Takut
BAB 28
"Jadi gimana," beo Damar mengulang kembali.
"Kayaknya kita harus ngobrol sama anak-anak dulu." Balas Aminah mentap teduh, pandangannya lurus menatap rimbunnya tanaman dalam pot mungil.
Damar menganguk, setuju. "Apa mereka bisa menerima aku ya?"
Aminah mendengkus geli, "Aku pikir kau tau sesuatu."
"Hah, aku tau apa?" bingung memikirkan apa yang di maksud Aminah, memangnya dia tau apa, plongoh Damar.
Aminah mengkup pipi tirus Damar, "Mereka suka sama kamu," tangannya kemudian melipat di depan dada, Damar nge-freez di tempat, "Kau sungguhan, beneran." Kata Damar beruntun mencari kesungguhan di sana, "Apa aku terlihat bohong?" Aminah mendelikan matanya seolah akan keluar.
Damar merengut dengan gelengan pelan, bibirnya mengerucut runcing membuat Aminah gemas ingin mengareti bibir monyong damar dengan satu karet, kalau dua karet tandanya pedas.
"Yang beneran, mereka nerima aku?" Damar mengosok telapak tanggannya ke celana jeansnya, "Rudi pernah menunjukan sikapnya yang agak posesif sama kamu, dia beneran sayang sama kamu, ya."
"Iya lah, aku Ibu mereka aku yang lahirin Rudi dan sekarang aku punya Didin."
"Soal Didin, kamu udah adopsi dia secara resmi,"
"Belum, aku ngak kepikiran, aku bahkan belum pernah sekali pun melihat seperti apa orang tuanya, yang aku tau dia di buang oleh ibunya, jadi aku cuman pengen ngerawat Didin sama kayak aku ngerawat Rudi."
"Aku lihat kamu sayang banget sama Didin," jujur Damar memberi sebuah opini
"Memang, dia itu lucu. Hidungnya suka meler kalau pas kelaparan sama panik pokoknya dia itu ajaib aja bisa bikin suasana rumah ngak sunyi lagi."
"Apa kamu ngak takut kalau suatu saat Ibunya nyariin dia terus ngambil dia lagi."
"Apa-apaan, enak banget udah buang anak terus di minta lagi, apa ngak mikir tuh anak makan apa, masih hidup atau ngak, bisa tidur di tempat kayak apa." Aminah mendengkus tak suka mengingat betapa menyedihkannya Didin.
"Tapi kamu kan belum punya kekuatan di mata hukum kalau pun nanti dia akan di minta orang tuannya lagi," pelan Damar. Aminah menyadari satu hal tersebut, ketakutannya kian membesar ketika membayangkan Didin harus kembali pulang ke rumahnya.
"Aku ngak bisa bayangin," lesu Aminah.
"Kalau begitu kau harus pikirkan untuk mengadopsi Didin harus sesuai negara dan ketentuan."
"Jadi kau pengen nikah biar aku bisa adopsi Didin," tawar Aminah memancing tawa serta semburat pinky
"Yah, itu sekalian." Selorohnya lugu, "kalau jadi Aaminin aja, Min."
Tawa mereka pecah, menertawai solusi yang cukup relatif cukup aneh, Aminah pikir.
"balk lagi deh, tanya Anak-anak dulu gimana maunya dan butuh adaptasi untuk memikirkan kedepannya," ujar Aminah menghelas nafas, "Kita udah sama-sama dewasa, terlalu lama membuang waktu untuk status 'pacaran' terlalu naif, gak cocok juga sama kamu yang gak bisa kalau gak liat cowok ganteng." Itu suara milik Damar.
"Siapa yang genteng?"
"Tuh, cogan korea, eh. Satu lagi, kamu nerima aku gini kan, aku gak seganteng oppa mu itu, tapi setidaknya aku gak bikin kamu keluar uang buat nafkahi aku." Cetus Damar, Aminah menganguk menahan senyum tengah mengembang.
"Ya, kamu betul."
Suara perempuan mengintrupsi obrolan keduanya, "Min, ini udah malem banget, gimana kalau kamu nginep di sini aja, anak-anak udah di pindahin ke kamar tamu, mereka udah ngantuk banget tuh," Aminah mendadak keki, benar saja matanya tengah melirik ke arah jam dinding dalam rumah masih dapat dia lihat, jam sudah menunjukan 9 malam. "Apa ngak ngerepotin Mbak, aku bisa bagunin anak-anak buat pulang,"
"Jangan, kamu tidur aja sekalian sama anak-anak di kamar tamu, besok pagi makan di sini sekalian." Putus Bu Tarno sepihak langsung berlalu dari sana membiarkan dua manusia itu kasmaran.
