Selesai

BAB 25

Tubuh tinggi pria itu berbaring tak nyaman dari tempatnya berbaring matanya masih nampak sembab, bengkak dengan semburat merah. Perasaan bersalah kian menumpuk bak guunung, perasaan akan kesalahannya selama ini muncul ke permukaan begitu saja.

Selesai obrolan ringan bersama kakaknya, Damar merasakan sesak di rasakannya seolah tercekat ke ulu hati tumpah begitu saja membuatnya jauh lebih membaik daripada sebelumnya.

Tekat bulat untuk meminta maaf membuncah, namun pikirannya mulai berjalan tak tentu arah, bagaimana caranya?

Semua ini berawal dari kesalah pahaman menjadi kesalaha berikutnya berakibat fatal.

"Akan aku pikirkan cara minta maaf, tap—"

Monolog Damar terpotong oleh notifikasi telepone, sosok di sebrang sana mengirimkan sebuah pesan berupa rentetan kalimat membuat Damar mendengkus lemah, rambutnya kian tak tertata hampir mirip gembel. "Kenapa harus besok." Racaunya lemah.

Di malam yang sama, berlangitkan warna gelap pekat hanya berpisahkan tempat.

Aminah pun ikut tak bisa menyamankan tidurnya, Didin sudah sembuh hanya tinggal banyak istirahat, tak perlu ada yang di khawatirkan oleh Ibu dua anak itu, tapi kenapa pikirannya tak bisa diajak kerja sama untuk memejamkan mata.

"Ayo, mata. Tidur!" Aminah mencolok matanya sendiri sangking kesalnya, tentu tanpa kekuatan full, hanya gemas pada indra penglihatannya begitu sulit memejamkan tidur padahal jika di pikir-pikir dirinya tadi begitu lelah harus mengurus salah satu anaknya yang sakit di tambah dia harus telat membuka warung. Membagi waktu antar keluarga kecilnya serta sumber usahanya tentu bukan hal mudah.

"Apa aku keterlaluan ya?" desaunya menengelamkan kepalanya pada empuknya bantal bergambar wajah Lee Min Ho

"Tapi kalau gak minta maaf aku keterlaluan, egois kan." Aminah menyandarkan punggungnya kini pada tembok, "lagian memang Damar emang gak salah apapun, terserah dia mau ngapain, toh baik sama siapa pun itu hak dia." Pastinya dengan yakin.

Ponsel pintar kini dalam gengamannya, in iakan menjadi pertama kalinya dia mencoba mengirim pesan pada Damar, dalam hati Aminah menyemangati dirinya untuk berani bertindak berani bertangung jawab.

[ Hai, Dam. Ini aku Aminah, semoga masih nyimpen nomorku biar tau kalau ini aku yang ngirim pesan, aku harap kamu sudi nerima maaf dari aku, aku tadi emang emosian mikirin warung apalagi Didin sakit, aku terlalu terbawa perasaan, dan untuk semuannya aku makasih, kamu pria baik selama ini aku kenal. ]

Aminah menghela nafas lega, dia telah mengungkapkan kata maaf untuk Damar, mau dia membalas maaf ataupun tidak Aminah mencoba pasrah soal itu, 10 menit berlalu, 20 menit bahkan kisar 2 jam berlalu sama sekali tak menunjukan tanda-tanda balasan dari sebrang penerima.

"Apa aku seketerlaluan itu," sesalnya tak terbendung memeluk guling bergambar lainnya.

Sedangkan di sebrang sana Damar lagsung mematikan ponselnya usai mendapatkan pesan dari sepupunya segera di matikan tanpa tahu dia mendapatkan pesan dari Aminah.

* * *

"Heh, cing, kenapa ngajak aku ke sini apa udah beres." Panggil Damar agak kesal pada perempuan berambut segitiga mirip kartun yang selalu berpetualangan bersama monyet birunya.

"Pas, Pus. Aku bukan kucing, dasar manusia alay." Balas Pupus menangapi, "Tumben sekarang agak bener tampilan rambut kemarin biru muka item magrib baju neon lampu," sindir Pupus menaikan sudut alisnya. "Kemaren kenapa penampilannya kayak orang punya penyakit tipes, sepupu, oh, sepupu. Waras?" imbuhnya tak bosan menyerang pria yang kini mengaruk tengkuknya malas.

"Langsung aja, deh." Ucap Damar serius, dia sudah malas untuk berlama lama di luar rumah, walaupun Pupus sudi menjadi supirnya hari ini.

