Chapter 1.3

Dazai ingat ia meletakkan Chuuya yang setengah pingsan di sebelahnya dan terlelap bersama dalam satu balutan selimut. Namun ketika mata terjaga, sosok itu tidak lagi ada. Buku yang tadi hendak dibaca namun belum terbuka, kini entah berada di mana karena permainan mereka yang seperti makhluk liar.

Pukul empat sore, setelah beberapa putaran panas dan tidur lelah yang lelap, Dazai merapihkan segala hal dan mengambil ponselnya.

"Bolos jam bimbingan itu pelanggaran, Nakahara Chuuya."

Mengesampingkan sebuah kenyataan di balik cangkang sifat lugu senja itu, Dazai Osamu mencoba memasang sebuah jebakan kecil yang ia yakin Nakahara Chuuya pun sudah tahu. Meski demikian masih Dazai berikan, dan masih Chuuya terima.

"Apa hukumannya, Senpai?"

"Besok di ruang klub sastra. Sebelum bel sekolah."

—Benar-benar adalah besok di ruangan klub sastra sebelum bel sekolah.

Sebuah senyuman yang dibalas wajah lugunya. Topeng manisnya. Dazai ingat ia mendesahkan namanya pertama kali ketika Dazai mencumbu dan menghukum.

"Sampai bertemu pulang nanti."

Dazai tidak bertukar pandang dengan Chuuya sekalipun setelah itu. Ia tidak mengingat Chuuya sekilaspun seharian itu. Hanya sebuah janji, dan setelah bel pulang selesai, Nakahara dengan kontras merah tomat memeluk Dazai yang berdiri di sebelah ruang sastra.

"Lepaskan," katanya dan Dazai tersenyum ketika lenguh menjadi lanjutan. "Senpai— aku tidak suka hh..."

Tubuh Nakahara Chuuya diangkat dalam gendongan, diletakkan pada meja di tengah ruangan dan segera Dazai menarik turun celananya. "Tidak suka tapi kau setegang ini?"

"Senpai—" Bibir Chuuya bergetar. Ia tidak pernah melakukan sesuatu seperti seharian disenggama vibrator yang kontrolnya dipegang orang lain. Lalu inilah Dazai Osamu yang hadir untuk memberinya kali pertama berkeringat dan berdebar menjaga ereksi di sepanjang jam kelas termasuk pula ketika istirahat. Antara takut perih dan nikmat, antara marah malu dan berterimakasih.

"Aku tidak suka," tetapi tetap berkata sedemikian rupa sambil menarik paksa tali yang menjulur dari analnya. "Aku tidak suka mainan. Berikan aku yang asli."

"Heh."

Tarikan erat pada jahitan di pundak gakuran, Dazai merasa wajah itu begitu erotis ketika tiga jari menyusup ke dalam liang basah. "Kau melakukannya seperti ini yang pertama."

Chuuya menunduk dalam, berusaha memeluk erat namun Dazai menjaga jarak agar dapat melihat geliat bibirnya yang menahan erang. Gelitik pada otot lalu tusukan di sana begitu menggugah sampai kaki Chuuya terbuka semakin lebar. Menanti dimana jarum jam akan berhenti karena Dazai memberi Chuuya sebuah kenyataan.

"Senpai, kumohon.." Pintanya.

Melihat gelagak hasrat, Dazai menurunkan resleting dan Chuuya mengambil posisi memeluk pundaknya. Tidak seperti di sebuah pagi dimana ia mengendarai Dazai seperti penunggang paling lihai, Nakahara Chuuya saat ini begitu resesif dan penuh rasa gila.

"Hangat sekali, Chuuya." Karena seharian penuh tempat itu digetarkan, Dazai tidak menanti lebih lama untuk melihat Chuuya keluar. Astaga...

Dazai ingin mengacak-acaknya, meski harus mengotori seluruh lantai dan seragam dengan semen dan keringat. Melupakan segala hal, memberantaki beberapa susunan meja dan kursi, mengotori lantai dengan sampah kondom dan sperma.

Bagian ini, sisi ketika Nakahara Chuuya menjadi putri malu sekaligus ratu diktator, adalah penghibur yang memuaskan segala hasrat kotor Dazai.

Tubuh mereka terkoneksi dengan sempurna. Nafsu mereka saling memenuhi dengan begitu serasi. Dan hubungan rekan seks ini, tidak akan menjadi pemicu apapun luka yang akan mereka beri untuk satu sama lain. Benar-benar sempurna. Puas tanpa masalah.

"Kita benar-benar tidak belajar sedikit pun, ya?" Penuh dengan rasa lelah Nakahara Chuuya merapihkan dasinya sementara Dazai tengah mengelap jejak-jejak cairan cinta di sekitar meja.

"Kau mau belajar? Kau tidak lelah?"

"Meski aku percaya diri aku jenius, tapi aku tidak tahu apa soal ujian nanti mencakup seluruh pengetahuanku atau lebih." Ia menghela napas. Melupakan dan menyimpan segala hal panas yang telah mereka tebar di ruangan ini beberapa waktu lalu.

"Sepertinya aku benar-benar butuh belajar, Senpai."

"Kalau begitu baiklah." Dazai memasukkan sampah-sampah terlarang dalam plastik lalu menunggu Chuuya keluar sebelum mengunci pintu ruang klub. Plastik itu dicampakkan dari lantai dua ke tong sampah belakang sekolah, karena terlalu malas untuk memutari gedung. Biarlah pekerja besok yang membakar apapun barang bukti keganasan mereka.

