Meluap

BAB 23

"Ya ampun, panasmu belum turun." Tak bisa di pungkiri Aminah, perempuan itu begitu khawatir kepada Didin—anak angkatnya kini tegah sakit demam.

"Bu gimana nih, Aku gak usah sekolah dulu aja ya, Bu." Mohon Rudi memegang baskom, Aminah langsung menentang permintaan anaknya.

"Ngak, kamu harus sekolah, biar Ibu yang jaga Didin." Sejak semalam panas Didin belum juga turun, dia berinisiatif akan membelikan obat.

"Ibu, aku mohon ya, biar aku jagain Didin," cicit Rudi makin berharap.

Melihat dirinya juga tak mungkin untuk melakukan semuanya sendiri tapi juga dia tak mau sekolah anaknya tertinggal.

"Oke, Ibu bakal telepone gurumu dulu buat izin, kamu jagain adekmu sekalian Ibu mau pergi beli obat, kamu jangan kemana-mana, ya." Perintah Ibunya bernada tegas tak mau di tolak lagi.

"Iya, Bu. Didin juga kasian kalau di tinggal sendirian."

Aminah melangkah secepatnya bergerak meningalkan kedua putranya di dalam rumah pergi segera mungkin ke apotek terdekat, tentu dia punya kendaraaan sepeda montor keluaran beberapa tahun lalu, Mio berwarna merah putih bak bendera kebangsaan negara masih begitu bagus dia kendarai walaupun cukup jarang dia pakai dari sepedah ontel peningalan keluarganya selalu ia pakai ke pasar ataupun berjalan mengelilingi desa.

Apotek Anugrah, begitu memarkirkan kendaraannya Aminah segera masuk ke dalam menyapa salah satu karyawan.

"Boleh, bisa minta obat penurun panas, untuk anak di bawah 10 tahun," kata Aminah tanpa menunggu tanggapan, segera si karyawan perempuan mencarikan obat di maksud, melihat betapa paniknya Aminah.

Siluet tak asing pasangan anak adam memasuki pekarangan rumah tak jauh dari tempatnya kini, sosok beberapa hari ini tak berkunjung ke rumahnya hingga mirip angin begitu cepat menghilang.

"Damar," ucap Aminah cukup lirih, suara lainnya menyadarkan Aminah bahwa pesanan obat di maksud sudah dalam gengaman.

Aminah mengatur nafasnya sebaik mungkin, sesuatu rasanya membuncah melihat Damar berdiri di sebrang sana, tanpa keduanya sengaja tatapan mata Aminah harus bertatapan dengan Damar, Damar nampak kaget dengan gelagat mirip orang terpergok bersalah telah melakukan sesuatu dosa.

Tanpa ba-bi-bu, Aminah menaiki kendaraan roda duanya dengan helm kuning pisang, bergegas pergi dari sosok lelaki yang kinu berusaha mengejar Aminah.

"Dam! Dam, kamu kenapa lari-lari gitu." Perempuan itu segera menarik Damar yang mirip ornag kesetanan berlarian.

"Mbak, ngak. Aku kira liat temenku tadi," sanggah Damar memlih tak menceritakan.

"Udah yuk." Permpuan itu kembali menarik Damar masuk ke dalam rumah cukup besar nan terawat.

Mirip film FTV, Aminah menyetir kendaraannya terlampau lelet, emosinya masih tak karuan bahkan matanya mulai memerah, "Ih, kenapa sih nangis pasti gara-gara kena angin." Oceh Aminah menyalahkan angin, bahkan nampak semuanya salah di matanya, dia tak bisa berfikir jernih untuk saat ini, "Ingat Didin sakit di rumah, jangan mikirin yang lain!" pringatnya kepada diri sendiri.

* * *

Sesampainya memarkirkan kendaraan Aminah masuk menemui sang anak.

"Maaf, lama ya," Aminah menarik tubuh ringan Didin untuk bersandar ke dasboard ranjang, "Rud, ambilin air putih terus tolong kamu panasih makanan di dalam kulkas, kamu siapin makan buat Didin sekalian kamu sarapan ya." Katanya memerintah si sulung, Rudi berlalu dari kamar melakukan perintah dari Ibunya tersebut.

"Kamu kenapa bisa sakit sih sayang, ayok minum obat biar sembuh." Aminah memeluk tubuh hangat Didin.

"Ini, Bu." Rudi menyodorkan gelas serta sepiring makanan untuk Didin.

"Ayok, makan." Bujuk Aminah, Didin hanya merengut kesal melesak pada pelukan nyaman Ibunya.

Damar berdiri beberapa menit sejak tadi, hanya memandangi pintu tanpa niat mengetuk untuk sekedar memberitahu keberadaannya.

Dalam gengamannya sudah ada sekantung plastik berisikan makanan, tadi dia melihat Aminah keluar dari Apotek, tentu itu menarik perhatian Damar begitu kawatir siapa gerangan yang sakit, dengan sedikit informasi dari pegawai di sana, bahwa obat penurun panas untuk anak tentu Damar bisa menebak siapa yang sakit di dalam sana.

Suara drapan kaki tak di harapkan Damar, Rudi melogo dari balik pintu cukup kaget dengan keberadaan pria dengan kemeja kotak-kotak jeans kream tengah berdiri mematung sama kagetnya dengan Rudi.

