Chapter 1.1

Sudah jadi kewajiban, tradisi, budaya, dan hal yang diketahui semua orang di akademi ini bahwa selalu sebelum ujian akhir semester dimulai, akan ada minggu belajar yang dilaksanakan antar murid. Bukan grup diskusi, melainkan para kakak tingkat yang harus saling berpasangan dengan salah seorang adik tingkatnya dalam memainkan peran pendidik dan terdidik. Mereka akan melakukan private lesson di jam-jam tertentu dan mengajari para junior itu bagian-bagian yang tidak dimengerti.

Di antara seluruh murid yang sangat tidak menyukai belajar serta ujian yang akan datang, ada seorang Dazai Osamu. Angkatan tiga yang sangat beruntung bisa bertahan sampai waktu minggu belajar itu tiba. Jujur saja, Dazai Osamu menyukainya, menanti-nantinya, dan bergembira memenuhinya.

Karena itu adalah waktu ia bisa melepas segala hasrat tersimpan yang didukung oleh sosoknya yang rupawan.

Serigala. Kata mereka.

Mata cokelat yang dalam, rambut lebat yang tertiup angin begitu indah. Wajah kukuh serta dagu yang tajam. Suara mengayun selalu memanggil orang-orang untuk mendekat. Kecerdasan yang begitu berbahaya, gairah terpancar di tiap liuk gerakan tubuh tegapnya. Tidak ada yang tidak menyukai Dazai Osamu.

Benar-benar idaman, benar-benar sempurna— jika saja Dazai Osamu bisa setia seperti serigala yang sesungguhnya..

Nyatanya, pemuda sembilan belas tahun itu terkenal sebagai penikmat gairah nomor satu di akademi. Semua orang tahu bagaimana Dazai sering bermain dengan keluguan adik-adik tingkatnya, berkencan dengan mereka, bercinta, meraup segala hal yang bisa dirampas. Sampah. Namun karena Dazai sempurna, tidak ada yang membencinya, kecuali mereka yang sakit hati, itupun jika tidak terpesona lagi dengan kata maaf buaya.

Dia adalah penakluk. Menarik mangsa dengan sentuhan lembut, memberi racun melalui nada bicara yang mendayu. Tidak ada yang tidak jatuh pada jeratannya. Tidak ada yang bisa lepas dari jaring pesonanya.

Bagi Dazai sang bintang sekolah, dan bagi murid-murid yang begitu menyukainya, seminggu sebelum ujian semester adalah waktu yang tepat untuk mencari peruntungan. Gadis-gadis cantik dan para pemuda manis akan malu-malu meminta privat, sementara Dazai dengan senang hati menominasi mereka sesuai kriteria.

Seharusnya tahun ini pun sama, jika saja tidak ada seorang anak baru tingkat dua yang begitu ingin ia jatuhkan dari sifat arogan sombong menyebalkan.

Astaga.

Dazai ingat sekitar dua bulan lalu, di jalan hujan menuju sekolah, mobil merah yang begitu mengilap melintas di sebelahnya. Memercikkan seliter air lumpur ke seragamnya.

Dazai terdiam. Memproses, menunggu mobil itu berhenti hanya untuk melihat dari balik kaca yang turun, sosok bersurai jingga dengan raut tanpa dosa, lalu pergi.

Entah apa warna langit, Dazai hanya ingin meraup wajah itu untuk diremas geram.

Lalu sekarang, waktu yang seharusnya Dazai habiskan berada di sekeliling muda-mudi indah menjadi sebuah diskusi singkat dengan seorang teman yang sebenarnya ingin sekali ia anggap bukan temannya.

"Kau masih dendam pada si Nakahara Chuuya itu?"

"Tentu saja," Dazai meneguk kasar air minum dan mulai berceloteh. "Dia bahkan pura-pura tidak mengenalku dan tetap berlagak sombong. Sialan. Kurang ospek."

"Kau gila hormat atau semacamnya?"

"Atau semacamnya! Dia menyebalkan!!"

"Dia  tidak mengenalmu," ada senyum di bibir pemuda bermanik rubi. Ia selalu mengukirnya namun ketika bersama Dazai selaku orang yang seimbang dengannya, ia merasa lebih tertantang. "Kau terlalu percaya diri."

