BAGIAN 25 - [SULIT] MEMBUKA HATI
Akan sangat sulit ketika telah menetapkan satu orang untuk dicintai dan harus merelakannya pergi. Akan sangat sulit ketika harus dipaksa untuk membuka hati yang tak selaras dengan takdir.
--Amira Azzahra--
💞💞💞
Kamar Ali penuh dengan suara tangisan Aira yang tak kunjung berhenti. Ali kebingunan harus bagaimana lagi untuk menenangkan anaknya yang sedari tadi menangis. Ia tak tahu penyebab anaknya sering menangis. Dengan sedikit kualahan, Ali menggendong Aira dan menggoyang-goyangkan tubuh Aira dengan pelan agar anaknya cepat tertidur dan berhenti menangis. Namun nihil, tangisan Aira bukannya berhenti malah semakin kencang.
"Aira nangisnya udah ya? Papa banyak kerjaan sayang," ucap Ali kebingungan untuk menenangkan tangis anaknya. Ia menggendong tubuh Aira sembari menggoyang-goyangkan pelan tubuh Aira.
Tangan Ali merogoh ponsel yang ada dalam sakunya, ia mencoba menelfon Sang Bunda.
"Hallo, Bunda bisa ke rumah Ali? Ali butuh bantuan sekarang,"
"Bunda lagi di jalan sama adikmu. Kenapa?"
"Bunda bisa kesini?"
"Hmm, bisa tapi tunggu ini bunda lagi di jalan sama adikmu,"
Ali menghela napas lega "Makasih Bun, Ali tutup telfonnya dulu, Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam." Ali meletakkan ponselnya ke atas meja.
Ia lantas menggendong Aira dan mengajaknya ke luar rumah. Alih-alih menunggu Sang Bunda, tangan Ali mengusap-usap lembut pipi sang anak. Dalam lubuk hatinya yang paling dalam ada sepotong rindu yang tak bisa diutarakan dengan jelas. Rindu yang sangat erat ingin ia raih namun tak akan bisa diraih dengan mudah.
Ali menghela napas panjang. Ia menatap manik-manik mata anaknya yang sangat mirip sekali dengan almarhum istrinya, "Vin, gimana kabarmu disana?" gumamnya sendiri sembari mengusap-usap pipi anaknya.
"Gendong anak sambil ngelamun itu nggak baik,"
Ali tersadar dari lamunannya saat sang Bunda menegurnya dari belakang.
"Kenapa?" tanya Sang Bunda sembari melirik Aira yang tertidur digendongan Ali.
"Bunda bisa nginep disini?"
"Loh? La terus yang ngurus ayah dan adikmu siapa?" ucap Bunda yang sedikit terkejut karena Ali tiba-tiba menyuruhnya untuk menginap di rumahnya.
"Kamu ini lho ada-ada saja. Memangnya cucu Bunda kenapa?" tanya Bunda lagi.
"Aira sedikit rewel dari biasanya Bun, untung ini Aira udah bisa tidur. Tadi nangisnya nggak berhenti-berhenti. Ali sulit untuk menenangkannya sendiri semenjak ditinggal Mbok Darmi pulang kampung."
"Sini Bunda bantu gendong," Bunda Tia mengambil Aira dari gendongan Ali dengan pelan-pelan.
"Makannya kamu jangan egois terus menerus, ingat Aira putri kecil kamu itu membutuhkan sosok Ibu yang bisa menyayangi dia. Kamu sendiri baru ditinggal izin Darmi sehari aja sudah kualahan, gimana kalo misalkan Darmi izin satu tahun? Kalau kamu memang benar-benar ingin Aira dan Vina bahagia, segera mungkin mintalah Amira untuk bersedia menjadi istri kamu sesuai dengan permintaan Vina," ucap Bunda panjang lebar pada Ali.
"Kenapa harus Amira?" Ali memotong ucapan Bundanya dengan nada yang cukup keras.
