Chapter 1.6

Nakahara Chuuya memiliki seorang kekasih. Sangan dicintai, lalu menyakiti. Menimbulkan pedih yang tidak kunjung pulih sampai menjadikannya kanvas yang memang tercipta untuk dinodai warna-warni nafsu dan birahi.

Cinta itu konon begitu dalam. Dengan seorang pria dengan manik mata sewarna dunia, senyum seperti rembulan, dan selalu membuat Chuuya menghamba pada kasihnya. Ia terlalu percaya bahwa seluruh perhatian dan empati adalah murni namun tidak.

Bulan tidak pernah punya cahaya.

"Kau pikir aku mau berkencan dengan laki-laki?" Adalah kata-kata yang tidak akan pernah Chuuya lupakan sejak entah kapan hatinya pecah. "Kau cuma cantik, bukan berarti aku benar-benar ingin memacarimu."

Nakahara Chuuya kehilangan seluruh semangatnya pada romansa. Bermain-main dengan gairah. Pelarian. Mencari tahu apabila tubuh yang indah ini rusak, apa masih ada yang ingin mencintainya?

Pengarungan Chuuya untuk mencari jawaban terlalu lama sampai ia sendiri lupa pada tujuannya. Berakhir dengan menjadi barang bergilir atas dasar pesona, lalu membuang semua kata cinta karena trauma. Itulah Nakahara Chuuya yang takut pada dunia— sampai di dalam lamunan bimbang Dazai Osamu mengusap kepalanya dan berkata, "Jangan dipikir lagi, percaya saja padaku."

Chuuya tidak mengerti apa-apa tentang dirinya yang menutup mata, lalu percaya. Percaya pada Dazai di sebuah sofa ruang keluarga, dengan selimut yang diberi Dazai menutup pundaknya, di saat Chuuya begitu hilang karena hubungan mereka yang ternyata sangat dalam walau begitu singkat.

"Apa yang akan terjadi jika ternyata kau mengkhianati kepercayaanku?" Penuh ragu Chuuya bertanya. Bukan menguji melainkan meyakinkan dirinya sendiri untuk tidak mengalami patah hati yang sama kedua kali.

"Aku akan minum racun."

"Bodoh." Kematian terlalu mudah bagi mereka yang membuat hati Chuuya terluka. Dia tidak butuh pengorbanan nyawa, dia butuh sebuah kesetiaan.

"Aku akan minum ramuan cinta," mata Chuuya mendelik tanpa cahaya. Menatap senyum penuh keyakinan Dazai yang menampilkan sederet gigi putih berbaris rapat. "Dengan begitu aku akan terus mengikutimu."

"'Mencintai,' maksudnya?"

"Kukira Chuuya tidak suka kata itu."

"Aku bukan tidak suka," denting mug yang terangkat dari permukaan meja kaca memecah sunyi, Chuuya menghela sebuah napas yang mengembunkan uap panas di udara. "Kata itu membawa kenangan buruk."

"Kenangan ya kenangan, aku adalah sekarang."

Jawaban Dazai secepat angin musim dingin. Seakan ia tidak memikirkan perkataan Chuuya, seakan ia telah memikirkannya dan benar-benar siap. "Lalu bagaimana? Kau percaya?"

Chuuya tidak pernah menjawab pertanyaan itu, namun jauh di dalam dirinya ia telah melakukannya. Sejak mereka makan bersama di restoran keluarga dan berbicara tentang taman angsa. Chuuya tahu bahwa ia telah mempercayai Dazai, bahwa ia telah membiarkan seluruh hukum lautnya hancur diterjang ombak, dan bahwa ia melakukan sebuah dosa.

Mencinta.

Diam-diam Chuuya tersenyum jika memikirkannya.

Di tangan ada sebuah mug dengan pusaran coklat panas, seperti mata Dazai dan Chuuya menyadari bagaimana berubah bentuk hatinya malam ini. Lebih cerah dan lebih kuat karena ia mencoba berani untuk berbagi beban dengan hati yang lain.

"Ramuan cinta," Chuuya mulai bergumam ketika Dazai menjauhkan mug itu agar bisa menarik Chuuya berbaring bersama. "Darimana?"

"Entah," ucap Dazai. "Siapa yang peduli? Toh aku tidak akan berkhianat."

"Heh..." Dengusan itu penuh rasa gusar, tidak sebanyak keinginan Chuuya untuk percaya dan membuka peti cinta yang terlalu kusam dan penuh arang gairah.

"Kau mau menginap?" Dazai membelai puncak kepalanya, "Besok hari terakhir minggu belajar. Mau bolos lagi tidak?"

"Kau benar-benar suka memberi pengaruh buruk pada kohai-mu ya, Dazai-senpai."

"Aku cuma tidak mau merusak suasana dengan berkata sebaiknya kau pulang... Walau rumahmu dekat dan hanya beberapa stasiun dari sekolah, tapi dari sini jauh." Dengan santai Dazai mengelak lalu mengalihkan topik, "dan sebaiknya panggil aku tanpa '-senpai',"

"Hmm...."

