Bab 1. Aulia Anjani

Pendidikan memang nomor satu. Namun, menemukanmu adalah keharusan.
~Aulia Anjani~

***

"Untuk hari ini sampai di sini dulu. Terima kasih atas perhatiannya." Lia menutup kelas praktikum sambil membereskan barang-barangnya.

"Jangan lupa laporan praktikum hari ini ditaruh di loker!" ucapnya lagi sebelum meninggalkan kelas.

Lia berjalan keluar kelas dengan tergesa-gesa. Tidak lupa menyapa beberapa orang yang berada di ruang depan laboratorium Agroteknologi itu. Ketika berada di koridor lab, langkahnya terhenti karena suara di belakangnya.

"Aulia Anjani! Lo mau kan jadi pacar gue?" Lia membalikkan badan dan mendapati seorang cowok yang tidak lain adalah adik tingkatnya yang baru saja menyelesaikan kelas praktikum bersamanya.

"Pasti bakal ditolak lagi kali ini."

"Gila! Kevin nggak belajar apa dari yang udah-udah?"

"Mungkin dia mencoba peruntungannya."

"Kalo Kevin ditolak lagi. Mending Kevin sama gue aja."

Terdengar kasak-kusuk dari beberapa mahasiswi yang juga berada di sana dan sedang menonton drama 'penembakan' yang entah sudah keberapa kali dalam sebulan terakhir ini.

"Iya?" tanya Lia untuk memastikan apa yang baru saja didengarnya.

"Lo mau kan jadi pacar gue?" ulang Kevin, cowok yang tadi memanggilnya.

"Nggak," jawabnya to the point.

"Please! Kali ini terima gue. Jadi pacar gue, ya?" pinta Kevin lagi dengan sedikit memaksa sambil mengulurkan cokelat dan bunga mawar merah.

Bukannya luluh, Lia justru menatap adik tingkatnya itu dengan malas.

Permohonan Kevin membuat semua mahasiswa yang berada di sana kompak bersorak. "Terima ... terima!"

Mendengar teriakan seperti itu, membuat Lia semakin bingung dan tatapannya pada Kevin berubah menjadi kasihan.

"Please!" pinta Kevin lagi, kali ini dengan wajah memohon. Dia tidak peduli walau harus menjatuhkan harga dirinya dengan berlutut seperti itu. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah usahanya harus berhasil untuk menjadikan kakak tingkatnya itu sebagai pacarnya.

Lia menghela napas. Dia sangat benci menghadapi situasi seperti ini. Di satu sisi, dia mencoba untuk merasa kasihan. Tetapi di sisi lain, bukan Kevin yang diinginkannya menjadi pacar. Dan untuk kesekian kalinya, Lia harus menolak adik tingkat yang merupakan salah satu cowok incaran mahasiswi di kampusnya itu.

Lia menggeleng. "Jawaban gue tetep sama. Nggak!"

"Tapi, Li ...."

"Sekali lagi sorry ya, Kevin. Gue cuma nganggep lo sebagai adik tingkat. Udah, nggak lebih."

Nada kekecewaan tetap terdengar, meskipun sebenarnya mahasiswa-mahasisiwi kampusnya sudah terbiasa melihat Lia menolak mentah-mentah cowok yang menyatakan cinta padanya.

Kevin hanya terdiam mendengar jawaban dari kakak tingkatnya itu. Menundukkan kepala karena rasa malu di depan semua orang. Ia merasa bahwa dirinya sangat bodoh untuk nekat menyatakan cinta lagi pada Lia yang sudah jelas-jelas akan menolaknya.

"Kalo nggak ada yang mau diomongin lagi, gue pergi." Lia akan melangkah, tetapi terhenti saat teringat sesuatu dan berbalik kembali menatap Kevin.

"Itu buat gue?" tanyanya sambil menunjuk cokelat dan bunga mawar merah yang masih berada di tangan Kevin. Seolah mendapat persetujuan dari anggukan Kevin, Lia mendekat dan mengambil dua barang tersebut.

Namun, pandangannya teralihkan ke arah kerumunan orang yang berada di belakang Kevin. Sesaat tatapannya bersirobok dengan tatapan seseorang yang berada di tengah kerumunan tersebut. Dia merasa mengenali tatapan itu. Tatapan milik seseorang yang dia tunggu.

Nggak mungkin. Lia menggeleng mencoba meyakinkan diri bahwa dia hanya salah lihat. Dia mencoba menajamkan penglihatannya untuk menemukan seseorang yang baru saja dilihatnya. Namun nihil, orang tadi sudah tidak terlihat lagi.