"Ya karena Amira orang yang tepat yang bisa jaga Aira dengan baik. Almarhum istrimu sendiri yang bilang. Harusnya kamu menghargai permintaan terakhir Vina Al,"
"Ali belum siap secepat itu Bunda, Ali juga tidak mencintai Amira."
Bunda Tia mengela napas panjang lagi dan lagi, "Ya sudah terserah kamu, Bunda tidak berhak mengatur hidup kamu lagi. Tugas Bunda hanya mengarahkan mana yang baik dan mana yang buruk."
"Ali tidak mencinta dia. Di hati Ali hanya ada Vina Bun, kalau misalkan Ali menikah dengan dia hanya karena butuh bantuan untuk merawat Aira itu sama saja Ali memposisikan Amira hanya seperti pengasuh bayi bukan seorang istri."
"Ya memang Bunda terlihat egois di mata kamu sekarang karena memaksamu menikah dengan Amira. Bunda memintamu menikahi Amira bukan untuk menggantikan posisi Vina di hati kamu. Memang, ini semua tidak mudah untuk kamu jalani. Bunda juga tidak ada sama sekali niat untuk memposisikan Amira sebagai pengasuh bayi atau apalah. Bunda hanya ingin kamu bahagia Al, tapi sekarang terserah kamu. Keputusan ada di tangan kamu, Bunda hanya ingin kamu bahagia layaknya orang lain yang juga bahagia dengan keluarga utuh,"
Ali menunduk dalam. Setetes cairan bening keluar dari kelopak matanya. Hati Ali benar-benar hancur. Bayangkan saja belum genap satu tahun hatinya terluka menerima takdir bahwa istri yang ia cinta meninggal dunia dan sekarang ia harus dipaksa untuk menikah dengan wanita yang tidak ia cintai. Sangat sulit bagi Ali untuk menerima takdir saat ini. Ia ingin menolak, namun ia tidak bisa egois karena putri kecilnya butuh kasih sayang seorang Ibu. Ia ingin menerima namun hatinya terlalu egois untuk menetapkan hanya satu orang yang dicintainya. Ia tidak mau perdebatan seperti ini merusak hubungannya dengan sang Bunda.
Sebenarnya Ali butuh waktu Bun, untuk memikirkan hal ini. Ucapnya dalam hati yang tak bisa ia utarakan dihadapan Sang Bunda.
Ali meraih tangan Sang Bunda. Ia mencium punggung tangan tersebut dengan lembut, "Ya, Ali akan mencoba membuka hati untuk kebahagiaan Aira,"
".....Dan Vina," tambahnya lirih.
💓💓💓
"
Ra, ini bagus atau nggak?" tanya Jefri sembari menunjuk salah satu hijab instan berwarna dusty pink yang terpajang rapi di rak hijab salah satu toko yang ada di Pasar Besar. Jefri ingat betul jika Amira pernah mengatakan ia sangat menyukai warna dusty pink. Tak heran jika style yang ia kenakan selalu gamis sederhana yang warnanya tak jauh dari warna-warna dusty pink dan hitam.
"Bagus banget warnanya cantik, buat siapa? Umi ya?"
Jefri hanya tersenyum penuh arti ke arah Amira, sedangkan Amira mengerutkan dahinya tidak tahu maksud dari senyuman Jefri.
"Iya buat uminya anak-anakku," jawab Jefri dengan enteng-nya seraya terkekeh pelan.
"Maksudnya?"
Jefri terkekeh melihat sorot mata Amira meliriknya tajam. Ia menggeng-gelengkan kepala pelannya melihat ekspresi Amira yang meliriknya seolah-olah mengintimidasi mangsa.
"Bu, saya beli ini ya?" ucap Jefri menunjuk hijab dusty pink tersebut.
"Alhamdulillah Ya Allah, terima kasih ya Nak? Mau beli berapa?"
"1 cukup in shaa Allah,"
"Ibu bungkuskan dulu ya Nak?"
"Iya Bu,"
"Ini Nak hijabnya. Ibu yakin kalau dipakai istrimu pasti sangat cantik."
