Orang tak di undang



Bab 05

Suara ketukan pintu mengangu waktu Aminah menyiapkan bekal Rudi, Didin selaku paling muda masih mengenakan tontonan kartun.

"Din, tolong bukakan pintu." Pinta Aminah setengah berteriak, Didin bergegas membuka bilah kayu menatap sosok tinggi.

"Siapa Din... ."

"Ngak tau Bu, kayaknya pengamen," balas Didin menjelaskan, sosok di bilang seorang pengamen tak terima.

"Heh, kamu yang namnya Rudi ya? Saya bukan pengamen, nak. Saya calon bapak kamu." Damar merendahkan tubuhnya menyetarakan si anak, ingus Didin tiba tiba meler seketika mengayun indah.

"Bu ... bukan pengamen, tapi orang gila." Didin berlari menghampiri Aminah, memberanikan diri Aminah keluar melihat sosok di maksud.

Aminah mengerutkan dahi memindai pandangan dari ujung kuku sampai ujung rambut bercabang, "Damar?" kata Aminah tak percaya, Damar. Lelaki itu datang dengan pakaian warna army serta topi baret kacamata ala bang Roma irama, warna rambut semula hitam menjadi kuning tai.

"Iya bener kata Didin." Monolog Aminah. "kamu ngapain sebenernya?" lanjut Aminah mulai menguasai keadaan.

"Song Jong Ki!" balas balik Damar, tangannya di rentangkan memutar memperlihatkan setelan pakaian.

"Kok malah mirip orang stres gak keterima jadi angota TNI, kamu masih muda Kalau soal umur dan muka jomplang, kamu masih punya masa depan."

"Tapi bener kan? Jadi kapten Yoo."

Aminah membatin, memang gak salah cuman salah konsep. Aminah memijat pangkal hidung meringankan pening kepala.

"Aishh, hidupku kayaknya gak bakal tenang setelah ini, ya Tuhan." Lirih Aminah seorang diri.

"Masakanmu enak, cocok kalau jadi calon—"

"Aku gak daftar jadi pembantu." Potong Aminah cepat, cukup terpaksa Aminah mengajak Damar sarapan bersama, setidaknya dia berusaha menerima Damar sebagai seorang tamu bukan sebagai pasangan, semoga pria berkulit coklat masak itu sadar.

"Om, om ini siapa?" suara cempreng Rudi mengusik Damar.

"A- anu, kenalannya Ibu kamu." Spontan Damar, nyatanya tatapan tajam dari Aminah tak mengijinkan bibirnya bersuara sejalan hatinya, setidaknya dia ingin berbicara se-PD bertemu dengan Didin yang ternyata untuk sekarang anak hilang, itu kata Rudi di awal mereka duduk bersama.

"Kamu besok mau jadi cosplay apa lagi?"

"Mau jadi apapun sampe kamu percaya aku bisa kaya idol kamu suka, Min." Perasaan Damar belum luntur, Aminah dibuatnya heran melihat ke-anehannya, dia belum sadar memang dirinya belum se-normal lainnya.

Kepergian Damar dari rumah Aminah bisa menorekan senyum begitu awet menghiasi wajahnya, orang di temui dijalan sangat keheranan oleh sebab musabab pemuda yang tak lagi muda tersebut pulang merantau malah berkeliaran dengan kondisi kurang.

"Wooy! Dam."

"Oiy, Dit." Balas Damar heboh, Radit teman sejawat Damar menurunkan laju sepedah montornya bergegas membanting setir menuju Damar.

"Dam, kamu mendig ikut aku deh, ayok sini aku bonceng." Paksa Radit mengkode Damar, tentu ajakannya berujung dua pria dewasa duduk santai di atas balai tengah sawah, hamparan hijau bertabrakan dengan angin.

"Kamu abis pulang pawai?" kalimat dari Radit membuka pembicaraan antar mereka.

"Ngak, tapi ini fasion tau."

"fasion – fasion, palakkau. Kamu nyadar dari tadi kamu diliatin orang desa?" tegur Radit memberitahu sebenarnya, memang aneh kulit gelap dengan rambut kuning malah mirip keju brownis yang rasa pait kalau versi Damar.

"Aku mau memperjuangin cinta aku, Dit."

Radi bungkam sesaat memandang keseriusan Damar, alisnya menukik mengantisipasi kalau yang dilihat temannya ini lagi sawan.

