Bab 3. Dia
Di mana pun kamu, aku yakin ada saatnya untuk kita bertemu lagi nanti.
~Aulia Anjani~
***
Memasuki kamar indekos yang dihiasi foto-foto menggantung di dinding, Lia merebahkan tubuh di kasur setelah meletakkan tas dan bunga di atas meja yang berada di dekat pintu. Menghilangkan penat dan rasa kecewa karena usahanya hari ini lagi-lagi gagal untuk bertemu dengan Mr. Book─sebutan untuk cowok misterius─yang sampai detik ini, Lia belum mengetahui namanya.
Matanya mulai terpejam ketika terdengar suara ketukan di pintu kamar.
Lia membuka matanya dengan malas. "Masuk."
Pintu terbuka dan menampilkan sosok cewek yang begitu cantik memakai celana jin dipadukan dengan kaos putih polos yang dibalut dengan blezer warna pink, terlihat sempurna melekat pada tubuhnya.
Cewek itu masuk seraya meletakkan tas di lantai dan langsung ikut merebahkan tubuhnya di samping Lia.
"Capek," keluhnya.
Lia bangun dari posisi berbaring dan duduk menghadap cewek yang ada di sampingnya. "Capek? Emang abis ngapain?"
Dia, Rani Wijaya. Teman satu indekos Lia dan Nadia. Rani yang paling cantik di antara mereka bertiga. Dengan tubuh langsing bak model, rambut lurus, kulit putih dan paras cantik yang mampu membuat para pria rela melakukan apa pun untuknya. Namun, dibalik kesempurnaannya itu Rani memiliki sifat galak dan terkadang kasar sehingga mengurungkan niat setiap pria yang ingin mendekatinya.
Berbeda dengan Rani, Nadia memiliki tubuh mungil dengan rambut pendek sebahu. Nadia paling manja dan kekanak-kanakan. Sedangkan Lia, sama seperti Rani memiliki tubuh langsing, tapi sedikit lebih berisi, rambut gelombang dan kulit kuning langsat. Lia memiliki sifat kalem, tegas, dan paling sabar di antara mereka bertiga.
Rani duduk dan menatap Lia. Dia mulai bercerita mengenai harinya yang cukup berat. Dosen yang mengajar mata kuliahnya hari ini memberikan tugas menonton video dan membuat laporan mengenai karakter yang ada dalam video tersebut. Cewek yang mengambil jurusan Psikologi itu meregangkan tangannya yang terasa pegal setelah digunakan untuk menulis laporan.
Sudah menjadi kebiasaan Rani untuk mengeluarkan keluh kesahnya sepulang kuliah pada kedua sahabatnya. Hari ini giliran Lia yang menjadi pendengar setia. Karena saat Rani masuk ke kamar Nadia, cewek itu sudah tertidur pulas di kasurnya.
"Kayaknya gue salah masuk jurusan, deh! Mending gue masuk jurusan PGSD aja. Cuma ngajarin anak SD."
Lia tertawa kecil. "Yang ada murid lo pada rusak semua kalo lo gurunya." Mereka tertawa bersama.
Rani menghentikan tawanya ketika melihat bunga mawar merah yang masih segar di atas meja. "Ada adegan nolak cowok lagi hari ini?"
Lia mengangkat bahu. "Ya, gitu, deh."
"Udah nih, acara ngeluhnya?" sambung Lia.
"Udah. Mau tidur?"
"Hm." Lia merebahkan kembali tubuhnya di kasur.
"Ya udah gue balik ke kamar." Rani berdiri mengambil tasnya di lantai.
Ketika sampai di pintu, Rani menoleh pada Lia. "Li, kurang-kurangi lah tebar pesona di kampus. Biar nggak ada cowok yang naksir dan 'nembak' lo, terus ujung-ujungnya kecewa lagi," sindir Rani untuk menggoda Lia.
Lia yang mulai memejamkan matanya dengan terpaksa membukanya kembali dan langsung menoleh pada Rani yang sudah keluar dan menutup kembali pintu kamarnya sambil tertawa.
"RANI! Gue nggak pernah tebar pesona, ya!" teriak Lia yang dibalas dengan suara tawa yang semakin kencang dari Rani.
Ya. Dari kedua sahabatnya itu, memang Rani yang lebih berani mengutarakan isi pikirannya secara gamblang dan blak-blakkan. Karena mereka sudah bersama dan saling mengenal satu sama lain selama satu tahun ini, tidak ada rasa kesal ataupun tersinggung setiap kali mendengar ucapan Rani yang terkesan menyindir itu.