Aminah harus memutar otaknya warungnya nanti jika dia belum prepare dari subuh masakannya pasti akan tertunda, bersukur beberapa bahan sudah dia siapkan sebelumnya mungkin hanya akan ada beberapa menu bisa ia sajikan untuk besok.
Damar mengantarkan Aminah di depan pintu berwarna abu-abu, berucap pamit tanpa ada kata romantis terucap tapi keduanya saling tahu jika tanpa berucap siratan dalam mata kedua anak adam-hawa tengah berbunga-bunga.
Dalam satu atap berbeda bilik tempat mereka merebahkan diri, Damar tengah berguling-guling menengelamkan suaranya dalam bantal, sosok perempuan dua anak itu sendiri tengah kelimpungan mencari sudut tidur di pinggir kasur sisanya telah di kuasai duo kurcil sudah di telan alam mimpi.
Pikiran-pikiran bertapa konyolnya dia serta kelucuan Damar membuatnya inggin mengoyak sesuatu, seperti bantal ileran bergambar pria favoritnya di rumah. Namun hal inggin mengoyak sesuatu harus Aminah tahan, dia tak mungkin merusak barang di rumah orang lain 'kan.
"Huff, Bu, suaramu kedengeran." Keluh Didin mengusak matanya merasa tergangu suara-suara aneh dari Ibunya serta tubuh Aminah yang satu ranjang dengan mereka terus bergerak mencari posisi.
"Eh, maaf-mafa, Din, tidur lagi ya." Aminah mengusap helaian rambutnya, obrolan nya dengan Damar tadi tiba-tiba menjadikan Aminah teringat lagi, takut akan suatu saat akan di pisahkan dengan Didin yag kini ia juga sayangi bak anak sendiri.
"Din,"
"Hemm," sahut Didin setengah sadar.
"Ibu sayang kamu," ujar Aminah. "Didin juga sayang, besar-besar sama Ibu." Ucap Didin sebelum kembali ke dunia mimpi.
Suara ceria seperti tadi malam kembali terulang ketika pagi hari ini, tawa anak kecil serta obrolan ringan antar permpuan terjadi di atas tempat makan, menyantap berbagai menu di hidangkan.
"Aku pamit dulu, ya mbak." Pamit Aminah seusai mereka menikmati sarapan pagi, tentu hal itu cukuo berat bagi Bu Tarno, dia sudah terlajur jatuh cinta dengan kelucuan Didin serta kedewasaan Rudi.
"Hati-hati, ya." Pukas Damar merelakan Aminah menaiki si roda dua.
Kedaraan mereka meluncur begitu mulus melewati terjalnya krikil jalan desa.
"Nah, buruan mandi."
"Tadi udah di rumah Om Damar," elak si kecil di angguki oleh yang tertua setuju.
"Emang Ibu gak tau kalaian males mandi, dah cepet mandi ganti baju." Suruh Aminah mendorong pelan anaknya masuk ke daloam rumah untuk bergegas mandi, beruntung kemarin hari sabtu, minggu tak perlu bagi Rudi mengemasi buku berangkat ke sekolah.
Sebagaimana mestinya Aminah membereskan kamar putranya, kebiasaan sehari-hari sekedar menyapu lantai, sebuah benda berwarna lucu bertengger di atas meja Rudi, ingatannya melalang buana dia pernah memergoki kedua anaknya tengah menulis sesuatu dalam toples, Aminah dengan ke isengannya membuka lipatan kertas warna-warni tersebut.
Beberapa kata dan kalimat dari Rudi serta Didin untuk kebahagiannya membuat dia penuh haru.
[Untuk, Ibu Aminah, yang udah mau jadi Ibunya Didin, makasih. Didin sayang Ibu sama Kaka Rudi, jangan tinggalin Rudi kayak Ibunya Didin ninggalin Didin dulu di pasar]
Sederet kertas terbubuhkan tinta membuat Aminah tak kuasa menangis, dia buru-buru membereskan sedikit kekacauannya agar anak-anaknya tak curiga bergegas pergi memasuki kamar miliknya, tak di pungkiri akhirnya airmatanya tumpah ruah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top