Ternyata


BAB 24

Aku berjalan lunglai tak bertenaga usai perdebatan kecil, aku mirip orang tak tau arah.

"Loh, Om langsung pulang," sapa Rudi, anak kecil itu menyapaku dengan riang, aku menggeleng pelan, "Om pulang dulu ya, kamu jagain Ibumu yang baik jagan nakal-nakal." Ucapku sebelum berlalu dari sana.

"Pas kita sekolah, kamu ingat kita satu SMA, tentu kamu bakal ingat bukan, tapi aku juga ingat aku hanya di buat bahan taruhanmu biar ngak di Bully kakak kelas, aku pikir harusnya aku mikir kesana," Damar mengigit pipi dalamnya, sepintas kenangan itu teringat lagi.

"Harusnya aku gak pernah suka sama kamu, yang deketin aku aja demi kamu gak di Bully lagi, kamu tau, kamu itu pengecut, itu kenapa aku benci sama kamu, kamu bisa datang peri dan se-enak kamu demi kesenangan kamu, silakan pergi sesuka kamu, aku akan jadi Ibu buat Rudi dan Damar tanpa belas kasian kamu lagi." Aminah beranjak masuk ke dalam rumah tanpa melihat bahwa Damar, pria itu tengah menahan luapan air mata.

Mataku tiba-tiba berair tanpa bisa aku bendung, berukur kini aku sudah dalam teras kawasan rumah keluargaku, suara teriakan kakak perempuaku begitu heboh menghampiriku segera menggoncang badaku begitu khawatir, rasanya kian pening kepalaku.

"Aku, aku jahat ... aku gak bisa ngomong soal dia, aku gak kayak dia omongin."

Raut bingung kakakku nampak jelas, dia khawatir namun juga mencerna apa isi kalimatku, rasanya hatiku ikut hancur.

* * *

Seragam Damar muda nampak kusut di dukung beberapa luka memar menghiasi permukaan kulitnya.

"Udah, nangisnya gitu aja kok sedih," ledek Rudi kala itu menjabrikan rambutnya nampak menantang gravitasi bumi. Kotak P3K langsung menyeruakan bau etanol serta bauk khas minyak kayu putih tersimpan rapi di sana.

"Sini, aku beresin lukamu, kenapa juga kamu pasrah aja jadi korban risak tuh kakak kelas," kesal Radit mendumel, Damar hanya bisa mendegus lemah, dia pasrah dengan apa dia alami sekarang.

"Ya, mau gimana, aku bisanya begini pasrah ... emang aku bisa ngelawan mereka sendiri," bela Damar kala itu gamang, Radit nampak ingin kembali memberi petuah kebenaran namun ia telan bulat-bulat saja vokalnya untuk menasehati ke bodohan temannya ini, toh, dia juga tak seberani superman untuk membela temannya melihat postur badannya juga hanya kurus tersisa berut yang bulat mirip kendi, alat minum orang jaman dulu.

"Terus, kau mau ngikutin cara kakak kelas itu buat deketin, siapa itu—"

"Aminah." Imbuh Damar mengoreksi.

"Iya itu, anak yang rangking 3 ke belakang itu kan." Ingat Radit kala mendengar gerutuan salah seorang guru beitu sabar melihat angka minus tertera di lembar jawaban sosok yang sama.

"Kamu, mau nembak dia? Kalau emang kamu mau nyoba buat mainin dia jangan lah, kamu gak punya hati." Kata Radit menohok, setibanya Radit tau teman sejawatnya ini terluka akibat perundungan dan di tambah syarat aneh dari sang preman sekolah untuk memacari Aminah, tentu hal itu Radit tolak, dia tau etika dan dia mengerti Damar orang yang tau batasan.

"Aku emang gak bisa ngapa-ngapain pas di bully, inget kata bapakku 'gak usah sombong, tuhan yang bales' tapi aku juga binggung, aku suka sama dia juga," katanya sembari menirukan perkataan Bapaknya kini terbaring lemah.

"Jadi, perempuan di angkot itu dia?!" Rudi membelalakan mata sembari menutup mulutnya tanda tak percaya, dunia se-sempit ini.

Damar menaik turunkan kepalanya, membenarkan pernyataan Radit barusan, Radit ikut mendudukan dirinya di sebelah ranjang kosong kawannya ini, merangkul sok mesra pada Damar yang perbedaan tinggi bereka cukup jauh.

"Tapi apa ngak keterlaluan, kamu bisa lapor guru dari pada ngomong suka sama Aminah, dia bakal kecewa sama kamu pastinya."

"Aku gak punya keberanian buat bilang aku suka sama dia, tapi kalau aku di paksa sama tuh preman sekolah aku gak tau aku punya keberanian sekaligus alasan buat maksa diriku ini maju."

"Heh, alesan." Cipir Radit memanyunkan bibirnya bak bebek kepedesan. "kalau kamu ngebuat bully itu sebagai dorongan biar kamu nekat, itu bukan dorongan tapi coba kamu tanya diri kamu sendiri, kamu takut apa kamu bener-bener berani maju buat ngomong sebenernya." Tutur Radit menahan kepalan tangannya untuk tidak memukul tengkorak kepala temannya ini, biar lebih beres.