"Ayolah..." Pelukan melingkar manja di perut Chuuya seakan Dazai lupa bahwa jam akan menunjukkan pukul sembilan dan tergolong larut untuk naik kereta. "Dazai, begitu. Dazai. Atau Osamu—"

"Dazai," Chuuya membalas dengan mata yang terpejam karena rasa nyaman. "Osamu."

"Oh—"

"Dazai saja."

Dazai kehilangan euforia dan diam.

X-x-o-x-X

Teringatnya Dazai mengantarkan Chuuya sampai stasiun. Memberi kecupan di bibir dan Chuuya melambaikan tangan sambil berkata, "Jangan keluyuran, Dazai!" Lalu Dazai berbalik padanya untuk satu pelukan menyiksa yang diakhiri tendangan pada tulang betis.

Lucu sekali mereka pagi ini. Karena jika biasanya hanya ada lirikan singkat, maka kali ini Dazai berhenti dan menyapa canggung. Karena sejujurnya ia ingin menyentuh Chuuya, tapi sangat takut membayangkan perlakuan seperti apa yang akan ia terima dari para penggemar yang ternyata tidak begitu membanggakan.

Andai mereka tidak ada, Dazai pasti sudah menarik Chuuya ke atap untuk bercinta di bawah terik matahari bulan desember.

"Dazai-kun!" Panggilan itu datang dari Sasaki-sensei, guru pembimbing klub drama yang sedang sibuk mempersiapkan pentas seni untuk hari natal dan tidak memikirkan ujian akhir semester yang akan datang.

"Sasaki-sensei, ada apa?"

Sejujurnya, jika dikupas lebih dalam, Dazai pernah memiliki hubungan dengan wanita ini. Hubungan terlarang yang singkat karena demi apapun Dazai bodoh dalam pelajaran berpuisi maka ia gunakan gairahnya untuk mendapatkan nilai yang tinggi. Benar-benar cara mudah.

Beberapa kali seks yang tidak sengaja malah membuat sang guru jatuh cinta tapi Dazai menolak dengan alasan tidak bisa bersama. Mengingatkan lawannya tentang karir-karir dan citra terpandang, lalu perlahan mundur dan menghilang. Hubungan mereka berhenti. Dazai kembali menjadi murid yang bersyukur karena puisi hanya dipelajari di kelas dua.

Tapi sayang, sepertinya wanita itu tidak terlalu menyukai jarak yang ada. Pada awalnya ia menerima, karena ia memiliki tunangan seorang dosen matematika universitas. Tapi beberapa bulan kemudian mereka batal menikah entah sebab apa dan dia kembali mengejar Dazai dengan cara yang begitu halus.

"Bantu aku membawakan ini ke ruang drama." Wanita berambut hitam legam itu menunjuk tumpukan naskah-naskah drama klasik yang selesai dipelajari. Penuh sial karena tidak sengaja Dazai lewat di depan kelasnya dan terjebak tanpa bisa menolak karena seluruh siswa tengah beranjak ke audiotorium untuk pengarahan sebelum ujian.

Mau tidak mau Dazai mengangkatnya. Menjawab basa-basi yang diiringi percakapan cerdas dan senyuman manis. Ah, Dazai rindu Chuuya.

Ruang drama berada tepat di belakang panggung audiotorium, dan dengan sepersekian detik di dekat pintu, Dazai bisa menangkap sosok bersurai jingga duduk di salah satu bangku. Mata mereka bertemu, dan Dazai tersenyum. Ingin melambaikan tangan tetapi terhalang kotak.

Chuuya melihat senyum itu dari jauh, membalas dengan lambai singkat dan dengan itu saja Dazai sudah merasakan senangnya berpacaran.

Benar-benar, ia ingin mencium pipi Chuuya.

"Bisa bantu aku menyusunnya?"

Padahal Dazai sudah berada dekat dengan pintu. Padahal ada beberapa siswi yang duduk-duduk tanpa kerjaan di ruangan itu.

"Apa kamu sibuk?" Sasaki bertanya lugu. "Kalau diingat-ingat, tadi kamu tersenyum pada seseorang di bangku, apa dia sedang menunggumu?"

Dengan kalimat yang memiliki niat memancing kerusuhan itu, orang-orang mulai melirik ke arah Dazai.

Dazai sudah bisa menerka-nerka bagaimana rumor yang akan tersebar jika ia mendeklarasikan kisah cintanya dengan Nakahara Chuuya. Karena ini pertama kali Dazai terlibat dalam perundungan, terlebih lagi dia adalah si pemicu, dan kekasihnya adalah korban. Bukan waktu yang tepat untuk memberitahukan dunia.

"Tidak juga," katanya dengan senyum lembut seperti biasa. "Apa yang bisa kubantu?"

Beberapa gadis berteriak dalam hati mereka, berusaha menawarkan diri sebagai pendamping walau Dazailah sang kuli.

"Dazai-senpai, apa kenal dengan Nakahara Chuuya?"

Hampir saja kardus di tangan terjatuh. "Dia partner belajarku kali ini."

