Senyum
BAB 17.
Aminah turun dari kursi penumpang di susul oleh Damar mengekor dari belakang, Didin bebarengan Rudi serta sosok paling dewasa nampak menungui mereka sedari tadi menunggu di beranda rumah.
"Udah selesai mainnya?"
"Makasih ya Rud, mau neminin anak-anak."
"Jangan makasih doang, tadi nih bocah makannya banyak sampe tekor dompetku, nanti ganti." Sahut Radit cerceloteh pada Damar, Aminah merasa tak ada kaitan dengan Damar segera menyela obrolan pada lelaki di sana.
"Aku ganti, maaf kalau anak-anak makannya emang gak tau diri," seloroh Aminah mengeluarkan dompet segera di tahan oleh Damar, "Aku yang minta tolong sama Radit, udah bukan tangung jawab mu."
"Tenang, Min. Anakmu gak ngerepotin, cuman tadi mau di lempar ke kali sama penjualnya." Kekeh Radit, Aminah membuat gestur memicing kan matanya seolah memperingati para anaknya.
"Makasih banget, udah bantuin nemnein, tungu sebentar di sini ya, ada cemilan kayaknya." Aminah segera undur diri masuk ke dalam sedang Rudi, Didin maasih betah kumpul diantara orang dewasa cukup langka ada Om Damar serta Om Radit, tetangga mereka terkenal penganguran selain bajak sawah.
"Gimana tadi, sukses belum." Alis Radit naik turun mengkode Damar.
"Lumayan, seru. Eh, ini ada baju untuk anak-anak, kalian pakek ya." Damar mengambil kantung hitam bari diingatnya segera dia berikan.
"Coba kalian pakek, semoga suka ya. Itu Om yang pilihkan,"kata Damar mendapatkan balasan positif beruba senyuman. Radit di susul Didin berlari menghilang dari balik pintu.
"Jadi dari mana kita tadi, oh. Sama Aminah, ya aku bersukur banget dia mau aku ajakin ke konser biasa, waduh, Dit. Jantung aku dag ... dig ... dug, udah kaya suara drumband," jujur Damar antusias, tak bisa dipungkiri Radit ikut memandangi wajah antusiar Damar begitu jarang dia liat.
"Aku bersukur kalau kamu seneg, Dam. Berasa gak sia-sia kemarin rambutmu kayak rainbown cake gagal baking," canda Radit sejenak memunculkan bibir manyun dari Damar, lelaki 30-an itu terasa tak ingat usia sekarang, mungkin dirinya berasa warga korea selatan masih imut nan lucu.
Suara deheman membuat untaian kalimat menghilang dia atas angin, sosok Aminah mendekati mereka berjalan anggun menaruh kue cucur, serta dua air sirup untuk disuguhkan tamu.
"Silakan dimakan camilannya. Dit, aku terimakasih juga kamu mau jaga anak-anak." Radit memang teman sekolahnya sama dengan Damar serta tetangga desa, mereka tak begitu akrab selain saling tahu pernah bernaung di pendidikan yang sama.
"Iya, sama-sama, Min," sahut Radit agak sungkan berkomunikasi dengan lawannya. "Kayaknya kamu jangan makasih sama aku, tapi sama sipanse satu ini gak bisa fokus abis keluar sama kamu." Tunjuk Radit dengan dagu, benar saja. Damar tengah menopang dagu memperhatikannya seolah dia adalah titisan patung tak punya ekpresi lain selain senyum mengarah ke Aminah.
"Dam, kamu perlu di siram air bekas cucian biar gak kesambet, lagi." Ungkap Aminah pada pelaku.
"Kamu Jang Man Wol untuk aku yang Go Chung Myung," timpal Damar tak nyambung. Aminah terkadang suka akan kemunculan lelaki itu disekitar sayangnya kadang ke-randoman Damar membuat aminah geli, katanya apa, Jang Man Wol, salah satu tokoh diperankan IU dari Drama Hotel hantu tersebut, Aminah cukup bangga kalau lebih gambalang dikatakan cantik mirip IU bukan sosok tempramental pemilik Hotel berisikan dedemit.
"Terimakasih, kayaknya kamu jadi kunang-kunang, deh."
Langkah kaki bergemuruh menapakai langkah radit dan Didin, mengenakan kemeja biru tua bermotif garis putih setelan sederhana dikenakan Didin beserta celana pendek selutut memudahkan gerak kakinya, Rudi sendiri mengenakan kaus perpotongan pendneg namun ada tampahan kain seolah dia tengah mengenakan dua lapis baju berlengan panjang didalamnya bergambar naga serta tulisa china, nampak dewasa bak remaja tangung sesunguhnya.