"Terserah kamu, dah ... aku cuman mau ngingetin, kalau dia tau dia bakal kecewa banget sama kamu.

Damar menelan air liurnya membayangkan dia akan di benci oleh Aminah.

Hari yang di tunggu pun tiba, damar mencoba mendekati Aminah kala itu di kantin tentu sesuai ekspetasinya, di tolak.

Hari lainnya juga mirip sampai para brandal lelah sendiri karena Damar sangat fokus mengejar cintannya bahkan tak mempedulikan para preman sekolah.

"Kamu harus bersukur, kayaknya kami udah lelah nuruh kamu nembak si siswi itu, kamu kami lepas deh, muak juga malah liatin kau tak punya mau." Maki si ketua preman

Preman lainnya yang Damar pikir sampingannya suka ngondek juga berseloroh, "Kayaknya kamu udah gak perlu ngejar si cewek itu, kami juga bakal lulus sekolah tahun ini, jadi gak perlu lagi deh, ya."

"Ngak mau! Saya tetep bakal ngejar dia." Putus Damar percaya diri dengan apa yang dia katakan.

"Gendeng kamu, udah hampir setahun lebih tetep mau sama itu orang, gak canti amat cari yang lain, aku malah kasian ke kamunya." Tegur si preman mulai punya rasa iba.

Begitu hari berlalu Damar tetap mengejar cinta Aminah hingga suatu kali dia mencoba menyatakan cinta ke sekian kalinya sebuah kalimat ambigu terucap dengan gamblag dari Aminah namun membuat Damar tak begitu nyaman akhirnya.

Ruang kelas yang kosong menyisakan Damar serta Aminah, sosok teman Aminah telah menunggunya di luar pintu sejak Damar meyakinkan bahwa dia tak akan berbuat macam-macam dengan sobatnya tersebut.

"Ada apa lagi, kemaren belum cukup." Ketus Aminah menelisik tajam

"Aku pengen jadi pacar kamu," jawab Damar jelas.

"Udah aku bilang aku gak suka kamu! Jangan maksa."

"Tapi kamu baik sama aku," suaranya berlahan memelan.

"baik, belum tentu suka, Dam. Kalaupun aku suka sama kamu, aku gak bakal suka sama pengecut, aku gak suka sama orang yang penakut dan jadiin orang lain bahan mainan, itu egois dan orang kayak kamu itu harus aku hindari," tegasnya menatap Damar nyalang airmatanya tak bisa di bendung sangking emosionalnya saat itu.

Damar terdiam tak bisa mencerna kalimat Aminah, seolah dia menyadari tindakan kakak kelas mereka terhadap dirinya.

"Harusnya, aku bilang sama dia ..., sukaku ini bukan karena di paksa, ini salah paham." Aku memeluk erat lengan Kakak perempuaku, kini kami tengah duduk di dalam rumah, rasanya sesak, apa aku nampak seperti pria bajingan bayangan atas perkataan Radit saat itu harusnya kau dengarkan dengan seksama serta aku lebih terbuka dengan Aminah.

"Tolong, cerita jangan begini aku bingung, Dam." Tutur kakakku halus, entah begitu saja aku akhirnya mulai mau menjelaskan duduk perkara dari salah paham dan kejadian belasan tau silam saat masih menjadi remaja tangung.

Kakaku nampak menahan rasa kesalnya tapi dia msih duduk denagn tenang di tematnya, tau aku sebagai terdakwa yang salah di sini.

"Jujur kamu keterlaluan, serius, kamu juga gak pernah bilang kamu di rundung sama kakak kelasmu, tau begitu aku tendang mereka satu-satu." Katanya riangan masih terlintas kesal di dalam vokalnya, "Tapi bagaimana dia gak salah paham, orang kamu gak pernah cerita dan kalau aku jadi Aminah mana mau sama pria kok yang letoy, di bully manut apalagi dia mikir dijadikan bahan taruhan, siapa yang gak marah."

Aku mematuk-matuk, kakaku benar, Radit juga benar. Kepalaku terlalu keras buat mendengarkan mereka.

"tapi aku rasa Aminah tersulut emosinya karena kamu keluar sama sepupumu, terus emosinya numpuk dia keluarin unek-uneknya, kuncinya cuman satu, komunikasi."

"Tapi dia udah marah duluan," cetusku melemah, membayangkan dia yang tadi penuh emosi.

"Coba kamu pikir, kamu udah berhasil deketin dia terus ilang tiba-tiba, di tambah liat kamu sama yang lain ada lagi pikirannya mikir anaknya yang lagi sakit, Dam. Kami cewek itu pikirannya gak kayak cowok yang mikirnya cuman satu kelar kami mikiranya itu buannyakkk, masak nasi aja di sambi ngepel, nyuci, ngurus anak di sambi ngurus suami, makannya dan tetek bengek lainnya, gak segampang sekarang emosi terus lupa, kadang di pendem baru di keluarin, lah. Dia itu numpuk emosi banyak terus gara-gara kamu nyerah kamu mau lepas tangan begitu aja, alah cemen kamu."

Aku terpaku oleh kata-kata kakaku, Mbakku ini kalau udah ngomng bisa nancep.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top