"Ah, Nakahara-kun? Dia mahir sekali dalam puisi dan drama. Aku jadi ingin memintanya masuk klub." Sasaki berbicara girang. Ceria sengaja memanggil orang-orang untuk tertarik dengan nama murid baru manis yang ia ucap. "Seperti apa orangnya?"

"Apa Dazai-senpai berkencan dengannya?"

"Kencan?" Dazai terhentak dengan kalimat itu. Mereka memang bercinta, banyak, dan Dazai yakin semua orang sudah menerka bahwa mereka melakukannya. Tapi bagaimana dengan kencan? Tidak. Itu hal berbeda dan mereka baru saja sah kemarin malam.

"Kalian bolos berdua kemarin, kan?"

"Ya ampun... Tidak boleh loh seperti itu."

Dazai tidak menyukai kondisi ketika ia menjadi pihak yang disudutkan dan tertekan. Ia ingin sekali mengatakan pada orang-orang di sini bahwa, "Ya. Kami berkencan. Chuuya milikku. Jauhi dia!"

Tapi sekali lagi. Mereka bukanlah orang baik yang akan menghargai, namun saingan satu sama lain. Terkadang Dazai benci kenapa dia menjadi begitu popular dan disukai.

"Aku tidak terlalu menyukai anak itu," ucapnya demikian sehingga orang-orang menyimak. Membayangkan jikalau Chuuya mendapati tumpahan coretan sumpah serapah di meja atau paku di sepatu, Dazai melanjutkan, "Dia terlalu sombong bagiku. Kalian lihat sendiri bagaimana dia diam dan berlagak paling pintar dan tidak butuh siapa-siapa?"

Mungkin kelewatan tapi Dazai tidak bisa berhenti sekarang karena orang-orang mulai menyetujuinya. Ia ingin menantang sendiri ucapannya dan berkata bahwa sebenarnya Chuuya tidak seperti itu, malah sebaliknya. Hangat dan manis. Tapi jika Dazai membela, maka akan ada pertanyaan lain yang timbul karena keraguannya sendiri.

"Aku beruntung karena dia jadi partner belajarku," menutup fakta bahwa itu rencana Fyodor. "Aku bisa dekat dengannya untuk memberi sedikit pelajaran."

"Jadi kau tidak berkencan dengannya?"

Gadis ini benar-benar banyak tanya.

"Aku tidak tahu darimana rumor berkencan itu. Tapi aku dan dia biasa saja. Aku mendekatinya karena ingin membuatnya sadar, selain itu dia juga indah." Kalimat terakhir dicetuskan dengan aroma canda dan orang-orang ikut tertawa. "Bagaimana bisa aku jatuh cinta pada laki-laki yang baru kukenal seminggu?"

"Iya juga," atmosfer penuh rasa penasaran hilang karena Dazai memberi jawaban yang sangat mereka inginkan. Dengan ini maka berakhirlah ketegangan dimana Dazai bisa meletakkan satu kardus terakhir di atas meja, lalu permisi hengkang.

Kelegaan memenuhi hati ketika ia keluar dari pintu. Namun segera hilang karena melihat Chuuya ada di sana.

Menatapnya dengan raut kecewa.

"Chuuya?"

Astaga. Bahkan tanpa kata-kata, Dazai tahu Chuuya mendengar semuanya. Kesalahpahaman.

"Hei, dengar, yang tadi itu."

"Pengkhianat."

Langkah Dazai berhenti memangkas jarak. Satu kata itu adalah kutukan yang membuat seluruh waktu dan jantungnya berhenti. Karena satu tetes air mata yang Chuuya seka di pipinya sendiri.

"Memang seharusnya aku tidak pernah percaya pada siapapun."

"Chuuya, dengar dulu. Aku punya alasan."

"Tentu," katanya, "Jadi karena aku indah." Bukan pertanyaan. Chuuya membuat kesimpulan yang mengutuk seluruh kebodohannya. "Tentu saja."

Siapa yang rela mati tenggelam, sendiri, kedinginan, dan kehilangan segalanya di dalam hati yang sedalam samudra. Semua orang hanya menyukai permukaan. Ombak berkilau serta hangat matahari. Tidak ada yang ingin menerangi kegelapan di dasar.

"Sepertinya aku terluka lagi, Dazai-senpai."

Mata itu adalah mata penuh putus asa yang Dazai lihat sore kemarin. Ketika Chuuya ingin melakukan segalanya untuk melupakan rasa luka. Luka yang disebabkan oleh Dazai dengan kata-kata dan kepengecutan.

"Chuuya, kau berjanji untuk memanggilku Dazai."

"Dan kau berjanji untuk mencintaiku."

"Aku mencintaimu."

Hh..

Chuuya mendengus. Mengangkat satu sisi bibirnya untuk melawan tumpahan air mata yang terbendung di permata yang berkaca-kaca. "Kau simpan saja cintamu itu," ia menghina, "Jangan beri padaku, Dazai-senpai."

Lalu pergi.

Part I
END

5 Januari 2021
SeaglassNst

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top