"Ini, rumah yang kamu mau udah clear tinggal tanda tangan, tapi ada sedikit alot karena ada banyak surat harus di urus." Binar mata Damar nampak muncul, "Benarkah." Antusiasnya menanggapi Pupus, sebelum dia kembali menurunkan bahu dengan lesu, baru dia inggat pertengkarannya pada Aminah kemarin.

"kamu dari bulan kemarin lemes mulu, padahal tinggal dikit lagi ini udah jadi milkmu."

Rumah dengan luar taman cukup untuk anak bermain di teras rumah, rumah berwana putih serta mint nampak modern serta bergaya korean dengan perpaduan fiture nampak elegan, Yap. Damar selama ini membeli rumah serta membangun rumah tentu hal itu di bawah pegawasannya hanya tinggal mengurus beberapa pembayaran untuk hal keperluan lainnya di tambah dia harus mengurus usahanya selama ini sebagai pemilik dari beberapa kios untuk di sewakan serta rumah untuk di kontrakan, bisa terbilang Damar adalah juragan beberapa waktu belakangan mendapat kendala harus langsung di urus olehnya, begitu banyak calon penyewa membuatnya harus berdiskusi tentunya hal itu di sambut baik, dengan begitu aliran uang menambah penghasilan untuk membangun rumah idaman serta meminang Aminah sudah terbayang.

Kali ini dia membeli sebuah rumah untuk dia bangun kembali dengan rumah bergaya khas drama korea, tentunya itu untuk tinggal bersama Aminah serta dua calon anaknya.

"Hey, ayo masuk, liat-liat dalemnya, entar baru kau bayar uang sisanya, Oyy!" teriak Pupus sudah berjalan mendahuliDamar memasuki ke dalam rumah.

Aroma cat baru serta beberapa funitur seperti kursi, meja. Barang di belinya semua baru, Damar dapat mengendus samar aroma barang baru serta pekatnya cat baru.

Ketika kaki menginjak ke dalam rumah dapat di pastikan mata dimanjakan ornamen kayu menempel di deretan dinding sudah di plitur kian menambah cantik, masuk lebih dalam terdapat ruang keluarga dengan meja berbentuk oval berdekatan dengan dapur bergaya luar.

Bayangan akan dua kurcil berlarian serta Aminah berbalik badan ke arahnya menawarinya nasi goreng dengan ikan asin sebagai toping tambahan, Damar terkekeh berkhayal hal tersebut.

Bayangan akan kemarahan Aminah juga terlintas membuat gambaran sebelumnya menghilang mengundang mendung di wajah Damar.

"Ngelamunin apa? Kamu okey kan," tanya Pupus bergaya sok anak jakarta, Damar mengeleng pelan membalas pertanyaan Pupus penuh kekawatiran tersebut.

"Jadi gimana, bayar sisanya."

"iya, kita langsung transfer aja, tapi ..., langsung jual aja apa ya rumah ini, aku ragu kalau nanti gak jadi nikah."

"Selesain kesalah pahamanmu, aku denger dari Mbakmu, kemarin kamu salah paham gara-gara aku ya, jangan di pendem, apa perlu aku yang maju jelasin semuanya."

"Makasih, tapi biar aku yang beresin ini semua."

Pupus teringat kalau dia mendaptkan pesan masuk dari kakak sepupunya, Bu Tarno.

"Dam, Hp-mu mati ya? Nih, Mbakmu katanya nyariin kamu di mana tapi gak ada balesan." Damar menepuk jidatnya kuat-kuat, ngomong-ngomong Damar bari ingat dia belum sempat menyalakan ponselnya sejak semalam.

"Iya, aku lupa." Sesalnya menyalakan kembali ponsel pintar tersebut.

Berbagai pesan serta panggilan dari kakaknya membuat dia sedikit menyesalkan membuat kakaknya khawatir, Damar mengernyit mendapati sebuah pesan dari Aminah, tentu itu hal tak biasa.

Deretan kalimat untaian penyesalan Aminah terkirim semalam membuat Damar kebingungan, bahagia serta senang namun juga bingung bagaimana menyelesaikan permasalah.

"Pus, kamu urus pembayarannya, Ya! Aku mau pergi dulu."

"Heh, mau kemana, emang kamu bisa naik mobil," seru Pupus sebagai supir pribadi mereka hari ini, tentu Damar hanya bisa naik montor matic itu pun perlu waktu untuk menyiimbangkan tubuh bongsornya.

"Pake ojek, mau ngejar calon pendamping." Pukas damar berlari keluar halaman.

Sampai dengan selamat itu tujuan Damar, dia nampak sedikit heran mendapati Aminah tak membuka warung serta rumah nampak sepi.

Berkali kali dia mencoba mengetuk rumah tengah kosong tersebut.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top