BAGIAN 13 - HUJAN
Amira menghela nafas panjang, ketika mendengar kata yang diucapkan Ali saat menjawab sambungan telfon. Ia sudah menebaknya bahwa yang tengah menelfon Ali adalah Vinanda. Ada sedikit rasa kecewa pada hati Amira. Namun ia kembali menepisnya. Apa hak Amira memiliki rasa kecewa terhadap Ali?
"Apa Vin? Aku tidak bisa mendengar apa yang kamu katakan." ucap Ali mengeraskan suaranya. Tak lama kemudian sambungan telepon terputus. Mungkin karena gangguan jaringan jadi suara Vina tidak terdengar jelas.
"Ada apa?" tanya Amira pada Ali yang masih fokus pada ponselnya.
"Vina menelfon tapi suaranya tidak jelas." jawabnya yang kemudian mengambil duduk di samping Amira.
"Mungkin ada gangguan jaringan Al,"
Ali mengangguk saat menatap Amira. Kemudian ia mengalihkan pandangan ke ponsel miliknya. Ia mencoba menghubungi Vina. Namun tak ada jawaban. Ia juga mencoba mengirimkan pesan singkat pada Vina tapi tidak terkirim. Ia menghela nafas panjang dan melirik jam tangan yang melingkar di tangan sebelah kirinya, "Ayo lanjut perjalanan ke pasar!"
Ali beranjak dari duduknya. Begitu pula dengan Amira. Ali berjalan terlebih dahulu sedangkan Amira hanya mengekor di belakang. Ali melambaikan tangannya saat angkot tujuan mereka berjalan mendekatinya. Selang beberapa detik angkot tersebut berhenti tepat di depan mereka. Ali mengisyaratkan Amira untuk masuk terlebih dahulu. Namun Amira tak kunjung masuk ke dalam angkot. Ia malah menunduk dan tak berani masuk ke dalam angkot.
"Mir," panggilnya pelan ke arah Amira.
Amira menoleh, namun beberapa detik langsung menunduk lagi.
"Mir, tidak ada apa-apa. Percayalah!" Mau tidak mau Amira memberanikan dirinya untuk masuk ke dalam angkot. Dan kemudian disusul oleh Ali. Ali duduk di samping Amira yang masih diam dan tatapannya tampak gelisah. Mungkin saat ini Amira masih trauma kejadian sejam yang lalu.
Angkot berjalan sedikit cepat. Sang Sopir berkali-kali membunyikan klaksonnya untuk mencari penumpang. Mata Ali mengabsen tempat-tempat yang dilewatinya dalam kaca jendela angkot. Selang beberapa menit, Ali mengisyaratkan sang sopir untuk berhenti. Ia dan Amira kemudian turun dari angkot dan berjalan menuju pintu masuk.
"Mau belanja apa? Sayur? Ikan?"
Amira mengangguk. Retinanya memperhatikan suasana ramai yang ada di sekitarnya. Ali ternyata sangat mengetahui banyak tempat di Semarang. Tanpa disadari senyum tipis Amira mengembang.
"Ayo masuk!" titah Ali pada Amira.
Ali dan Amira menelusuri penjual demi penjual. Ramainya pasar membuat para pembeli berdesak-desakan. Tubuh Amira sempat tersenggol beberapa orang yang berlalu lalang.
"Al, itu ada sayur," ucap Amira saat matanya menemukan pedagang sayuran. Ali dan Amira menuju pedagang sayur tersebut.
"Mau nyari apa Nak?" tanya pedagang sayur sembari tersenyum simpul pada Amira dan Ali.
"Em, Kangkung Bu 5 ikat, sayur sop 2 bungkus, bawang putih bawang merah..."
Amira menyebutkan keperluan yang ingin dibeli. Ia menunjuk satu persatu bahan masak. Sesekali meminta pendapat Ali untuk membeli apa lagi yang diperlukan, "Sudah semua Nak?" tanya sang penjual sembari disela-sela memasukkan bahan masakan yang dibeli Amira.
"In shaa Allah sudah Bu,"
"Semua totalnya Rp. 84.000."
Amira mengeluarkan uang dalam sling bag miliknya. Dan menyerahkannya pada penjual tersebut. Di waktu yang sama penjual tersebut juga menyerahkan bahan-bahan yang dibeli Amira.
"Terima kasih ya Nduk, Ini suaminya ya? Ganteng banget Nduk, cocok sama nduk cantik."
Tutur penjual sayur yang mengira bahwa Ali adalah suami Amira.
"Bu-bukan Bu, dia teman saya bukan suami saya." Amira berusaha menjelaskan pada penjual sayur yang mengira bahwa Ali adalah suami Amira. Ali hanya tersenyum ramah pada sang penjual sayur tersebut.
"Oh, Ibu kira kalian sudah menikah. Maaf ya Nduk?"
"Iya Bu tidak apa-apa,"
Amira dan Ali beranjak meninggalkan tukang sayur tersebut. Mereka kembali menyusuri para penjual yang saling menawarkan jualannya. Mereka berjalan melewati pintu keluar pasar, hingga mata Ali menemukan gelang cantik yang di jual seorang kakek tua di pinggir trotoar. Kakek tua tersebut duduk hanya bealaskan tikar kumuh. Ali berjalan ke arah kakek tua tersebut. Dan Amira hanya mengekor kemana Ali berjalan.
"Pak, gelang ini berapa?" ucap Ali seraya memegang gelang berwarna abu-abu yang dilengkapi beberapa aksen manik-manik silver. Dan menurut Ali, gelang itu sangat indah.
"10 ribu Nak,"
"Bagaimana Mir, bagus nggak?" tanya Ali pada Amira.
