Rahasia Didin
BAB 08
Suara nyaring saling bersahutan, suara kedua orang dewasa di sana nampak tak peduli pada sosok kecil duduk seorang diri, menunggu apapun makanan bisa tersaji di atas meja
Cairan hijau keluar masuk, menunggu sesuatu mengisi lambung tengah menjerit.
"Yaudah kalau kamu, memang kayak gitu!" Didin menutup daun telinganya, engan merasakan pusing.
"Din, kamu ikut ibu besok." Perintah wanita bersetatus Ibu Didin.
Seperti perkataan wanita tersebut, usai pertengakaran kesekian kalinya hingga kepala keluarga memilih pergi dari rumah malam itu, pagi buta mentari belum mengintip Didin di mandikan hingga mendapatkan bedak cukup tebal.
"Muka mu gini, ganteng." Bangan Ibu Didin setelah membuat anaknya mirip jamur crispy
"Ganteng bisa di makan ngak Bu?" polos Didin, wanita itu mengeleng. "Ngak, sayangnya cuman ganteng gak bisa di jadikan makan,"
"Kalau gitu Ibu jangan sama bapak, kan Ibu suka bapak karena ganteng," balas Didin lugu, ingusnya terus naik turu bergantian kanan kiri.
Wanita nampak masih muda sebagai Ibu Didin, wajahnya tertutup kedua tangan tubuhnya berjongkok setara Didin, sedikit isak kecil Didin dengar dari celah bibir kering Ibunya.
"I- itu kesalahn Ibu, Din. Didin anak bagus, anak pinter, jangan jadi kayak Ibu, ngeliat sesuatu dari luar." Jemari mungil Didin mengusap genagan sungai dari pipi tirus Ibu muda tersebut.
Tak tau apa dimaksud oleh orang dewasa depannya, Didin hanya tau itu hal yang tak baik untuk di pahami seperti halnya selalu ubi kayu menjadi penganjal perutnya jika beberapa hari tak bisa makan raskin.
Mata bening Didin begitu dimanjakan oleh suasana pasar, ramai, harum makanan tiap pedagang, pedagang sayur tengah tawar menawar antar pembeli, suara uang receh terdengar bergemerincing, Didin menikmati tiap suasana asing kini.
" ... Din, Didin." Bahu kecilnya tergoncang, Didin kembali sadar, mata panda Ibunya menyiratkan lelah, "Didin kamu tungguin Ibu di bapak penjual itu ya, kamu liatin anak lainnya main, ibu gak bawa uang buat bayarnya, Ibu cuman punya uang buat beli makanan kamu tunggu di sini ya, Ibu bakal beliin Didin ikan."
"Ikan? Ikan goreng, boleh." Girang Didin tersenyum, ingusnya seolah tak meler kembali mendengar kabar gembira dari Ibunya. "Iya, ikan goreng."
"Kenapa Didin gak ikut aja, Bu."
"Kalau Didin ikut nanti Didin nyasar." Bujuk wanita itu kembali agar putranya menurut.
Didin tak menyahut Ibunya langsung meningalkannya begitu saja, seperti di perintahkan Didin mendekati bapak penjual ikan dengan games seru, mengunakan jaring berbahan kertas untuk menangkap Ikan, Didin diam hanya mentap perut mungilnya dia peluk agar tak membuat bunyi memalukan.
"Kamu dari tadi berdiri di situ kenapa gak ikut main, di buang lagi kamu." Sarkas si pedagang, wajah anak ini nampak familiar selalu di tinggal beberapa kali di tengah pasar, entah siapa orang tuanya begitu tega.
"Ya, sudah kamu diam aja, siapa tau nanti orang tua kamu jemput." Desau sang penjual kasihan juga melihat muka melas berbubuh tepung.
Didin diam memantau ikan kecil dalam bak berdiameter satu meter kurang lebih, pandangan Didin tak luput berharap ada anak yang mampu menangkap se-ekor ikan bersirip indah, bayangan akan janji ibunya soal ikan goreng tergantikan dengan ikan cupang saja cukup tapi ibunya kembali menjemputnya, ia tak perlu ikan sarden ataupun ikan mahal jika terlalu lama menunggu.
