BAGIAN 24 - SURAT TERAKHIR
Langit akan kesulitan bersinar jika bintang meredupkan cahayanya. Seribu bintang tak akan bisa membentuk sebuah rasi yang indah jika mereka kehilangan satu bintang.
🌻🌻🌻
6 Bulan berlalu setelah kepergian Vina, senyum Ali benar-benar hilang. Tidak ada lagi canda tawa di rumahnya. Ali sengaja membeli rumah disalah satu perumahan yang ada di Jakarta karena lebih dekat dengan tempat ia bekerja. Rumah baru Ali tidak begitu jauh dengan rumah orang tuanya. Ia sengaja membeli rumah yang tidak begitu jauh dari orang tuanya, agar sewaktu-waktu jika orang tuanya ingin berkunjung tidak terlalu jauh. Saat ini rumah Ali benar-benar sangat sepi. Dan sampai detik ini ia sangat sulit menerima takdir bahwa orang yang ia cintai telah meninggalkannya selama-lamanya.
Setetes air mata jatuh di atas tumpukan kertas di ruang kerja Ali. Ya, saat ini Ali sedang duduk di ruang kerjanya. Tangannya mengusap-usap lembut bingkai foto yang berisi foto pernikahannya dengan Vina. Rasanya sangat singkat sekali ia merajut asa dengan Vina. Rasanya baru kemarin ia menemukan sebuah titik kebahagian dan saat ini ia harus dihadirkan dengan beribu-ribu kesedihan.
Tangannya mengambil sebuah amplop putih. Amplop ini dari seorang dokter yang menangani Vina. Sebenarnya Ali ingin sekali membuka amplop putih itu. Namun, ia berkali-kali mengurungkkan niatnya untuk membuka surat itu. Mungkin saat ini waktu yang tepat untuk Ali membukanya. Dengan sangat hati-hati, tangannya perlahan-lahan membuka perekat amplop...
Tok-Tok-Tok.....
Terdengar suara ketukan pintu dari luar kamar Ali, Ia menoleh sekilas ke arah pintu sembari menghapus air matanya. Lagi dan lagi ia harus mengurungkan niatnya untuk membuka amplop putih itu. Kakinya rasanya lemas untuk melangkah. Saat Ali membuka pintu kamarnya, tampak seorang wanita paruh baya berdiri sembari menggendong bayi yang berusia 6 bulan sedang menangis dalam gendongannya. Raut wajah wanita paruh baya tersebut tampak khawatir.
"Tu-Tuan, anu Tuan.... Adek Aira badannya panas sekali Tuan. Nangisnya dari tadi ndak berhenti-berhenti. Si Mbok sudah berusaha menenangkannya tapi ndak bisa."
"Ambil semua keperluan Aira Mbok, Mbok Darmi ikut saya bawa Aira ke rumah sakit sekarang!" ucap Ali dan kemudian ia beranjak untuk mengambil kunci mobil yang ada di meja kerjanya.
"Iya Tuan," jawab Mbok Darmi sembari mencoba menenangkan Aira yang menangis digendongannya.
Ya Allah.... ucap Ali dalam hati. Hatinya benar-benar tidak baik-baik saja saat ini. Ia tidak mau kehilangan dua kali orang yang ia cintai. Haruskah ia kehilangan putri cantik satu-satunya buah hati yang ia miliki bersama Vina? Ali tidak bisa berpikir jernih. Pikiran-pikiran buruk terlintas dalam otaknya. Hingga ia tak fokus untuk menyetir mobilnya menuju rumah sakit. Ia mengacak-acak rambutnya dengan kasar. Matanya melirik Aira dari kaca spion tengah mobil, dan Aira masih terus menangis dalam gendongan Mbok Darmi.
Sesampainya di rumah sakit, Ali langsung memarkir mobilnya di tempat parkir yang telah tersedia. Ia bergegas untuk membukakan pintu Mbok Darmi dan mengambil Aira dalam gendongan Mbok Darmi. Sedangkan Mbok Darmi membawa tas kecil perlengkapan bayi.
Ali mempercepat langkahnya menuju IGD dan diikuti Mbok Darmi yang mengekor di belakangnya.
