Mulai suka?
BAB 18.
Pagi buta masih dipeluk oleh udara dingin bahkan kabut tipis terkadang muncul dipagi hari, langkahku menyongkong betapa riwehnya aku, Rudi paling awal bangun, rambut berantakan mirip anak itik dia masih mengucek sudut matanya mendekatiku masih memperhatikan betapa lemahnya anak itu.
"Ibu, Rudi bantuin angkat-angkat ya," katanya membantuku untuk menaruh masakan perpindah ke etalase kaca. Jemariku menyugar helaian rambutnya, mengecup pelan dahi lelakiku yang mulai beranjak remaja.
"Hoamm," anak itu berjalan malas, sesekali dia terdiam mengumpulkan nyawa.
"Didin, kok di tinggal!" amuk bocah lucu berpipi tembam menghentakan kaki kecilnya menghampiri kami, "Ehh, si bagus udah bangun," pujiku melihat betapa semangatnya daripada Rudi kini mondar mandir lemah mengangkat benda hasil tembikar berisikan lauk.
"Ih, kemarin Dadang, Dudung terus apa itu, kok Didin mau di ganti nama lagi jadi bagus, kan itu merek obat serangga." Didin manyum mirip bebek di perairan, jadi kepengen ikat bibir Didin pake karet, sendal Rudi terdengar menjerit menghampiri diriku seusai menata semua daganganku, sejurus kemudian aku dengar Rudi menggoda Didin.
"Iya, kamu mau ganti nama jadi Bagus, entar kamu di kumpulin satu jenis sama baygon, jadi siap-siap aja disuruh nangkep serangga," tukas Rudi serius, aku terperanjat mendelik ke arahnya.
"Ihh, kok Didin di jadiin obat serangga, kan Didin ganteng, lebih pantes kalau gede jadi orang ganteng."
"Din, aku dulu sekecil kamu malah dijadikan botol kecap, makanya dulu dipanggil malika si manis, kalau kamu udah di panggil bagus, siap-siap aja, hiii."
Didin melopat bersembuyi di balik badanku si kecil itu memeluk kakiku dengan mimik tragis.
Aku hanya mengeleng pelan, mana ada hal kayak gitu, tapi. "Ibu, Didin ngak mau jadi temennya Baygon, Didin mau sama kakak cantik kayak Ibu, jangan kutuk Didin Ibu," sengaunya menangis sesegukan, aku memandangi Rudi meminta pertangungjawaban atas ulahnya tapi dia terkikik girang berlalu dengan cepat. Seulas senyum nampak dariku bocah ini mengira akan aku jadikan obat pengusir serangga itu, sejak kapan pula Rudi panda menjadi mendongeng ulung.
Aku mendesah kasar membantu Didin bangun dari acara –mari sembah Ibu kita—tak elit hingga wajah imutnya terkena luberan air mata serta ingus yang kini muncul saat seperti ini ataupun lapar.
"Utuhh, utuh, jangan nangis lagi sayang, masa kesayangannya Ibu sama Kak Rudi nangis, sih. Kamu tadi di bohongi sama Kakak mu, manusia tetep jadi manusia gak bakal jadi obt serangga, tapi kalau Didin nakal nanti bisa di kutuk jadi batu kayak malin kundang tapi khusus Didin kalau nakal Ibu kutuk jadi mangkok gambar ayam, biar berguna."
Tangisan Didin pecah kali ini dia lari dariku mungkin dia menghampiri Rudi, apa aku keterlaluan hingga membuatny alari terbirit-birit, tak tau lah. Kembali pada aktifitas umum kulakukan meja serta kursi segera aku lap, lantau aku sapu hingga pel sampai kunclong bersinar mirip dompet diakhir bulan.
Dahiku mengucurkan keringat bak lelehan coklat meluncur mulus, senyumku melebar kala semua sudah selesai tepat waktu, pintu khusus warungku rumah makan sederhana selama ini aku bangun telah dibuka lebar.
Aku berdiri diam sambil menunggu satu sosok tak asing, 5 menit berganti hingga 30 menit masih kosong.
"Neng, saya mau beli makan," seru seorang Ibu berpakaian daster terusan motif macan tutul aku mematuk-matuk berjalan dibalik kaca trasparan yang memamerkan olahanku, sesuai pesanan Ibu itu sudah membawa beberapa kantung pelastik berisikan masakanku untuk sarapan, tentu berganti dengan lembaran rupiah beralih dikaleng kong guan tempat aku menaruh segala uang penjualan.