"Om, Bu. Keren, makasih." Cerocos Didin sangat antusias memamerkan pakaian tenagah dipakai kini, Rudi terkikik geli mendengarkannya kemudian ikut mengucapkan terimakasih atas hadiah dadaknnya kini, sedikit protes juga kepada sang Ibu selalu membelikan pakaian cerah cukup konntras untuk anak laki-laki di daerah mereka.
"Tuh, kan ..., pilihanku gak salah, mereka suka sama pakaiannya," sombong Damar mulai besar kepala kini dihadapan wanita tersebut.
"Iya, Om Damar gak salah pilih, sama bagusnya sama pilihan Ibu."
Bibir bawahnya mencondong maju, Aminah melirik Damar kesal bercambul dongkol betapa pamernya lelaki tersebut tapi kekesalannya tak bertahan lama sekalipun harus merasa jengkel dengan hal hari ini dilalui mereka, Aminah merasa senang merasakan perasaan lepas nan gembira seperti seorang gadis lagi
"Iya, bagus. Kalau gitu kalian tadi kan udah kringetan terus langung pake baju barunya, jadi nanti mandi langung cuci baju sekalian ya."
Aminah menyisihkan diri membiarkan anaknya memprotes memasang raut manja membiarkan kedua bocah lelaki mengadu pada Damar.
* * *
Radit pulang dengan berbonceng bersama Damar, niat hati sesama pria ingin mengitari jalanan, bisa dibilang Radit memang lagi tak mau pulang si istri ngomel mirip robot rusak bunyi gak berhenti, cuman perkara Radit malam sebelumnya mantengin sepak bola.
"Dam, gimana udah ada kemajuan belom, kalau di tolak di rumah aku siapin duren biar kita sama-sama mabok duren motong," usul Radit mengajak temannya mabuk jalur halal dan kenyang mungking efek sampingnya cuman bau sama muntah.
"Enak aja, udah ada kemajuan ya ... bisa aku ajak jalan aku udah jadi bapak dua anak,"
"Buy one get dua tuyul," humor Radit.
"Aku lebih unggul dari kamu, kamu Cuma punya satu aku punya dua langsung kontan."
"Yee, itu kalau jadi," timpal Radit kemudian, punya anak satu aja sudah bikin puyeng apa lagi ini dua, untung anaknya normal ngak ajaib kayak dua anak kandung serta anak angkat Aminah.
"Berdoa aja yang terbaik, semoga Tuhan ngerti aku nunggunya lama, kasian si jhoni."
"Siapa tuh, anak kamu?"
"Bukan itu nama 'anu' ku," jelas Damar mendapatkan hadiah pukulan di punggung.
Merasa bosan mengitari jalanan, Radit meminta persetujuan Damar untuk mereka istirahat sejenak di tepi sungai, disana terdapat gazebo dibangun warga untuk umum tak jah dari sungai dangkal berwarna jernih.
Para penjual jajanan juga ada beberapa berjualan seperti es kelapa, goregan warung kopi. Tak banyak pedagang berjualan seperti dijalanan desa namun disini benar strategis untuk para pemancing letih sekedar beristirahat mengisi perut.
Dua buah es kelapa masih dengan kelapanya begitu mengoda menyegarkan kerongkongan.
"Kamu tadi kemana aja sama anak-anak."
"Cuman nunguin main bola sama ngajak makan, yah. Dam, tadi aku sempet nanya ke anak-anak soal hubunganmu sama Ibu mereka." Damar berdehem menstabilkan rasa terkejutnya, Rudi kemudian bercerita tentang pandangan Rudi serta Didin kepadanya.
"Rudi itu anak tunggal sebelumnya apalagi dia udah kehilangan bapaknya dulu, tentu dia agak difensif sama kamu awalnya tapi sekarang udah bisa nerima kamu pelan-pelan, soal Didin, kita gak tau dia sebelumnya gimana tapi aku lihat aku mau ambil kesimpulan kalau Didin itu banyak ngerasaain kecewa sama keluarga sebelumnya, apalagi kamu pernah bilang dia itu anak yang ditemuin pas dipasar kan? Kayak dibuang gitu." Radit menikmati sejenak bakwan goreng, "Aku rasa anak-anak emang udah mulai nerima kamu pelan-pelan aja, Aminah juga mulai nerima kamu disekitarnya, ini progres yang bagus, padahal baru kemaren aku sangsi kamu bisa lebih jauh."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top