"Tolong anak saya Sus, dia demam tinggi." ucapnya pada salah satu suster.
"Baik Pak,"
Seorang suster lainnya memanggil dokter jaga IGD dan bayi Aira ditangani oleh dokter jaga IGD yang ada di rumah sakit. Mbok Darmi tiba-tiba berlari kecil keluar dari ruang IGD sembari terisak pelan. Ia tidak kuat jika harus berlama-lama di ruang IGD. Ia tak tega melihat banyaknya orang-orang sakit yang terbaring di ranjang ruang IGD. Terlebih lagi ia juga tidak tega melihat majikannya yang sangat terpukul saat anaknya yang belum genap 1 tahun sudah sangat sering mengalami demam tinggi.
Mbok Darmi beranjak dari kursi ruang tunggu. Ia ingin membelikan Ali sebotol air putih di kantin rumah sakit. Namun, langkahnya terhenti saat ia menyadari kakinya menginjak sebuah amplop putih. Ia lantas mengambil amplop tersebut.
"Untuk Mas Ali?" gumamnya.
"Ini Amplop milik siapa? Apa jangan-jangan ini milik Tuan Ali? Ah... Nggak mungkin! Nama Ali di Indonesia kan banyak," ucapnya lagi sembari membolak-baliknya amplop tersebut. Namun ia tak berani membukanya.
"Mbok,"
Mbok Darmi lantas menoleh kebelakang saat ia menyadari Ali memanggilnya, "I..Iya Tuan?"
"Mbok Darmi sedang apa?"
"Ini Tuan, tadi Mbok Darmi menemukan surat, apa ini milik Tuan?" ucap Mbok Darmi sembari tangannya menyodorkan surat ke arah Ali.
Ali mengambil surat yang diberikan Mbok Darmi. Ya, Itu adalah surat pemberian dari Vina.
"Mbok Darmi dapat surat ini darimana?"
"Di sini Tuan, mungkin surat itu tadi jatuh." sembari menunjuk lantai tempat ia menemukan surat tersebut.
"Makasih ya Mbok... Surat ini milik saya."
"Saya ada urusan sebentar, saya titip Aira!"
Ali meninggalkan Mbok Darmi yang masih mematung di depan ruang IGD. Ia berjalan mempercepat langkahnya. Sesampainya di depan sebuah taman rumah sakit, Ali mengambil duduk di salah satu kursi panjang yang ada di taman. Tangannya perlahan-lahan mengusap lembut amplop putih yang berisi surat dari Vina. Ia memberanikan membuka perlahan-lahan amplop tersebut. Manik-manik matanya sudah berkaca-kaca sebelum surat itu dibaca olehnya.
Untuk Mas Ali
Suamiku Tercinta
Mas, Apa kabar disana? Lama ya kita nggak kertemu... Mas kapan pulang? Aku sangat merindukan Mas Ali. Lihat deh Mas, saat ini aku bersama dedek kecil yang ada di perutku. Dia aktif sekali, aku udah nggak sabar ingin melihatnya. Aku berhasil mas, Aku berhasil menjaganya sampai ia benar-benar tumbuh di dalam perutku. Meskipun banyak sekali rintangan yang harus aku hadapi selama ini. Mas Ali kapan pulang? Di rumah, aku selalu ditemani Amira Mas, aku sampai kasihan dan nggak enak hati sama Amira. Selalu aku repoti tiap hari. Dia baik banget Mas. Beberapa hari ini aku hampir putus asa Mas, terkadang aku selalu berpikiran buruk jikalau nanti aku tidak bisa menjaga anak kita dengan baik. Terkadang aku juga berpikir aku akan berpisah dengan anak kita dan kamu Mas, Aku beberapa hari ini sangat takut. Pikiran itu selalu saja muncul. Mas, kalo memang apa yang ditakdirkan Allah kita tidak bisa bersama dalam waktu yang panjang, tolong jaga anak kita ya? Aku sangat mencintainya. Tolong berikanlah Ibu pengganti yang baik untuk dia. Aku ingin dia bahagia.
