BAGIAN 34 - JALAN MENUJU BAIK

"Allahumma sholli 'ala Muhammad wa 'ala ali Muhammad" gumam Amira terus-menerus sembari tangannya menekan tasbih digital berwarna biru. Terkadang tak hanya sholawat yang ia bacakan secara rutin, namun juga Asmaul Husna ataupun bacaan-bacaan dzikir lainnya yang mampu menenangkan Aira saat Amira menggendong Aira yang sedang rewel dan menangis. Sungguh, bacaan-bacaan seperti itu telah Amira terapkan dan ternyata Aira memang lebih tenang ketika dibacakan beberapa kalimat dzikir dan terkadang murottal yang ada di handphone Amira.

"Aira, Mama Amira kangen banget sama Aira," gumamnya saat melihat Aira di depannya yang terbaring dalam inkubator dan penuh dengan selang yang ada di tubuhnya. Bayi sekecil itu harus melewati ujian seperti ini. Amira tak kuat melihat banyak selang-selang yang bergelantungan di tubuh Aira. Ia tak sanggup menahan air matanya. Semua ini terjadi begitu saja. Ia bahkan tak henti-hentinya menyalahkan dirinya sendiri sebab tak bisa menjaga Aira dengan baik.

Amira keluar dari ruang PICU dengan langkah pelan. Sesekali menengok ke belakang tak ingin meninggalkan Aira yang sendirian di ruang PICU. Dokter menyarankan bahwa beberapa hari ke depan Aira tetap harus di rawat di ruang PICU sampai perkembangannya stabil.

"Mas Ali?" ucapnya saat melihat ternyata Ali sedang berdiri di depan pintu ruang PICU.

"Amira,"

"Mas Ali mau masuk ke dalam?"

"Tidak. nanti saja," jawab Ali yang kemudian beralih mengambil duduk di kursi tunggu depan ruang PICU.

"Mas?" Amira ikut mengambil duduk di sebelah Ali.

"Hmm?"

"Bagaimana perkembangan kantor Mas Ali, apa sudah ada kemajuan? ini sudah hampir satu minggu. Amira takut perusahaan Mas Ali tidak bisa terselamatkan."

"Untuk kasus penipuan proyek aku sudah mengiklaskannya meskipun sangat berat aku terima, kini aku masih berusaha meminta tolong beberapa dewan direksi perusahaan lain. Barangkali mereka mau menerima ide perancangan proyek baru denganku jika berhasil dana perusahaan sedikit demi sedikit akan terangkat lagi."

"Mas Ali sudah meminta bantuan perusahaan ayahnya Reyhand?"

"Belum, aku merasa Rey sudah tidak mau menemuiku lagi,"

"Mas kan belum mencoba, barangkali Reyhand mau,"

Ali sedikit mencerna perkataan Amira, "Makasih, In shaa Allah nanti sore aku coba,"

Semangat ya? Dalam doa kecilku aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu. Amira tersenyum tipis.

Ali mengeluarkan Al-Qur'an yang ada di tas nya. Dengan sedikit membenarkan kacamatanya, ia membuka halaman Al-Qur'an yang ia tandai terakhir dibaca. Lagi, Amira kembali tersenyum kagum. Ini kali pertamanya setelah menikah ia melihat Ali membaca Al-Qur'an di depannya. Yang ia ketahui dulu ketika mengenal Ali, hanya sebatas ia sering melihatnya sering sholat di masjid bersama ayahnya. Itupun Ali tak menyadari kalau Amira diam-diam pernah memperhatikannya saat tak sengaja pas-pasan di jalan melihat Ali melangkah menuju masjid. Selama menikah pun Ali tak pernah menampakkan sedang membaca Al-Qur'an di rumah. Bahkan 24/7 dalam hidupnya ia lebih banyak menghabiskannya di kantor. Pulang ke rumah pun ketika hendak tidur dan besok paginya kembali ke kantor lagi.