"Ba-bagus Al,"
"Gelang ini ingin aku berikan pada Vinanda. Mungkin harganya tak seberapa. Tapi aku yakin, ia akan terlihat cantik saat memakai gelang ini. Semoga ini juga menjadi rejeki kakek, kasihan Beliau jualannya masih banyak."
"Aamiin," ucap Amira meng-Aamiin-i doa Ali. Sesak, sesak sekali. Batin Amira saat Ali mengatakan kalimat tersebut. Amira berusaha tersenyum di hadapan Ali. Meskipun kenyataanya menyakitkan. Ah sudahlah, mungkin saat ini waktu yang tepat untuk berhenti mencintai dalam diam lagi. Memang sangat sulit melakukannya, tapi inilah yang harus Amira coba.
Tes...
Amira melihat ujung lengan bajunya yang tiba-tiba terkena tetesan air dari atas . Ia melihat ke atas tampak langit diselimuti mendung yang sangat pekat. Sepertinya akan hujan deras. Ali langsung membayar gelang yang dibelinya. Tanpa aba-aba sang kakek juga memasukkan dagangannya dan bersiap-siap untuk berteduh.
Tetes demi tetes air hujan turun hingga menjadi kumpulan gerimis yang berjatuhan. Ali langsung mengisyaratkan Amira untuk segera berteduh. Memang saat ini adalah musim hujan, jadi hampir setiap hari entah itu pagi, siang atau malam hujan akan datang. Amira dan Ali sedikit berlari mencari tempat untuk berteduh. Hingga mata Ali menemukan sebuah ruko di pinggir jalan yang masih tutup. Ali memutuskan untuk mengajak Amira berteduh disana.
"Gimana pulangnya Al, kasihan teman-teman pasti nunggu kita." ucap Amira tampak gelisah dan cemas karena ia hampir 3 jam belum kembali ke rumah.
"Kita nunggu hujan reda," tutur Ali.
Amira menghela nafas panjang. Ia masih tampak gelisah dan memikirkan teman-temannya yang belum sarapan. Tangannya menggengam erat plastik kresek yang berisi beberapa bahan masakan.
"Hachisss," Amira terlihat bersin-bersin beberapa kali. Ia adalah tipe orang yang tidak kuat akan suhu dingin. Terlebih lagi saat musim hujan seperti ini. Tubuh Amira akan sangat mudah terserang flu.
"Ini jaketku, pakailah!" ucap Ali menyodorkan jaket bombernya kearah Amira. Amira menggeleng pelan sembari tersenyum.
"Tidak usah, pakai saja!" tolaknya secara halus.
"Kamu lebih membutuhkannya dari pada aku,"
Karena merasa tidak enak dengan Ali, Amira memutuskan untuk mengambil jaket tersebut dari tangan Ali. Kemudian ia memakainya. Ia memejamkan matanya sejenak dan berpikir, Bagaimana ia menyingkirkan perasaan yang tidak seharusnya hinggap di hatinya.
Ayolah Amira! kamu telah melampaui batas mengharapkan seseorang yang bahkan tidak tahu akan perasaanmu. Batin Amira.
"Te-terima kasih!" ucapnya pelan pada Ali.
"Saat hujan seperti ini aku merindukan Ibu dan Ayahku di rumah, aku bahkan tidak tahu mereka sedang apa saat ini. Terkadang sedih sekali, jika membayangkan mereka bekerja sangat letih demi membiayai kuliahku, kuliah Kak Fatih, dan Kak Aisyah. Aku terkadang iri Al sama kamu...," ucap Amira menggantung. Ali yang merasa namanya disebut, lantas menoleh ke arah Amira. Ia mengerutkan dahinya tak tahu apa maksud Amira.
"Kamu selalu dapat membahagiakan orang tua kamu dengan berbagai prestasi yang kamu peroleh. Sedangkan aku, banyak sekali kesalahan yang aku perbuat dan itu sangat mengecewakan orang tuaku. Aku belum pernah melihat orang tuaku tersenyum bahagia atas prestasi yang aku peroleh." tanpa disadari mata Amira berkaca-kaca. Ia tak melanjutkan kalimatnya lagi. Amira menunduk dan mengusap sedikit air matanya yang sempat menetes.
"Tak baik Mir berkata seperti itu, semua orang itu punya potensi masing-masing. Kamu punya potensi yang harus kamu asah untuk dapat mencapai keberhasilan. Kita punya banyak kesempatan untuk membahagiakan orang tua kita saat ini. Jangan hanya terpaku pada rezeki orang lain. Karena semua sudah di atur Allah. Rezeki, maut dan jodoh."
Amira menghela nafas panjang. Hal yang paling Amira kagumi adalah pemikiran Ali begitu dewasa saat ia memberi nasehat. Entah itu saat ia masih menginjak sekolah dasar dan sampai saat ini ia masih bersahabat dengan Ali. Ingin rasanya Amira menepis perasaannya pada Ali dan bersabahat dengan Ali tanpa melibatkan hati. Tapi itu sangat sulit sekali.
Allahumma shoyyiban naafi'an . Ya Allah, jadikanlah hujan ini hujan yang membawa manfaat. Ucap Amira dalam hati ditengah-tengah berteduh saat hujan semakin deras.
Bersambung...
Malang, 25 November 2018
Akhirnya update juga Si Amira, untuk Pak CEO Faiz dan mbak Fahira aku pending dulu yah..!
Semoga suka dan bermanfaat..! Jangan lupa vote pencet bintang orange pojok kiri bawah yah! jangan lupa juga follow author yang belum follow..! Jangan lupa tambahkan ke perpustakaan kalian untuk mengetahui notifikasi update part selanjutnya..
See you next week in shaa Allah...
Mak nya Amira pamit...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top