**
Matahari mulai condong ke barat saat Lia keluar dari kelas. Cewek berkucir ekor kuda itu berjalan di lorong lantai empat gedung fakultas Pertanian, menatap ponselnya dan sesekali membalas pesan yang tertera di sana. Lia masih harus menunggu Rani yang belum keluar kelas untuk pulang bersama. Ketika balasan pesan terakhir terkirim, dia merasakan ada seseorang yang menjajarkan langkah di sampingnya.
"Kevin?"
Kevin terdiam menatap Lia. Dia selalu mengagumi sosok yang berada di sampingnya saat ini. Walau terkesan jutek, tetapi dia tahu bahwa kakak tingkat yang menjadi idola di kampusnya itu merupakan cewek supel yang ramah. Mungkin cewek yang sudah dia 'tembak' beberapa kali itu, sudah bosan menanggapi tingkahnya.
Kevin masih terdiam saat Lia menatapnya. "Vin?"
Kevin mengerjap-ngerjap sebelum menjawab, "Eh, mau balik?"
"Masih nunggu temen."
"Kalo gitu balik sama gue aja."
"Nggak usah mulai, deh."
"Namanya juga usaha. Kali aja hari ini gue berhasil. Ternyata sama aja, gagal lagi."
Lia memicingkan matanya menatap Kevin yang memasang tampang kecewa. "Udah deh, mending lo balik sana!" usir Lia.
Kevin berdecak mendengar dirinya diusir. "Jutek banget sih lo sama gue?"
Lia menoyor kepala Kevin. "Yang sopan jadi adik tingkat! Manggil gue tuh pakek embel-embel 'Kak' atau paling nggak 'Mbak'. Jangan seenaknya aja pakek lo-lo kayak gitu. Dasar adik tingkat nggak tau diri!"
Lia melanjutkan langkahnya yang masih diikuti oleh Kevin.
"Ya elah! Kita kan seumuran. Ngapain gue panggil lo pakek embel-embel 'Kak' segala. Gue cuma telat setahun kali masuk kuliah."
"Tetep aja lo itu adik tingkat gue di sini. Harus sopan dong!"
"Nggak. Gue tetep panggil lo kayak biasa. Kenapa sih pengen banget dipanggil 'Kak'? Gila senioritas?"
Tidak menjawab, tetapi Lia melirik tajam Kevin.
"Oke, oke." Kevin mengangkat kedua tangannya yang berarti mengalah. "Ya udah gue balik duluan. Atau lo mau bareng gue aja?"
"Nggak! Udah sana gih balik! Bawel!" usir Lia sambil mendorong tubuh Kevin menjauh.
"Oke. Bye, Lia." Kevin melangkah pergi dan melambaikan tangannya.
Lia melanjutkan langkahnya menuju perpustakaan akademik. Duduk di bangku kayu yang tersedia di sana dan memainkan ponselnya. Sambil menunggu kedatangan Rani, Lia mencoba peruntungannya lagi hari ini, mungkin saja dia bisa bertemu dengan Mr. Book itu. Lia sendiri tidak tahu harus mencari ke mana, karena pertemuan pertama mereka terjadi di depan gedung perpustakaan akademik, maka Lia memutuskan untuk selalu menunggunya di sini. Kalau memang Mr. Book itu kuliah di sini, pasti dia akan kembali lagi ke perpustakaan. Entah sampai kapan Lia harus menunggu, atau ini saatnya dia mengakhiri penantiannya dan mulai membuka hati untuk orang lain? Ketika sedang fokus menggeser-geser layar di ponselnya, Lia mendongak karena ada seseorang berdiri di depannya.
"Lama amat, sih!" keluhnya.
"Ya, sorry. Biasalah tuh dosen kasih pesen-pesen dulu sebelum keluar kelas."
"Ya udah balik aja, yuk!" Lia berdiri sambil menarik tangan Rani.
"Eh, eh. Tunggu, Li." Rani menghentikan langkah Lia.
"Ada apa lagi?"
"Kita ke lapangan bola dulu. Gue mau nemuin temen."
"Emang nggak bisa ketemu di kosan aja?"
"Nggak bisa. Ini tugas gue dibawa sama dia. Dan tadi gue lupa minta lagi."
Rani menarik tangan Lia supaya mengikuti langkahnya. "Belum gue revisi. Dan besok pagi udah harus dikumpul. Kalo nunggu dia selesai latihan bola bisa keburu malem. Nggak bakal kelar tugas gue."
Lia hanya pasrah saat Rani terus menarik tangannya untuk mengikutinya ke lapangan bola. Sebenarnya dia sangat malas dan sudah terlalu lelah untuk berjalan ke lapangan bola yang letaknya di belakang gedung Fakultas Hukum. Namun, mau bagaimana lagi? Mereka tadi berangkat bareng jadi pulang juga harus bareng, kalau tidak mau mendapat amukan dari Rani.
