Main

BAB 13

"Damar, kalau ada kesempatan dari aku buat kamu deket sama aku, hemm ... apa kamu tetep nyoba?"

* * *

Entah sudah keberapa kalinya Damar tersenyum bak orang gila, mirip tapir. Begitu kata kakaknya tercinta.

"Senyum mulu, gigi tuh nanti kering," canda kakak iparnya sambil nyengir kuda.

"Wajahku sudah mirip sinar mentari di duniannya tinkiwinki, penuh bahagia dan tawa, sebelum ada dunia wakanda seperti mu menyerang," balas Damar berbelit.

"Kenapa nih, nyiram tanaman sambil senyum, mana kamu gila, apa gak waras. Kaktus malah disirami air, berbunga ngak mati iya." Kakak iparnya kita sebut saja abang kumis karena memiliki kumis tipis dan jarang, Damar tersenyum miring, senyum di wajahnya kini mencebik.

"Kaktus itu perlu air juga, seperti lambang hatiku kini, tengah bergembira tak tandus." Tangan Dmara menyentuh dada membuat mimik bak pejuang kemenagangan di acara17-an

Sebuah sendal kesehatan terlempar tepat mengenai pungung lebar Damar.

"Gendeng kamu, mau bikin tanaman mati malah sekarang kayak orang mules nahan berak." Satu tarikan menghempaskan tangan Damar dari selang air, segera mati sebelum tanaman tak suka air itu mati.

"Cerita, ini kamu kesambet apa sampe kayak gini, apa kamu salah makan apa gimana." Bang kumis bertolak pingang mengajak keduanya duduk dibangku pelataran rumah.

"Hayo cerita, kamu kenapa kok kayak sekarang, apa ada yang bisa abangmu ini bantu." Dadanya ditepuk keras ala pejantan tanguh padahal kalau ada serangga larinya ke Bu Tono –istrinya—dasar lelaki lemah.

"Aku jatuh cinta, bang."

"Bukannya emang kamu bucin ya, kenapa bilang jatuh cinta," bingung bang kumis, si kakak iparnya itu mengaruk dahinya mendadak gatal, apa memang adik dari istrinya dalam fase keracunan makanan basi.

Damar mengeleng dengan bibir maju beberapa mili nampak di imut-imutkan, bang kumis menahan mual mukanya sudah mengekspresikan ketakutan melihat makluk halus.

"Bang, kenapa gitu mukanya," suara Damar kini dibuat se-lucu mungkin.

"Boleh aku muntah?"

"Jangan, aku kan belum cerita," bang kumin berusaha menelan cairan-nya kembali agar tak menjadi kenyataan dirinya memuntahkan semua cairan ke wajah adik iparnya kini.

"Yang serius, goblok," maki bang kumis kesal setengah hidup.

Damar tersenyum jail kini dirinya mengubah raut wajahnya kembali ke mode normal, waras.

"Gak tau ... felingku cintaku bakal keterima," jawabnya pelan.

"Kemarin kamu galau, sekarang optimis, yang bener yang mana." Omel bang kumis menggaruk perutnya.

"Itu namanya fase kehidupan, kadang bahagia, sedih kadnag juga gabut, abang gak pernah muda sih," jengkel Damar mengoda abangnya.

"Muda pernah, semua itu sama aja, cuman bedanya seusia kamu abang udah nikahin kakak mu, gak kayak kamu happy ngejomblo," balas sindir abang kumis membuang muka.

Damar ingin protes sayangnya itu termasuk fakta harus di-aaminin olehnya agar mendapatkann pujaan hati segera mau di halalkan.

"Kamu yakin sama dia, Dam. Kamu udah siap jadi bapak, menikahi seseorang gadis beda sama nikahin janda, kamu kalau menikahi gadis cuman harus siap berumah tangga sama dia dulu mencicil semuanya bareng dan punya anka bersama dia tapi kalau kamu menikahi janda sukur-sukur dia belum punya anak kalau udah punya anak kamu harus menerima dia sepaket sama anak serta pengalamannya sebelum sama kamu, entah luka, entah sedih mereka punya naluri difensif sama orang baru apalagi ini bakal menempati setatus bapak dari anaknya sama tinggal serumah kamu juga harus siap satu rumah dengan anak yang kamu tau bukan darah daging kamu dan itu adalah bagian dari keluargamu, gak sesimpel kamu suka sama dia dan lupa anaknya juga bagian dari hidupnya." Petuah dari bang kumis, Damar terdiam membayangkan dirinya hbungannya dengan anak-anak Aminah kini.

