kebodohan," Chuuya tetap membencinya. "Kau hanya ingin mengatakan itu padaku, Tachihara Michizou?"

Punggung bergedik, Tachihara tidak sengaja meluncurkan sebutir keringat imajiner di pelipis. Memang benar Nakahara Chuuya ini seperti es sewarna mata safirnya.

"Ya, itu saja." Ia kembali bersandar di kursi. "Aku cuma mengatakan apa yang akan membuat hatiku lega, jadi kuharap kau juga melakukannya. Tidak ada orang yang ingin menjalani natal dengan patah hati, kau tahu?"

TBC

16 Maret 2021
SeaglassNst

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top