"Sekalian makan malam? Aku juga lapar." Dazai mengajak tanpa arti karena memang ia sangat ingin burger daging dengan dua lapis keju di simpang jalan. "Tapi aku tidak mau mentraktirmu."

Nakahara Chuuya tertawa, tidak terusik dengan bercak-bercak kecupan yang ada di lehernya.

"Pelit," ucapnya. "Baiklah, baiklah.. Aku ingin tahu dimana anak elit seperti Dazai Osamu makan malam."

—Dan ia tidak berkomentar ketika duduk di sebuah bangku restoran keluarga dengan cola dan sepiring penuh sayap ayam goreng.

Mereka makan dengan tenang. Sesekali membahas materi tentang soal-soal fisika kuantum. Seperti teman biasa, melupakan dua kali waktu yang dihabiskan saling bertukar cairan cinta.

"Kau tinggal dimana, Chuuya?" Basa-basi.

"Senpai tahu danau buatan yang belakangan terkenal karena banyak angsa hitam?" Berpikir sejenak, Dazai mengangguk. "Aku tinggal dua blok dari sini."

"Ehh, tidak ada hubungannya dengan danau itu."

"Memang, aku cuma tanya." Ia menyeruput cola dengan cengiran dan Dazai merasa bahwa lelucon tidak nyambung ini adalah sebuah hal konyol sampai ia ikut tersenyum.

"Mungkin kapan-kapan kita bisa kesana."

"Untuk apa?"

"Lihat angsa." Sesungguhnya Dazai hanya basa-basi, tanpa menyadari bahwa ajakan itu begitu lurus terucap dari bibirnya karena ia merasa nyaman bercengkrama dengan si senja di sebrang meja.

Ia mengatakan sambil mengambil satu sayap goreng dari piring Chuuya, memeriksa soal yang sudah dikerjakan, lalu mengatakan lagi, "Untuk nilai konstanta, coba pakai yang ini."

"Senpai," Nakahara Chuuya yang tertegun lalu menarik napas tenang. "Kau benar-benar Penakluk Wanita, ya?"

"Apa? Kau telah menyadari aku tampan?"

"Tidak.. Aku sudah tahu sejak tidak sengaja mencipratkan lumpur ke seragammu. Kau tampan." Giginya berderet karena senyum polos. Dazai tertegun. Bukan karena ternyata Chuuya mengingat kejadian naas itu, namun karena bibir yang membentuk tawa lebar dan kalimat jujurnya.

Laut ternyata begitu hangat meski angin ini dibawa oleh malam penghujung musim gugur.

"Dan kau juga tampan di bawah sana." Nakahara Chuuya menggoda.

"Oh, kenapa aku merasa kau akan mengajakku ke hotel?"

"Karena Senpai terlalu percaya diri." Nakahara Chuuya kembali tertawa— karena mereka benar-benar tidur di hotel malam ini.

X-x-0-x-X

Chuuya bangun dengan sebuah guncangan kecil di bahunya. Ia mengerjap, sejenak sebelum pipinya menjadi korban tarikan dari jari-jari kukuh yang hangat memaksa mengalah dan memperlihatkan manik safir kebanggaannya.

"Kau sekolah atau tidak Nakahara Chuuya?" Adalah yang pertama ia dengar dengan nada tegas.

"Punggungku sakit...." Aduhnya. "Bahuku sakit. Leherku sakit. Kau pikir kerongkonganku apa sampai kesetanan seperti kemarin?"

"Kupikir kau suka permainan kasar?" Ucapan tak berdosa yang dilukiskan manik kopi itu membuat Chuuya berdecih dan menarik lagi selimutnya. Ia menyukai segala jenis penyatuan mereka dan sering kali menyesal karena dampak pada tubuhnya. Tapi, demi apapun yang menjadi penunjuk jalan para pelaut, Chuuya benar-benar candu pada sentuhan si kakao itu.

Malam kemarin lebih liar dari sebelumnya. Karena Dazai Osamu lebih berani dalam pengarungan, lebih tega melecehkan, lebih haus akan pelayanan. Dan Chuuya, tidak akan berbohong, menyukai seks yang hebat walau beginilah hasilnya.

"Aku libur." Ia mengumumkan. "Aku mau tidur..."

Dazai Osamu tersenyum. Memijat-mijat pundak Chuuya yang nyeri. Hal itu memicu risih, namun sekaligus nyaman karena, demi apapun yang menerangi langit pagi di angkasa, bahu Chuuya benar-benar sakit karena Dazai sekarang suka menarik tangannya seperti tali pacu.

"Baru sekolah dua bulan." Chuuya akan berpura-pura tidak mendengar cibiran senior super pintar se-akademi itu. Tapi ia tidak bisa tidak acuh pada suara derit kasur dan kulit yang bersentuhan dalam selimut yang sama dengannya.

"Apa yang kau lakukan, Dazai-senpai?"

"Aku juga libur."

Chuuya mencoba duduk, sedikit memekik ketika nyeri pada lingkar analnya mengaum. Ia melihat Dazai yang telentang di sebelah, tanpa pakaian, tanpa perban, dengan kulit pucat kemerahan, ia menutup mata menikmati hawa pagi. Sangat niat untuk membolos, sangat menghibur, sangat tampan.

Setelah kekehan, Chuuya kembali merosot dalam selimutnya. Mendekat, meletakkan kepala di atas lengan Dazai karena ia menyukai gestur otot kencang serta aroma maskulin dari pemuda itu.

"Siapa yang akan memberi keterangan izin?" Tanya Chuuya tanpa benar-benar serius memikirkan hal itu.

"Siapa peduli?"

TBC

21 Desember 2020
SeaglassNst

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top