"Malah itu yang membuatku lebih kesal." Dazai menghela napas. "Seharusnya semua orang mengenalku."

"Mungkin karena dia anak baru."

"Itu bukan alasan untuk lolos dari pesonaku!"

Dazai bisa manja terkadang, dan jika sudah masuk ke fase ini, maka Fyodor Dostoyevsky pun tidak ingin memperpanjang.

"Lalu kau mau apa?"

Pertanyaan singkat yang agak-agaknya sudah bisa ditebak apa jawabannya, memancing senyum Dazai.

"Aku akan jadikan dia muridku seminggu ini."

Dostoyevsky sudah menduga.

"Aku akan buat dia bertekuk lutut dan memohon agar aku tidak membencinya lagi."

Dostoyevsky benar-benar mengerti pemikiran sang teman.

"Kau harus bantu aku, oke?"

Dan Dostoyevsky tahu, pasti ia juga akan terseret dalam permasalahan tidak berguna ini.

Karena itu, entah dengan sihir apa Dazai bisa membuatnya menurut dan berakhir berada di depan kelas Nakahara Chuuya.

Dostoyevsky cerdik, ia sudah membuat anak-anak yang lain memiliki pasangan mentor dan hanya beberapa yang belum. Karena itu, dengan sedikit perintah pada ketua kelas, "Aku ingin semua yang belum punya mentor menemuiku sehabis kelas, aku akan membantu." Dan semua orang tersenyum seakan tengah ditolong oleh penyelamat dari surga.

Sesuai dugaan Dostoyevsky, Nakahara Chuuya ada di sana, di bangku nomor tiga barisan dekat jendela. Walau tampak fokus, Fyodor tahu Nakahara Chuuya cukup yakin dengan kepintaran sendiri dan tidak butuh mentor atau apapun. Tapi Dostoyevsky adalah teman yang baik, dan ia akan melakukan formalitas ini demi balas budi entah apa yang akan Dazai Osamu lakukan untuknya di masa depan.

Ada sekitar empat orang ditambah Nakahara Chuuya. Fyodor mulai menjelaskan dan membacakan nama-nama pasangan. Ketika nama Dazai dan Chuuya bersanding, keempat anak yang lain terheran tidak terima, sementara Chuuya terheran atas keheranan mereka yang diredam Fyodor dengan alasan, "Nakahara-kun anak baru dan dia tidak masuk satu semester penuh, jadi aku ingin Dazai selaku peringkat satu yang mengajarkannya."

Argumen-argumen itu masih ada. Namun Fyodor lebih dari cerdik untuk mempersiapkan segala jenis jawaban yang mungkin dibutuhkan. Dan jebakan ini, berhasil menjerat sosok bersurai jingga. Fyodor memberi buruan pada sang serigala.

"Kalian bisa membuat janji temu dengan mentor kalian masing-masing," ucapnya memberi lembar-lembar notes pada masing-masing siswa yang berisi kontak personal mentor mereka.

Sejujurnya Fyodor ragu Nakahara akan menurut ketika ia berkata, "Besok akhir pekan, pastikan kalian membuat janji malam ini." Dan ia benar-benar tidak menyangka Dazai Osamu akan berteriak girang dalam chat dan mengirim capture pesan dari Nakahara Chuuya.

"Senpai," begitu isi awal setelah ucapan salam dan perkenalan nama, "Kapan kita bisa memulai mentoring?"

Hanya satu baris dan Dazai Osamu mendapatkan api berkobar di kedua matanya, sementara Fyodor menarik diri mundur karena tidak ingin mengiringi kegembiraan teman yang benar-benar tidak ingin ia temani itu.

Dazai menjawab cepat, "Senin jam tujuh, di rumahku." Berpura-pura kasar dan sedikit gila dengan janji tidak waras. Ia tidak khawatir Nakahara akan menolak karena sepertinya, meskipun culas dan menyebalkan, dia anak penurut dan cukup hormat pada orang yang memang seharusnya ia hormati.

"Baik."