"Loh, kenapa gak ketuk pintu aja, Om."

"Cuman tadi mau lewat aja, mau nganterin ini." Damar menyodorkan kantung kresek yang langsung di tolak Rudi segera, "Om, masuk aja ada Didin sama Ibu di dalam, aku mau keluar dulu." Rudi memang berniat keluar untuk membeli beberapa bahan diminta Ibunya yang kini tengah menjaga Didin, tentu mengabaikan suara cangung dari Damar.

Sepeningal Rudi Damar hanya mematung di beranda pintu, dia bimbang akan masuk atau tidak namun dia tetap memaksa tungkainya maju lebih dekat serta mengetuk daun pintu.

"Hey." Sapa Damar pada Aminah kini nampak begitu kaget. Hampir sebulan lebih Damar tak menghubungi Aminah, dia merasakan kecangungan akan hubungan mereka untuk saat ini, bukan ia merasakan perasaannya luntur hanya saja dia cangung karena Aminah melihanya bersama sepupunya, ya. Perempuan bersama Damar adalah sepupunya yang membantu Damar beberapa hal kini, namun hal tadi membuatnya seperti orang terpergok selingkuh.

"Ada perlu apa, Dam. Duduk dulu." Aminah mengajak Damar duduk di beranda depan rumahya dengan tenang, tanpa mempedulikan gemuruh perasaannya campur aduk.

"Didin, sakit?" pertanyaan tempel yang dia juga sudah tau.

"Iya, tapi tenang aja dia udah minum obat udah istirahat sekarang." Balas Aminah engan basa-basi sekedar menanyai balik.

Merasa suasana dingin menyergap Damar menyodorkan sekantung plastik berisikan kotak makanan, Aminah dapat membaui harum aromanya dari tempatnya duduk kini.

"Untuk apa kau memberikannya padaku?" Aminah menanyai setelah tak ada perkataan lanjut dari Damar.

"Untukmu dan keluargamu, apalagi Didin sakit, kau bisa memberikan nya ini."

Kalimat sederhana bernada perhatian dari Damar malah seperti kalimat ledekan saat melewati gendang pendengarannya, "Apakah aku seperti orang tua yang tak tanggung jawab?!"

Damar hampir melonjak dari tempatnya kini, segera damar ingin berucap "Bu—"

"Terimakasih kau sudah baik kepada keluargaku, tapi tolong jangan kau anggap aku ini tak mampu membelikan anak-anakku sesuatu, aku tak semiskin itu hingga harus mengemis padamu, Dam."

"Aku tak pernah menganggap pemberianku ini adalah belas kasian padamu, aku sudah pernah bilang kepadamu aku inggin bersama kamu, aku inggin jadi ayahnya anakmu." Balas Damar tak mau ikut tersulut emosi.

"Lalau, tadi ... bukankah kau sudah punya perempuan lain," cicit Aminah sendu. Damar tak dapat berkata selain memikirkan kenyataannya bahwa sepupunya menjadi sumber kecemburuan Aminah.

"Pupus, namanya Pupus dia sepupuku. Kau jangan salah paham, aku mohon." Pinta Damar menjelaskan bahwa memang tadi dia bersama saudaranya

"Kenapa kau menghilang, apa karena kau sudah bosan bareng janda," sindir Aminah membuang wajah dari Damar, "Aku ada urusan, maknnya aku berusaha membereskan urusanku dulu."

"Dam."

Damar kira perkataannya cukup dengan membuat Aminah mengerti dan faham untuk memaafkan atas ketidak hadirannya untuk beberapa minggu terakhir ini.

"Kayaknya kita sampe sini aja deh," tutur Aminah lemah, Damar langsung berdiri dari tempatnya kaget. "Kenapa, aku buat salah apa?"

Aminah mengeleng pelan, "Kau tau kenapa aku ngasih kesempatan sama kamu kamu, itu karena Rudi sama Didin suka sama kamu Dam, aku pikir aku bakal baik-baik aja kalau kita bareng samaan, tapi aku belakangan mikir, apa jangan-jangan kamu memperlakukan aku kaya beberapa belas tahun yang lalu."

Damar menutkan alisnya tanda kurang faham.

"Pas kita sekolah, kamu ingat kita satu SMA, tentu kamu bakal ingat bukan, tapi aku juga ingat aku hanya di buat bahan taruhanmu biar ngak di Bully kakak kelas, aku pikir harusnya aku mikir kesana," Damar mengigit pipi dalamnya, sepintas kenangan itu teringat lagi.

"Harusnya aku gak pernah suka sama kamu, yang deketin aku aja demi kamu gak di Bully lagi, kamu tau, kamu itu pengecut, itu kenapa aku benci sama kamu, kamu bisa datang peri dan se-enak kamu demi kesenangan kamu, silakan pergi sesuka kamu, aku akan jadi Ibu buat Rudi dan Damar tanpa belas kasian kamu lagi." Aminah beranjak masuk ke dalam rumah tanpa melihat bahwa Damar, pria itu tengah menahan luapan air mata.

"Ngak-ngak kayak apa kamu pikir," lirihnya pada udara kosong mentap pintu kini sudah tertutup rapat.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top