"Ehm!" Suara Kevin membuyarkan lamunan Lia.

Lia menatap Kevin seraya tersenyum. "Thanks, ya. Tapi, ini nggak akan ngubah jawaban gue. Rezeki nggak boleh ditolak, kan?" Setelah mengucapkan itu Lia pergi meninggalkan Kevin yang masih terbengong dengan mulut terbuka.

Aulia Anjani. Mahasiswi pertanian jurusan Agroteknologi semester tiga di tahun kedua ini. Selain kuliah, dia juga merangkap sebagai asisten laboratorium untuk mendampingi adik tingkat yang melaksanakan kelas praktikum.

Bukan hanya cantik dan pintar, Lia─begitulah dia sering disapa─juga merupakan orang yang mudah bergaul. Namun, itu tidak cukup untuknya mendapatkan seorang pacar.

Walau tidak sedikit dari cowok di kampusnya yang menyatakan cinta hampir di setiap bulan. Entah apa yang masih ditunggu olehnya, sehingga dia tidak pernah sekalipun menerima cinta dari cowok-cowok itu.

**

Lia menuruni tangga menuju lantai satu dari gedung laboratorium tersebut. Saat tiba di anak tangga terakhir, cewek yang baru saja menolak adik tingkatnya itu merogoh ponselnya yang berdering di dalam tas. Setelah melihat siapa yang menghubunginya, dia segera menempelkan ponsel di telinga.

"Asalamualaikum, Ma." Lia menjawab panggilan dari mamanya.

"Masih di kampus, Mbak?" tanya Rima─mama Lia─di seberang telepon.

"Masih. Baru selesai ngasisteni. Ini mau pulang ke kos. Ada apa, Ma?" Lia tetap menjawab setiap pertanyaan dari Rima sambil terus berjalan menuju perpustakaan akademik.

Sudah menjadi rutinitasnya setiap hari untuk menjawab telepon dari Rima. Maklumlah, Lia anak pertama dan Rima tidak tenang melepas anak perawannya hidup sendiri di ibu kota. Jadi, dia akan merasa tenang setelah mengetahui kabar anak sulungnya itu melalui sambungan telepon ataupun video call.

"No, Ma! Aku nggak suka Mama jodoh-jodohin aku sama anak temen papa. Aku masih bisa cari jodoh sendiri," jawab Lia yang mulai emosi setelah mendengar tujuan mamanya menelepon.

"Dengerin mama dulu, Nduk. Bukan itu maksud mama. Cuma kenalan aja dulu. Kalo emang nggak cocok, mama juga nggak maksa." Rima mencoba menjelaskan kembali tujuannya pada putri pertamanya itu.

"Aku tetep nggak suka sama cara Mama. Udah ah, Lia mau balik ke kos. Lia tutup dulu teleponnya. Asalamualaikum." Lia segera menutup telepon tanpa mendengar balasan dari Rima.

Dengan masih menggerutu, Lia berjalan ke taman perpus. Duduk di sebuah bangku kayu memanjang sambil mengecek notifikasi yang masuk. Membalas beberapa pesan penting, selebihnya hanya dibaca atau dibiarkan saja karena pesan tersebut dari penggemar yang mencoba mencari perhatiannya, tetapi selalu gagal.

"Li!" Nadia duduk di samping Lia sambil mengatur napasnya yang terengah-engah. "Gue panggil dari tadi malah nggak denger."

"Eh, Na ada apa?" tanya Lia sambil melirik Nadia sebentar lalu kembali fokus pada layar ponselnya tanpa memedulikan delikan Nadia yang merasa telah dicuekin oleh sahabatnya yang satu itu.

"Nebeng dong! Tadi nggak bawa motor."

"Oke. Tapi, bentaran, ya. Sepuluh menit lagi."

Nadia sudah terbiasa dengan kelakuan Lia yang selalu duduk di bangku taman perpustakaan akademik sambil menunggu seseorang yang Nadia sendiri tidak tahu bagaimana rupa orang tersebut sampai Lia rela menunggunya di sini setiap hari. Dan sampai detik ini, usahanya tersebut tidak memberikan hasil apa pun. Menurut Nadia, Lia hanya membuang-buang waktu menunggu seseorang yang belum tentu juga ingin bertemu dengannya lagi atau bahkan mungkin orang tersebut sudah lupa dengan Lia karena mengingat pertemuan mereka yang hanya sekali.

"Wow!" seru Nadia yang melihat cokelat dan bunga mawar merah di samping Lia.