Dazai tersenyum tinggi merespon. Menanti-nanti esok yang ternyata datang lebih cepat. Ia mengantuk namun alaramnya begitu bersemangat memberitahukan janji privat dengan Nakahara Chuuya.

Mandi, tanpa makan, Dazai membereskan kamar. Menyemprot pengharum tidak berguna karena sabun dan tubuhnya sudah membuat ruangan begitu sensual. Ia siap, benar-benar siap— membuat seseorang jatuh cinta.

Pukul tujuh kurang lima belas ponsel Dazai berbunyi, dari Nakahara Chuuya yang berkata, "Aku sudah di depan toko roti, Senpai. Rumahnya yang mana?"

Sedikit Nakahara menawarkan roti dari toko namun Dazai tidak ingin menjadi orang yang ditraktir pertama kali oleh sang target maka ia menolak. Perlahan Dazai mengarahkan, perlahan Nakahara mengikuti hingga dari balkon Dazai melihat sosoknya berdiri di depan pagar rumah.

"Yang ini?" Nakahara Chuuya bertanya.

"Tunggu di sana." Meski demikian Dazai memutus sambungan dan tidak langsung menemui si tamu. Ia menikmati detik-detik sebelum bersenang-senang, lalu turun ke bawah. Memastikan wajahnya sudah tampan seperti biasa, lalu membuka pintu.

Dazai ingin ada semu dan keterkejutan di wajah manis pemuda itu. Namun hanya ada tarikan alis yang menyinggung sebelum kepalanya menunduk salam. Dazai kecewa entah seberapa dalam karena pesonanya dianggap sebuah keanehan. Apa karena terlalu mempesona? Entahlah. Dazai akan menganggap begitu.

"Masuk," Dazai mempersilahkan Nakahara, "Naiklah," lalu ia meniti gestur celana hitam yang dikenakan pemuda itu, menepak gumpal bokong mungilnya dari belakang.

"Syalmu?"

Nakahara Chuuya menurut lagi, Dazai menyukai sifat submisif itu. Lilitan syal dilepas, Dazai bisa melihat choker hitam melingkar di leher yang jenjang. Tulang selangka menepak di balik kulit putihnya. Dazai cemas bukan Chuuya yang akan naik duluan melainkan dirinya karena— demi daun-daun merah yang gugur di jalanan— Dazai tidak pernah melihat lelaki secantik dan semenggoda si pendek ini.

"Kau kedinginan?" Di balik segala fantasi, Dazai berusaha bersikap baik.

"Sedikit," Nakahara Chuuya menjawab dengan hal yang Dazai inginkan.

Kesempatan pertama, Dazai menarik selembar scarf rajut lebar dari lemari dan melapisi Nakahara Chuuya. Menyentuh pundaknya ketika meletak, menepuk-tepuk bahu serta lengan mungil itu ketika merapihkan. Dazai memberi rangsangan di setiap sentuhan dan kali ini ia melihat pipi Nakahara Chuuya yang bersemu tipis. Dazai bersemangat.

Tapi masalahnya, ia malah terpana.

"Hari ini kita belajar apa?" Tanyanya mengalihkan topik.

"Bukannya Senpai yang menentukan?"

"Bukannya Chuuya yang menghubungiku terlebih dahulu?" Senyum mengiringi, Dazai membuat mata biru itu bertekuk heran.

"Aku kurang paham tentang Revolusi Prancis."

"Oke, duduklah." Dazai mengambil beberapa buku dari rak, mengintip dari kaca dan melihat Chuuya tengah mempersiapkan alat-alat tulis.

"Akan lebih bagus kalau belajar sejarah di Perpustakaan karena hanya ini buku yang aku punya."

"Aku lihat guru yang mengajar di kelasku memakai buku ini."

Dazai melirik satu dari empat buku yang ditunjuk Chuuya. Membuka beberapa halamannya untuk menemukan materi mereka.

"Yang mana?"

Mendengar pertanyaan itu Nakahara Chuuya mencondongkan tubuh. Meniti perlahan tulisan-tulisan tipis dari bagian daftar isi dengan teliti tanpa sadar Dazai juga ikut merapatkan. Lengan mereka bersentuhan, dan saat itulah Nakahara Chuuya segera mundur menjaga jarak.