"Aku yakin, bang. Aku udah suka sepaket sama anaknya."

Bang kimis menganguk pelan memahami si adik ipar.

"sekarang kamu bisa percaya diri bikin aku seneng tapi semoga ini bukan cobaan setelah badai, kamu harus tetap berjuang, janda itu bukan gampangan tapi liat orangnya juga, dia selalu bikin kamu ikut gilak dan itu belum seberapa, jangan menyerah." Tangan terkepal ke udara kosong, menyemangati Damar.

Damar tentu antusias serta eforia kebahgiaan bertambah, hari ini dirinya tak sabar untuk berdoa agar esok pagi lebih baik dari sekarang.

"Nanti malam ada pasar malam, coba kamu ajak dia main ke sana, ajak anaknya juga." Ide bang kumis memainkan dagunya.

"Yang bener," heboh Damar gembira menyambut eforia ide tercetus barusan.

"Dah, sana siap-siap." Seloroh bang kumis mengusirnya pelan.

* * *

Jika rambutnya pernah kuning dan tak singkron dengan kulit coklatnya kini coklat karamel membuatnya nampak kelihatan fresh dari sebelumnya, kulit gelapnya jauh lebih bersih nampak terawat walaupun tone kulitnya belum berubah drastis.

Kaus krem lengan pendek dibalut jaket jeans biru dongker serta balutan celana jeasn senada dengan jaketnya membuat tubuh jenjang Damar kian menarik lebih styles.

Suara parfum terus mengelilingi tubuhnya, harus wangi setidaknya.

Jalannya begitu pogah bak orang menang judi besar, senyumnya terbit hanya matanya bertatapan dengan daun pintu berwarna biru laut nampak cerah.

Ketukan keras memaksa pemilik rumah melihat siapa sosok tamu, Aminah dengan kaus bertuliskan black pink serta celana panjang ada atribut foto bias membuat dandanannya nampak ramai.

"Loh, kenapa mampir jam segini?" Aminah mempersilakan sosok lelaki itu duduk didepan beranda rumah, menyamankan duduknya lelaki itu.

"Ini aku mau ajak kamu sama anak-anak main di pasar malam, katanya di sana lagi banyak acaranya."

"Ikuttt/Mauuu!" kompak dua sosok kepala melongoh dari pintu, nampaknya keduanya tengah menguping pembicaraan, Aminah melempar tatapan tajam nan lucu.

"Kalian kenapa muncul di situ udah kayak tuyul," cecar Aminah, Rudi dan Didin mendekati Damar mentap penuh harap. "Kalau mereka tuyul kamu Ibunya Tuyul dong," seloroh Damar polos.

"Kalau gitu kamu aja yang jadi bapaknya kalau mau punya anka tuyul," kesal Aminah ngasal, dia lupa apa maksud dari ucapannya membuat ketiga lelaki disana kebingungan atas kalimat ambigu barusan.

"Ajak kita ya Om," mohon Rudi cengegesan.

"Didin juga mau ikut mau nyari ikan."

Desakan kedua makluk kurcil dirumahnya Aminah turut menganti pakaian yang layak dikenakan, baju dress biru tua bermotif bunga krisan kecil setinggi diatas mata kaki dengan balutan sepatu putih, rambut bergelompang berhiaskan jepitan emas, siapa yang mengira dia Ibu dari dua anak laki-laki.

Sedang duo bocah nampak modis memakai kaus putih dengan celana jeas hitam nampak bak pasangan kekasih tengah berlibur bersama adik mereka.

Kehebohan anak kecil saat melihat mainan tembak menembak sekedar mendapatkan bonek diinginkan.

"Wih, seru nih."

"Emang kamu bisa?"

"Aku dulu jaman sekolah mainananya beginian," jujur Aminah.

Damar tersenyum menahan gemas, Aminah yang dulu dimatanya tak jauh berbeda dengan Aminah yang sekarang.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top