"Saya belum punya istri Bu,"
"Lho....Lah ini siapa? Adik?" tanya penjual kerudung sembari menunjuk Amira.
"Teman saya Bu, doakan kami berjodoh ya Bu," Jefri terkekeh saat mengucapkan kata tersebut. Amira meliriknya tajam. Bisa-bisanya Jefri berbicara seperti itu di depan Ibu penjual hijab.
Ibu penjual kerudung terkekeh pelan melihat tingkah Amira dan Jefri, "Ada-ada aja kamu Nak, ini totalnya 75 ribu ya?"
"Ini Bu uangnya, kembaliannya buat Ibu," Jefri mengulurkan uang seratus ribu ke penjual kerudung tersebut.
"Terima kasih ya Nak,"
"Kami permisi dulu ya Bu," ucap Amira sembari menarik ujung lengan kemeja Jefri. Jefri yang tak sadar ditarik Amira langsung terkejut.
"Ra, lepasin Ra..." ucap Jefri meringis saat Amira tak kunjung melepaskan dan tetap menarik Jefri sampai ke tempat parkir mobil. Untunglah ruko penjual kerudung tersebut dekat dengan parkiran mobil. Tak bisa membayangkan jika Jefri harus ditarik Amira berkilo-kilo meter. Sering sekali Jefri menjahili Amira sampai Amira benar-benar marah padanya. Namun, tetap saja Jefri senang marahnya Amira tidak sampai berbulan-bulan. Dan yang terpenting ia tetap berteman baik dengan Amira.
"Saya Jefri perwakilan dari jajaran dokter seluruh Indonesia meminta maaf kepada Ibu Amira Azzahra yang terhormat. Sebagai salah satu tanda permintaan maaf saya, ini buat Ibu Amira," Jefri menunduk dan tangannya mengulurkan tas kresek yang berisikan kerudung yang ia beli tadi ke arah Amira.
Amira terkekeh. Ia menerima kerudung yang Jefri berikan sembali memukul pelan lengan Jefri dengan tas kresek yang berisi kerudung tersebut, "Kamu ini kebiasaan bercanda mulu, males ah...ini kerudungnya!"
"Loh kok dikembalikan lagi, itu buat kamu."
"Beneran Ra itu buat kamu," Jefri meyakinkan Amira.
Dretttt.....Drettt.......Dreeett.
Tiba-tiba ponsel Amira bergetar. Ada panggilan masuk dari Ayahnya. Ia melirik Jefri sekilas dan kemudian mengangkat telfon dari Sang Ayah.
"Assalamualaikum Ayah?"
"Ra kamu dimana?" tanya Sang Ayah dalam sambunga telephon.
"Amira lagi di pasar ini Yah sama Jefri,"
"Udah selesai belum? Kamu bisa pulang sekarang nggak Ra?" pinta Sang Ayah.
"Bisa Yah, tunggu bentar ya setelah ini Amira pulang."
"Yaudah Ayah tunggu, Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam,"
Amira menutup sambungan telepon dari Sang Ayah. Ia baru ingat kalau Ayahnya memesan pakan burung. Pantas saja Ayahnya menelfon dan menyuruhnya pulang. Amira, bisa-bisanya kamu lupa sama pesanan ayah sendiri!
"Pulang yuk Jef! Ayah udah nyariin titipannya,"
Bersambung....
Halo, Assalamualaikum!
Akhirnya bisa lanjut cerita ini lagi ditengah-tengah ngerjain skripsi! Maaf sekali lagi belum bisa tepat waktu buat update cerita Amira.
Doakan bisa terus update sampai ending ya? Maaf sekali lagi gaess...
Dan aku mau ucapin terima kasih buat kalian yang udah setiap baca cerita ini dari part ke part selanjutnya. Terima kasih buat kalian yang udah setiap nungguin cerita ini.
Mungkin author belum bisa kasih cerita yang terbaik namun author bakal belajar lagi buat bikin cerita yang bener-bener dapat feel yang bagus. Semoga suka dan maaf kalo banyak typo....
See you on next part
bye bye.... 😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top