Ali membaca satu demi satu ayat Al-Waqiah. Suaranya pelan. Namun masih terdengar oleh Amira. Suara pelan itu lama kelamaan terdengar serak dan parau. Amira melirik sekilas ke arah wajah Ali. Dan ternyata, Ali sedang menahan tangisnya. Akhir-akhir ini ia sering sekali melihat Ali sedang menahan tangisnya. Seseorang yang menangis bukan berarti ia lemah. Namun, ia hanya mengekspresikan sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan mulutnya. Matanya ikut berbicara mengungkapkan apa yang tidak bisa diungkapkan.

"Shadaqallahul-'adzim' (صَدَقَ اللهُ اْلعَظِيْمُ)"
Ali mencium pelan sisi Al-Qur'an setelah ia selesai membacanya.

"Mir?"

"Iya?"

"Terima kasih,"

"Untuk apa?"

"Sudah menjaga Aira,"

"Justru Amira merasa bersalah, Amira belum bisa menjaga Aira dengan baik."

"Tidak perlu merasa bersalah, bukankah ini sudah menjadi alur takdir yang telah digariskan Allah. Aku sadar, Aku harus memperbaiki semua. Maaf jika beberapa kali aku pernah mengabaikanmu seolah-olah menganggap kamu tak ada. Bantu aku, bantu aku secara pelahan untuk menjadi yang lebih baik dari sebelumnya. Meskipun Vina memang masih belum bisa aku lupakan sepenuhnya. Setidaknya ini demi Aira dan Vina, aku ingin Aira mempunyai keluarga yang lengkap, aku ingin Vina disana juga bahagia aku disini mampu menjadi ayah yang baik buat anakku."

Rusuk Amira rasanya seperti dipenuhi kupu-kupu yang mondar-mandir berterbangan di dalam. Tidak ada yang tidak mungkin kalau Allah senantiasa dengan mudahnya membolak-balikkan hati manusia. Tak disangka secepat ini Ali bisa menerima apa yang sudah ditakdirkan Allah. Secepat ini? Meskipun Ali masih belum mencintainya setidaknya ada hal baik yang ia terima dari Ali. Tak apa, ini saja Amira sudah benar-benar bersyukur.

"In shaa Allah Mas,"

"Terima kasih,"

"Eum, mau makan bareng di kantin rumah sakit nggak? Kebetulan aku belum makan dari pagi."

Amira terkejut bukan main tiba-tiba Ali bersikap tidak seperti biasanya. Ali tersenyum simpul yang membuat Amira tak berani menatap matanya. Ya bayangkan saja, hati Amira berantakan hanya karena Ali tersenyum simpul padanya.

"Kenapa bengong Mir?"

"Hah? Eum, n-nggak Mas,"

Mau bilang 'iya' aja susah banget!

Ali mengerutkan dahinya saat Amira menolak ajakannya, "Nggak baik makan tidak teratur itu, bukankah kamu punya riwayat asam lambung?"

"T-tapi Mas?"

"Nggak usah tapi-tapian, ayo ke kantin!"

Amira mengangguk saja mengikuti dan beranjak melangkah menuju kantin rumah sakit. Mereka berjalan beriringan. Ya seperti biasanya. Saling bungkam tak ada yang membuka percakapan dan sibuk dengan pikirannya masing-masing. Apalagi Amira. Mana berani?

"Mir, mau pesan apa?" tanya Ali ke arah Amira.

"Amira?" Panggilnya lagi saat tak ada sahutan dari Amira.

"AMIRA ADA CICAK DI PUNDAK KAMU," teriaknya sedikit kencang dekat dengan telinga Amira yang tertutup hijab pashmina denim.

"ALLAHUAKBAR MANA CICAK MANA CICAK EH CICAK CICAK MANA CICAK?" Amira ketakutan setengah mati saat Ali menyebut kata cicak ada di pundaknya. Ia meringkuk dan berjongkok memeluk lututnya. Ali benar-benar tega. Amira dari kecil memang sangat takut dengan hewan yang namanya 'cicak'. Baginya cicak adalah monster kecil yang sering mengganggunya waktu tidur.