Aku duduk tak begitu semangat, apa karena Damar belum datang ya? Sosok lelaki dengan tinggi 180 cm serta kulitnya kian hari nampak bersih masih dengan tone coklat tak menampakan batang hidungnya ke sini, sedetik kemudian aku menepuk pipiku cukup kencang aku yakin bekas merah akan terlihat, pasti.
"Apa yang kamu pikirkan sih, Min." Marahku lebih ke kecewa entah kenapa, apa kerena Damar baik dengan anak-anakku, lalu Damar yang membelikan serta mencurahkan kasih sayang ditambah Damar yang mirip orang kesurupan ngalamun ditengah acara kini belum datang kemari.
Bukankah bukan kewajiban dia untuk selalu ada dan datang, "Mungkin karena dia biasanya kemari terus gak muncul, jadi sepi kali ya," sanggahku mencoba tak memperdulikan hal mengangu isi kepalaku sekarang.
Semua berjalan begitu cepat, Rudi sudah rapi siap untuk berangkat ke sekolah, aku hanya titip do'a agar dia tak mendapatkan banyak masalah dan di mudahkan dalam mengenyam materi pendidikan hari ini, Didin sudah rapi kini menemaniku menjaga warung cukup lengang, sesekali arah pandnagku mengawasi Didin tenagh bermain bersama Dino hijaunya, pernah aku menangkan di pasar malam ber- ah, kenapa aku kepikiran Damar lagi.
"Apa dia sakit ya, makannya gak ke sini," gumamku ternyata terdengar oleh Didin.
"Siapa yang sakit, Bu. Ibu sakit ya? Didin panggilin Kak Rudi di sekolah biar kami urus bareng," katanya membuatku tidak bisa untuk tidak terharu.
"Ngak, bukan Ibu yang sakit, Ibu gak papa, Din, makasih ya udah kawatir sama Ibu." Tukasku menjajarkan tinggi kami, harum sahampo jeruknya menguar kala aku mengusak helaian rambutnya. Perasaan eforia pertama kali memiliki Rudi kembali terulang dalam sosok Didin bedanya kali ini aku bisa jauh siap dalam keuangan tak sampe terlunta-lunta tepat suamiku dulu meninggal.
Mataku terpejam sesaat, merasakaan suasana beberapa tahun silam aku merasakan suasananya aku bisa merasakan suara-suara, dibayanganku mataku terbuka lebar menatap sekeliling, kuburan. Rudi kecil dalam gendonganku kurasakan betapa kuatnya aku memeluk dirinya ditengah ke kalutanku aku tak boleh menangis itu hal yang aku inggat tertanam kuat olehku, aku merasakan setelah hari itu rasanya cukup sulit mengingat selama ini aku hanyalah Ibu rumah tangga biasa, tentu hal itu dipengaruh keputusan suamiku begitu menentang keinginanku begitu rasanya dunia menjungkirbalikan hidupku ingin rasanya aku tertawa nyaring mengejek suamiku dalam kubur, agak durhaka sih, tapi itu semua awal aku harus menjalani hidupku sendiri harus menyadari bahwa aku harus baik-baik saja demi Rudi anakku.
Hanya butuh sejenak kemudian aku membuka mata mendapati Damar bermain bersama Didin, aku tak mau menunjukan rasa keterkejuatanku saat ini, sejak kapan lelaki itu muncul aku sama sekali tak mendengar suaranya.
"Udah agak mendingan, Min." Sapa Damar menyudahi acara mainnya.
Aku menganguk lemah, "Sejak kapan?"
"Kamu dari tadi aku panggil gak nyaut jadi aku biarin, mungkin kamu lagi capek makannya aku main sama Didin, kasian sendirian." Jelasnya tanpa aku minta namun hal se-sederhana itu membuat afeksi tenang untukku, entah kenapa.
"Tumben ke sini agak siang," suaraku lirih berharap dia tak mendegarkan, beruntung atau tajam pendengarannya Damar menyahutiku.
"Iya, maaf tadi aku masih ngurus kerjaan di rumah ada banyak yang aku urus."
Aku yakin dahiku bertumpuk membuat kerutan, aku baru inggat kalau lelaki ini bukan penganguran tapi terlalu sering ke mari.
"Jangan terlalu sering kemari kalau kamu repot, itu bikin aku gak enak." Aku memilih pergi dari pada melihat raut terekjutnya, apa dia tersingung?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top