Mas, bolehkan aku meminta 1 permohonan pada Mas Ali? Mas Ali jangan marah ya? Janji? Mas, Aku....Kalau nanti takdir kita bersama tidak sepanjang yang kita rencanakan, Mas Ali harus tetap bahagia ya? Jaga anak kita. Nikahi Amira Mas, Aku tahu dia orang yag tepat dan baik. Dia bisa menjaga anak kita seperti dia menjagaku selama Mas Ali di luar negeri. Maaf ya Mas, selama ini aku sering merepotkan Mas Ali. Aku sering sakit-sakitan. Aku belum bisa jadi istri yang baik untuk Mas Ali. Aku mohon Mas Ali mau mengabulkan 1 permintaanku itu. Sekali ini saja ya Mas, demi aku dan anak kita bahagia.
Salam sayang
Istrimu
Ali menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya dengan apa yang ia baca dalam surat tersebut. Dadanya seakan-akan teriris pisau tajam. Mana mungkin ia harus menikah dengan orang lain yang tidak ia cintai meskipun dia sangat baik dengannya? Tidak mungkin. Sangat tidak mungkin. Bagaimana bisa? Bagaimanapun juga cinta tidak bisa dipaksakan begitu saja.
"Tidak Vin, Aku tidak bisa. Itu permintaan konyol Vin, Maaf!"
"Aku tidak mencintainya Vin, aku tidak mau kamu tergantikan dengan dia," ucapnya lagi sembari meremas kertas surat yang ia baca.
Tiba-tiba sebuah tangan memegang pundak Ali dari belakang, "Ali," panggilnya dengan nada lirih.
Ali menengok ke belakang memastikan siapa yang telah menghampirinya.
"Bun..Bunda, sejak kapan Bunda ada disini?"
Sang Bunda hanya tersenyum mendengar pertanyaan dari anaknya, "Bunda tahu kabar cucu Bunda sakit dari Mbok Darmi. Mana mungkin Bunda membiarkan cucu Bunda yang lucu tidak terurus dengan baik oleh Ayahnya." ucapnya Bunda Tia dengan lembut sembari mencubit pelan lengan Ali.
"Surat itu sudah kamu dapatkan dari Dokter yang menangani almarhum istrimu? Syukurlah kalau begitu. Bunda tidak perlu memberitahumu secara langsung karena kamu telah membacanya,"
"Maksud Bunda?" Ali mengerutkan keningnya, tidak mengerti apa yang sebenarnya diketahui dari Bundanya itu.
"Bunda tahu tentang surat itu, surat yang ditulis almarhum istrimu di depan mata Bunda saat ia di rumah sakit. Tiba-tiba istrimu meminta sebuah kertas untuk menulis surat dan ingin sekali diberikan ke kamu. Almarhum istrimu banyak sekali cerita dengan Bunda, sampai surat itu aja istrimu juga menceritakannya ke Bunda. Dan sekarang ternyata ketakutan itu benar-benar terjadi...."
Bunda Tia mengela napas panjang sebelum melanjutkan berbicara, "Bunda tahu ini memang berat untuk kamu Al, tapi kamu juga tidak boleh egois dengan keadaan sekarang. Kalo kamu egois, memangnya kamu menjamin Aira akan hidup bahagia tanpa Ibu sedangkan kamu sendiri seorang Ayah sangat sibuk dan tidak ada waktu dengannya. Bunda dan Ayah nggak bisa selalu ada 24 jam untuk Aira. Bunda dan Ayah punya kehidupan sendiri Al.... Kamu sudah dewasa, seharusnya kamu bisa memikirkan ini semua....."
"Bunda percaya kamu bisa membuat anakmu dan Almarhum istrimu bahagia dengan keputusan dewasamu," ucapnya seraya menepuk-nepuk pundak Ali dan mencoba untuk memberi semangat untuk anaknya.
"Ta...Tapi Bun,"
Bersambung.....
Malang, 30 September 2019
🌸🌸🌸
Hai guys, maaf ya baru sempat update...
Author lagi banyak banget tugas kuliah yang harus diselesaikan...
Selamat membaca! maaf jika part ini kalian belum dapat feel..
Tunggu part selanjutnya ya?
Terima kasih kalian sudah membaca sampel sejauh ini....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top