"Ada apa?" Dazai tersenyum, seakan menggoda, seakan menerkam. Manis juga tampan. Demi siapapun yang peduli pada revolusi Prancis, tidak akan ada yang tidak jatuh pada indah senyumnya, termasuk Chuuya yang merona.

"Tidak," katanya berusaha tidak mundur ketika Dazai mendekat. "Aku hanya terkejut."

"Karena sentuhan, seperti ini."

Mata Chuuya dipaksa lurus menatap wajah Dazai ketika pipinya ditangkup. Penuh tanda tanya, namun Dazai begitu menawan sampai Chuuya lupa untuk kembali mundur sampai bibir mereka bertemu

Singkat.

Dan Chuuya terbakar.

"A-apa?" Tanyanya, "Senpai?"

"Itu tadi ciuman pertamamu?" Rona Chuuya bertambah seiring jarak yang ia ciptakan dengan mendorong tubuh mundur, sekuat Dazai mendesaknya untuk lebih dekat.

Tangan perlahan berjalan dari lantai menuju paha si senja. Lalu Dazai memaksa, mengecup Kembali bibirnya lebih dalam. Perlawanan Nakahara Chuuya tidak main-main, ia malah menarik rambut Dazai untuk memisah pagutan namun seiring jauhnya Dazai membelai di punggung, Chuuya kehilangan pendiriannya dan terlena.

Nakahara Chuuya melenguh, mengatupkan bibir rapat-rapat namun gigitan membuatnya terbuka hingga rongga itu menjadi arena pergelutan bergairah.

"Senpai—" Chuuya berusaha mengintrupsi ketika merasakan tangan nakal menyusup ke balik pakaiannya. Dazai merasakan hangat kulit pinggul itu. Merasakan bagaimana degup jantung mereka saling beradu. "Senpai— Jangan.."

"Kenapa?" Pagutan bibir terputus bersambung satu kecupan di telinga, Dazai mendengar lenguh membalasnya. Ia menghisap lembar daun itu hingga Nakahara menggeliat. Meremas sweater Dazai, menggigit bibir dan menahan erang ketika gigitan mendarat.

"Hng—" Entah siapa yang membuat suhu ruangan memanas, tapi Dazai adalah yang paling merasakan bagaimana manis pemuda kecil di pelukannya.

"Senpai—," Nakahara Chuuya melenguh. "Ini tidak boleh.."

"Kenapa begitu?"

Pertanyaan menggoda itu membuat perlawanan Nakahara Chuuya menegang karena kini tangan yang bermain menyanggah di lantai mulai meraba paha.

"Aku mengizinkannya," bisik Dazai, "Chuuya kau tidak mau?"

"Senpai—"

"Kalau tidak mau kau pasti menamparku dari tadi, kau mau kan?" Tuduhan itu telak, Dazai merasakan getaran dari tubuh pasangannya yang seiring waktu semakin panas. "Benda ini keras, Chuuya.."

"Ah— Senpai!"

Nakahara Chuuya hampir terlonjak ketika bagian intimnya diremas. Ia merapatkan kaki, mulai menutup mata dan dengan bisik bertanya lembut, "Apa.. Ini.. Boleh??"

Rabaan berlanjut, senyum kembali terbit, dengan perlahan Dazai mulai membuka tali pinggang yang mengamankan kesucian lawannya. Menampilkan celana dalam bewarna hitam ketat serta perut yang kencang.

"Tentu," jawabnya, "Tentu boleh..."

Detik kemudian, Dazai terdorong ke belakang. Terbelalak dan terkejut. Karena kini Nakahara Chuuya yang begitu manis itu tengah berada di atas perutnya, bersemu, tersenyum, membuas, seperti serigala.

"Baiklah kalau boleh" ucapnya dengan nada yang tidak Dazai duga juga tidak Dazai ingat pernah ia dengar dari Nakahara Chuuya.

"Kita lakukan ya," Dazai benar-benar kehilangan akal. "..Senpai..."

"Eh?"

To Be Continued

15 Desember 2020
SeaglassNst

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top