Sosok anak lain lebih tinggi dari Didin menarik atensi si bocah, tak pernah terpikirkan dari tadi oleh Didin, si anak itu melapisi kertas dengan plastis bekas, gerakan cepat memasukan dalam botol bekas, Didin mengamati hal curang dari si anak, Didin merasa lama menunggu ibunya datang beralih mengikuti langkan si anak lelaki tadi, pikiran sederhana bocah itu sekedar meminta pemilik ikan cupang memberikan se-ekor saja, buat di masak oleh ibunya, mungkin ibunya lama karena memilih ikan murah untuk di goreng bersama.
Didin tersentak usai mendapat beberapa kata dengan nada biasa saja namun Didin faham dia nampak tak suka Didin ikuti, bahkan setelah Ikan berada dalam tangan Didin, Didin dibuat kebingungan hanya mulutnya kelu untuk bicara, Didin kecil tak ingat kemari dia terakhir makan apa setelah air rebusan.
Hampir lupa cara kembali ke pedagang mainan tadi, tekatnya membuat dia memberanikan diri tetap mengikuti sosok lainnya, Didin lupa apa sudah di lalui ingatanyan memutar begitu lambat hidungnya tak lagi meluberkan cairan, pandangannya tak luput sesakali memandang kedua pasangan ibu dengan anak, nampak hangat.
" ... Jadi kamu ngikutin aku random, wih. Gilak." Sindir Rudi, agak kesal dengan si ingus –julukan Didin. Rasa kesal Rudi tak berlangsung lama, keberadaan Didin bisa jadi pelipur sepi, menjadi anak tunggal juga bukan hal mengasikan bukan.
"Din, umur kamu kan, enam tahun. Giman akalau tahun depan Ibu sekolahin kamu,"
"Sekolah?" ulang Didin.
"Ibu ada uang? Jangan dipaksain Bu." Ingat Rudi, mereka selama ini hidup pas-pasan.
"Kalau sekolah di desa paling mahal ya seragam sama buku, gak masalah, nanti hobby Ibu koleksi marcendais biar Ibu stop dulu."
"Didin mau di sekolahin, apa nanti jatah makan Didin bakal di kurangin?" bibirnya mengerucut lucu, "Ngak, ngak bakal di kurangin, tapi kiamu harus sekolah buat nanti kamu bisa cari uang sendiri sama tambah pinter kayak Rudi."
Rudi melipat tangan kini berwajah sombong, harus pinter kayak Rudi.
"Maksud nya pintar rajin masuk sekolah, kalau masalah nilai harus lebih bagus."
Jatuh sudah khayalan Rudi, Didin terkekeh bahagia mendengar hal barusan.
"Bu, temen Ibu yang pagi – pagi kemari itu gimana kabarnya, masih waras."
"Om yang gak waras itu ya," imbuh Didin menyulut tawa keras Rudi, "Iya, yang gak waras itu."
"Sama orang tua yang sopan jangan ngomong kayak gitu, kan Ibu udah ajarin kalian ngomong yang sopan, Din , Rud." Tegur Aminah menatap tajam keduanya kini.
"Iya Bu," jawab mereka kompak berbarengan.
"Yang kemari itu namanya Om Damar, dia temen Ibu dulu SMA, kalau kalian baru liat Om Damar karena dia baru balik kampung, jadi tetep sopan, eh. Om Damar juga ternyata adeknya Ibu Tarno, itu loh temen Ibu satu latian Zumba."
"APA!" Rudi kaget sekali, beberapa kali bertemu Bu Tarno kerap di sapa Bu Tar, sosok ayunya cukup membuat kontrak tak sejalan dengan sosok Om Damar, masa saudara.
"Om Damar, anak angkat."
"Ibu pikir juga begitu, eh... betulan adik kandung dong, kalau di lihat dari luar angkasa kayaknya bakal mirip deh, sayangnya Ibu juga gak percaya awalnya."
"Harusnya kalau Angelina jolie itu saudaraan sama Brad pit, bukan Angelina Jolie saudaraan sama huluk kecebur sawah."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top