FIX AMIRA GELI KALAU MEMBAYANGKAN MASA KECILNYA DENGAN CICAK!

Ali terkekeh geli melihat tingkah ketakutan Amira, "Makanya, jadi orang jangan bengong aja kerjaannya."

"Mas Ali tega banget bohongin Amira,"

"Ya maaf, lagian kamu dipanggil seribu kali nggak nyaut,"

Amira mengerucutkan bibirnya seraya matanya masih melihat pundak kanan dan kirinya. Takut jika memang ada cicak yang tiba-tiba muncul di sampingnya. Tak pernah berubah, dari kecil Amira takut sekali dengan cicak. Bukan takut tapi lebih ke geli melihat cicak. Baginya ia lebih memilih memegang ular atau hewan buas lainnya dari pada memegang cicak. Aneh!

"Mau pesan apa?"

"Mie ayam aja Mas,"

"Yaudah tunggu di kursi itu, aku pesankan,"

Amira duduk di salah satu kursi yang ada di kantin. Sedangkan Ali memesankan makanan. Ali kemudian menyusul Amira yang terduduk di salah satu kursi yang ada di kantin. Ali mengambil duduk di depan Amira.

Tak perlu menunggu terlalu lama pun makanan yang mereka pesan sudah diantar oleh salah satu karyawan kantin.

"Mas kok nasi semua, mie nya emang nggak ada ya?"

"Sengaja nggak aku beliin mie ayam,"

"Hah? Kok gitu? Kan Amira tadi persennya mie ayam,"

"Kamu udah kurus, makan mie terus nanti makin kurus,"

Amira menghela napas panjang. Padahal ia sudah ingin sekali memakan mie ayam. Sudah terhitung 1 Minggu ia tidak makan mie. Padahal biasanya ia makan mie bisa setiap hari. Memang tidak sehat, tapi entah mengapa Amira sulit sekali menghentikan kebiasaan buruk itu.

Mau tidak mau Amira harus memakan makanan yang telah dipesan Ali. Meskipun ia adalah tipe orang yang tidak bisa makan nasi banyak, setidaknya makanan yang telah dipesan ia habiskan daripada nantinya mubazir dan dibuang sia-sia begitu saja.

"Mas, ini siomay Mas Ali?"

"Iya, makan aja kalau mau,"

"Eum, Amira boleh minta semua nggak? Nanti Amira ganti yang baru deh?"

"Nggak papa, makan aja nggak usah diganti yang baru,"

"Amira ambil ya?"

"Iya Mir,"

Amira mengambil 1 kotak sterofom yang berisikan beberapa siomay. Ali mengerutkan dahinya saat Amira tidak memakan siomay tersebut namun malah memasukkan kotak siomay ke dalam kresek berwarna hitam.

"Tunggu bentar ya Mas,"

Ali masih tidak mengerti apa yang dimaksud Amira. Sampai ia mengamati langkah Amira berjalan. Dan ternyata, Ali tersenyum tipis saat melihat Amira memberikan siomay tersebut ke seorang tukang sapu rumah sakit yang sedang terduduk bersandar di bawah salah satu pohon rindang yang tak jauh dari kantin.

Saat Amira melihat ke arahnya, Ali berpura-pura memalingkan pandangannya ke arah makanan yang ia makan.

"Maaf ya Mas, lama?"

"Tidak apa-apa,"

Bersambung...

Malang, 7 Mei 2020

Whoaa, akhirnya kembali setelah seminggu gak update...
Makasih udah baca sampai sejauh ini dan tetep vote cerita ini!
Komen juga ya...
Pokoknya aku mau ucapin terima kasih sebanyak-banyaknya masih setia stay di lapak ini...
Selamat menjalankan ibadah puasa bagi yang menjalankan 🌸🌸

Nb : Dalam cerita pasti ada typo dan kesalahan kalimat ataupun tanda baca yang tak author ketahui baik sengaja ataupun tidak. Jangan Khawatir ya in shaa Allah author akan perbaiki saat cerita udah selesai dan tahap revisi.

Love you all ❄️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top