"Pasti barusan ada drama penolakan lagi."

Lia hanya melirik sekilas dengan mengangkat bahu tanpa merasa perlu membalas ucapan Nadia.

"Siapa lagi kali ini?" tanya Nadia kepo.

"Masih sama. Kevin."

"Kalo gitu cokelatnya buat gue ya? Lumayan, gratis," kata Nadia sambil tertawa.

"Hmm."

"Kenapa nggak lo terima aja si Kevin itu? Tampangnya oke, kan?" Nadia masih membahas soal adik tingkat yang baru saja ditolak oleh sahabatnya.

"Kalo gue nggak ada rasa sama dia mau gimana?"

"Lo nunggu apa sih? Nunggu cowok yang pernah ngasih lo buku itu? Sampai kapan? Ini udah satu tahun lo nunggu nggak jelas."

Sejak pertemuan pertamanya dengan seorang cowok di hari pertama OSPEK, Lia selalu menyempatkan diri untuk mampir ke taman perpus hanya sekadar duduk selama setengah sampai satu jam berharap bisa bertemu lagi dengan cowok tersebut.

Nadia melanjutkan ocehannya dengan terus menghabiskan cokelat di tangannya. "Lagian belum tentu juga tuh cowok kuliah di sini. Lo aja nggak tahu namanya. Gimana mau ketemu? Move on, dong!"

Memang benar sejak pertemuan pertama itu, mereka tidak pernah memperkenalkan diri masing-masing. Namun, tetap saja Lia tidak bisa move on dari cowok yang sudah membuat hari pertama OSPEK-nya yang buruk menjadi hari paling indah dan tidak akan pernah dia lupakan sampai kapan pun.

Sebenarnya bisa saja, jika Lia ingin mencobanya. Namun, setiap ada kesempatan hatinya belum bisa menerima cowok lain untuk mengisi. Entah sampai kapan. Mungkin, sampai dia benar-benar lelah untuk menunggu.

"Kalo jodoh nggak bakal ke mana. Lagian gue yakin banget dia mahasiswa kampus ini dan satu jurusan sama gue," jawab Lia santai walaupun hatinya terus memikirkan kemungkinan yang dikatakan Nadia tadi.

"Terserah lo, deh."

"Pulang, yuk. Laper, nih," ajak Nadia sambil berdiri dari bangku yang mereka duduki.

"Bentar lagi lah, Na."

Nadia langsung menarik Lia hingga berdiri. "Lama, ih. Lagian masih ada hari esok buat lo nungguin dia lagi. Sekarang pulang aja. Ayuk!"

"Iya, iya." Lia mengambil bunga yang berada di atas bangku.

Mereka berjalan beriringan melewati pelataran besar, dengan air mancur di tengahnya, dikelilingi lima gedung universitas mereka, Universitas Mandala Putra atau yang biasa disingkat MANTRA. Pelataran itu biasa disebut taman gazebo, karena memang tersedia beberapa gazebo di tepi taman yang biasa digunakan sebagai tempat nongkrong mahasiswa. Dan sering menjadi tempat mereka janjian jika ingin pulang bersama.

Mereka sudah berteman sejak awal kuliah, karena mereka merupakan teman satu indekos. Meski berbeda jurusan dan latar belakang, dengan kepribadian yang berbeda pula, tidak menghalangi persahabatan diantara mereka. Mereka tetap terlihat kompak di mana pun mereka berada.

Lia masih asyik dengan pikirannya sendiri tanpa menyadari sedari tadi Nadia bercerita tentang harinya yang lumayan buruk karena tiba-tiba dosennya memberikan kuis sementara cewek mungil itu belum belajar. Saat kembali pada kenyataan, Lia hampir saja tercebur dalam kolam yang berada di tengah-tengah taman gazebo sebelum Nadia dengan sigap menarik lengan sahabatnya itu.

Lia tidak memedulikan omelan Nadia yang mengingatkannya untuk tidak melamun saat berjalan. Sesekali dia masih menoleh ke belakang. Mungkin ada sosok cowok yang selama ini dia tunggu. Tapi lagi-lagi nihil.

Lia menghela napas dan terus berjalan menuju parkiran. Mencoba menyemangati diri sendiri dengan tersenyum. Dia yakin akan ada hari saat dia bisa bertemu kembali dengan cowok yang telah membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama.

***

Hai hai.
Update lagi nih.

Yuk ramaikan dengan vote dan komennya.

Jangan lupa share cerita ini biar makin banyak yang baca.

Thank you all.

Keep reading.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top