Kadang Lia ingin sekali mengutuk kampusnya. Salah satu kampus elit yang terletak di Jakarta Selatan ini turut andil dalam mengurangi pemanasan global dengan membuat peraturan untuk tidak berkendara di dalam kampus. Alhasil, setiap kendaraan yang dibawa oleh mahasiswa harus diparkirkan di tempat parkir yang terletak di bagian depan kampus, dan mahasiswa harus berjalan kaki menuju ruang kuliah masing-masing.
**
Sore itu, masih banyak mahasiswa yang berlalu-lalang di sekitar lapangan bola. Selain mahasiswa yang mengikuti UKM sepak bola, terlihat juga mahasiswa kelas malam yang bisa dipastikan merupakan mahasiswa jurusan Hukum karena mereka juga sempat bertemu dengan Nadia. Gedung Fakultas Hukum yang terletak di depan lapangan bola, membuat sebagian mahasiswanya lebih memilih untuk menunggu waktu kuliah dengan menonton anggota tim sepak bola kampus berlatih dibanding menunggu di lorong kelas. Dari yang Lia dengar selama ini, anggota tim sepak bola kampus terdiri dari para cowok yang terkenal ganteng dan memiliki banyak penggemar yang tersebar di seluruh kampus.
Sampai detik ini, Lia belum pernah sekalipun melihat anggota tim sepak bola kampusnya itu secara langsung. Membuatnya penasaran, seganteng apa sih anggota tim sepak bola kampusnya itu sehingga banyak mahasiswi yang membicarakan mereka? Samar-samar terdengar suara pekikan dari mahasiswi yang berada di pinggir lapangan dengan tidak tahu malu. Lia dan Rani mempercepat langkah mereka untuk sampai ke pinggir lapangan.
Dari kejauhan terlihat beberapa orang sedang berlari di lapangan mencoba menguasai bola. Terdengar pula suara seseorang di pinggir lapangan mengarahkan permainan yang sedang berlangsung itu. Lia yakin sekali bahwa itu adalah suara pelatih.
Mereka sampai di bench pemain di pinggir lapangan bertepatan dengan waktu istirahat para pemain tersebut. Rani langsung mencari sosok temannya. "Haduh! Sony ini mana, sih? Kok nggak keliatan." Dengan tetap celingak-celinguk ke lapangan.
Lia hanya melihat gerakan Rani mondar-mandir di pinggir lapangan dengan mata tidak lepas dari anak-anak tim sepak bola yang mulai berlarian ke pinggir lapangan.
"Woi, Ran!" sapa seseorang dengan melambaikan tangannya. Rani langsung menoleh begitu pun dengan Lia.
Teman yang sedari tadi dicari oleh Rani akhirnya muncul juga. Dia tidak sendiri. Ada seseorang lagi di sampingnya. Mereka terlihat sexy dengan pakaian jersei dan keringat yang bercucuran di wajah mereka. Pekikan histeris dari segerombolan mahasiswi yang masih betah berada di sana semakin nyaring terdengar seiring dengan kedua anggota tim sepak bola kampus yang berjalan menjauh dari anggota tim lainnya untuk mendekat ke arah dua cewek yang menunggu dengan tidak sabar.
Orang yang memanggil Rani tadi langsung menghampirinya. Sedangkan seseorang yang berada di sampingnya hanya berdiri diam tepat di hadapan Lia. Dan kontan membuat Lia terpaku di kakinya. Mata mereka bertemu.
Ya Tuhan, cowok ini ganteng banget, batin Lia.
Dari postur tubuhnya saja, cowok itu sudah keren banget. Tinggi, tegap, dan atletis, ditambah lagi dengan baju jersei yang terlihat pas menempel di tubuhnya dengan keringat yang masih menetes dari keningnya. Membuat jantung Lia berdetak lebih cepat dari seharusnya. Fix, memang tidak salah lagi yang selama ini dia dengar. Tim sepak bola kampus terdiri dari cowok-cowok ganteng. Buktinya sudah ada satu di depan mata. Satu lagi yang baru saja pergi bersama temannya.
Mata itu, Lia tidak pernah melupakan tatapan dari orang di hadapannya itu. Satu tahun yang lalu dia bertemu dengan orang itu. Orang yang membuatnya jatuh cinta dan selalu menunggu momen seperti saat ini hadir dalam hidupnya. Tidak ada yang memulai pembicaraan. Lia sudah tidak tahu Rani pergi ke mana bersama temannya itu. Hanya ada mereka berdua sekarang dan masih dengan saling menatap tanpa bicara.
Dia ....
***
Hai.
Masih semangat kan?
Akhirnya, penantiannya terjawab sudah.
Lanjut?
Terima kasih.
Muach.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top