"Aminah," kali ini Radit tak berharap jawaban cepat dari kawan sengkleknya.

"Dia udah pernah nikah, kamu boro-boro nikah, masih perjaka. Emang kamu gila ya, istilah 'ku tunggu jandamu' kamu yang lakuin itu jadi beneran." Radit mengelengkan kepala tanda takjub atas prilaku temannya.

"Gak tau, Dit. Aminah bagiku pantas dipejuangkan, serius ... dia memang galak dia emang jutek kadang tapi dia wanita yang dari dulu pantas diperjuangkan buat aku."

"Emang apa kelebihannya Aminah kamu kok tergila-gila, padahal di kota pasti ada yang lebih cakep, kok. Ya, ngak kecantol." Dengus Radit, matanya memandang lurus engan bertatapan mata dengan Damar.

"Bu, orang tadi siapa ya, kok gayanya mirip orang kurang—"

"Hustt, jangan ngehina. Ngak baik, Ibu ngak ngajarin begitu kan?"

Rudi menganguk patuh, Ibunya memang hoby bawel kadang juga melakukan hal di luar nalar tapi kadang bisa tegas untuk ngak buat ulah sama orang lain.

"Tapi Rudi, kepengen tau Bu."

Tangan cekatan Aminah terhenti, buku tulis harian anaknya sejenak diam dalam gengaman.
Aminah tersenyum kecil.

"Temen Ibu jaman sekolah, kamu cepetang berangkat sekolah, Ya, nanti kalau pulang ajak Didin main, Ibu mau lanjutin beberes warung." Rudi terdiam memiringkan kepala, dia tau Ibunya belum jujur sepenuhnya Rudi memilih bergegas berlalu menuju sekolah dasar tak begitu jauh di desa.

"Rud, kamu tau. Bapakku tadi pas jalan ketemu sama tentara gila, mungkin dia ngak keterima jadi TNI ya?"

"Aku lihat, yang rambutnya kuning busuk itu kan?" timpal anak sebelah Rudi semangat, Rudi engan ikut nimbrung nanti ketahuan asal sosok itu baru dari kediaman Rudi.

"Kamu gak papasan sama dia, Rud."

"Ngak tau ya, aku gampang lupa, yang aku inget tadi pagi ibuku masak jeroan hati jimin, jadi ngak fokus sama lainnya." Kelakar Rudi, tapi membenarkan dalam pikiran ibunya memang masa hati goreng disebut jeroan Jimin, entah apa maksudnya.

"Bisa di makan ngak kali ini?" penasaran Ojan, anak di sebelah kanan dengan rambut belah tengah, Rudi kadnag membawa bekal aneh hingga dua sekawannya tahu betul, rasa unik masakan Ibu Aminah.

"Bisa, tapi namnya aneh, belum buat aku sampe mati kok." jujur Rudi memancing kedua temannya, Ojan serta Bibin menelan air ludah mereka.

Pernah suatu ketika, Rudi membawa bekal mie di kasih es batu, katanya dari korea mie dingin, tapi bukannya keren rasanya mirip espodeng basi, gimana ngak bikin kedua temannya besok libur panjang karena sakit sekedar incip makanan Ibunya Rudi, kalau Rudi jangan di tanya mungkin lambung nya sudah di upgrade jadi lambung Ironman.

"Kamu bilang bisa dimakan tapi kami yang mau dikubur," canda Bibi mengelap keringat.

"He ... he ... maklumin aja, ya. Masakan Ibuku memang terlalu international, mungkin lambung kita terlalu merakyat."

"Hooh, kebiasaan makin nasi sama mie, malah dikasih mie sama es batu." Imbuh Ojan terkekeh mensetujui.

"Tapi kita heran, warung Ibumu itu rame, Ibuku juga suka pake jasa catering di rumahmu tapi kok bekalmu kadang aneh, apa pake pengelaris sih?" penasaran Ojan.

"Pengelaris sih ngak, tapi biar masakannya enak, butuh manusia uji coba, kalau enak dijual di warung, kalau ngak enak yang makan paling opname."

Keduanya bergidik ngeri, jadi kemarin mereka menjadi uji coba, namun rasa ngeri tak begitu lama, keduanya menatap wajah polos Rudi, dalam batin mereka kompang menaruh rasa kasian, kasian tiap hari jadi tempat uji coba.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top