Game

BAB 19

"Tapi aku jadi beneran penasaran, kamu kerjanya apa sih di kota, terus kenapa balik lagi kesini, aku jadi penasaran." Aminah mengalihkan wajahnya, dalam hati dirinya memaki si mulut, kenapa begitu penasaran dengan urusan orang lain, dasa kamu Aminah tukang gengsi.

Damar cengegesan ditanyai begitu, boleh tidak dia merasa sedikit percaya diri Aminah tengah penasaran dengan dirinya. "Aku dulu kerja sebagai asisten salah satu perusahaan tambang, karena udah lama gak pulang jadinya kangen banget sama kampung halaman," cetusnya.

"Sayang banget!" seru Aminah hampir terjingkat dari tepatnya, Damar masih asik memakan masakan wanita tersebut terpisah beberapa jeda bangku memisahkan mereka.

Damar membenarkan poninya kini berganti model usai kemarin gonta ganti warna serta model beralih menjadi Park Seo Joon dalam film Itaewon Class menjadikan penampilanya jauh lebih rapih, "Kenapa harus sayang, emang kamu suka sama orang kaya," vokalnya terdengar kecewa.

Amianh mengeleng cepat, bukan itu maksud perempuan berusia 30-an tersebut, dirinya tak memandang dari segi materi saja.

"Bukan itu, hanya saja terlalu sayang aja kalau itu pekerjaan menjanjikan dan kamu udah nyaman tiba-tiba dilepas, selama kamu punya pekerjaan dan rajin kerja itu bukan masalah utama." Tegasnya menjelaskan maksudnya tadi, merasa kurang nyaman jika dirinya melihat sosok Damar sebagai sosok parlente siap diporoti.

Damar tertawa ringan, sudut matanya terasa berair segera segera ia lap, "wajar aja kalau perempuan mikirnya mapan, gak ada yang salah tentang perempuan matre, yang ada pria yang tak mampu, jadi jangan khawatir untuk sebuah label diberikan sama orang gak mampu membahagiakan pasangannya, jadi yang kamu khawatirkan itu aku ngak kerja dan bakal nyusahin kamu gitu?"

"Bu—"

"Iya aku tau, kamu gak bakal nanya itu."

Aminah serba salah, padahal dia membuka pembicaraan karena bingung mau mencari topik apa untuk dibahas oleh mereka, jatuhnya malah menghina pekerjaan Damar itu di takutkan olehnya.

"Aku kerja disini nerusin usaha yang aku bangun, selama aku ngumpulin uang aku dikit-dikit nabung buat usaha disini, balik lagi dikampung udah jadi tujuanku,"

"Ah, begitu." Sahutnya lirih, Damar tak dapat menangkap sumber suara.

"Kamu jangan kuwatir aku gak bisa menghidupi kalian, aku ini bertangung jawab, kok, boleh di coba." Beritahunya agak narsis melahap suapan jengkol terakhir.

"Ngomong apa sih," tukasnya menyembunyikan rona pipi, Aminah bergegas menarik piring dari Damar, meningalkan lelaki itu menyungingkan senyum ke arahnya.

Damar tersenyum teduh secercah penerimaan dia rasakan dari sosok Aminah kini terdengar malu-malu, biarlah dirinya mengangap ini angannya semata.

"Min, aku boleh ajak Didin main ngak, sekalian mau jemput Rudi dari sekolah, mau main sebentaraan aja tapi jangan kamu marahin kayak kemarin kemarinnya itu, loh." Kata Damar masih memakan krupuk kulitnya menunggu balasan dari Aminah.

"Boleh aja, asal kamu bisa jagaain anakku dan jangan sampe kotor-kotoran lagi." Perintah Aminah tegas, berbalik memandang Damar.

"Yee, mereka juga anak-anakku," seloroh Damar, pukulan cukup keras langsung Damar terima mengenai pundaknya itu tak teralu sakit sayangnya jika niat aminah memang ingin menyakitinya, "Enak aja anakmu, sejak kapan kamu bunting," ketus Aminah tak terima, anaknyya di claim orang lain.

"Aku juga hamil, loh."

"Hah! Hamil apaan," heran Aminah menelisik tubuh lelaki tiang tersebut.

"Hamil anak gajah."

Aminah sontak terdiam tak menangapi lagi, dia tau 'anak gajah' dimaksudkannya.

***

Sesuai janji, Damar mengajak Didin bersiap dengan helm tentunya agar keselamatan mereka terjaga aman menaiki montor matick kesayangannya, sebut saja beat hitam kepunyaaan Damar bernama Bibin.

Damar berencana mengajak kedua bocah menikmati bermain bersamanya, motor matick –Bibin—sudah terparkir di depan area sekolah dasar, jangan ditanya tau dari mana tentu Aminah menjelaskan letak serta lokasi sekolah Rudi, jam sekolah anak SD tak begitu lama, baru beberapa menit Damar menunggu dengan Didin duduk paing depan, mereka sudah dapat melihat Rudi berjalan menyusuri jalaan setapak keluar dari area sekolah.

Damar melambai penuh antusiasme, Didin juga tak kalah heboh panggilan anak manusia di gaungkan membuat Rudi menahan malu, kenapa orang bertubuh tinggi itu hobby mempermalukan dirinya serta orang lain, tatapan aneh tak dapat Rudi elak.

"Om kenapa muncul tiba-tiba sih, kan aku belum siap, terus ini kenapa anak tuyul ikutan," kata Rudi sedikit mengusili Didin, anak itu kemudian melipat tangan di depan dada memanyunkan bibir cherrynya melengos sebal sayangnya bukannya nampak marah gaya merajuk anak itu makin membuat dia gemas apalagi helem berwana pink bergambarkan hellow kitty karakter kelinci jepang.

"Ih, gitu aja ngambek, beneran anak tuyul kamu itu ya," goda Rudi makin jail, selama tak ada Ibunya dia makin gencar mengoda anak kecil itu.

Pipi gembilnya naik turun, "Didin bukan anak Tuyul, kalau Didin anak Tuyul Kaka Rudi juga kakaknya Tuyul," marahnya menatap nyalang pada Rudi menaik turunkan alis.

"Lah, kok bener, tapi aku tinggi berarti bukan tuyul dong, kamu kan pendek," balasnya tak mau kalah. Damar tak mau mendengar acara ocehan dua balita, ya. Damar menagngap mereka balita jika tingkahnya begini.

Damar segera menyodorkan helem sama seperti digunakan Ibunya kemarin, tentu langsung dikenakan oleh Rudi serta langsung duduk di belakang kemudi.

"Mau kemana kita," tanya Rudi mengunakan intonasi ala Dora The Expoler

"Kita mau jalan-jalan, cari makan siang." Jawaban tersebut langsung mendapat antusias dari si bungsu penggila makanan, lebih tepannya teukang makan.

"Satu ... Dua ... Tiga, kita berangkat, meluncur!" seru Damar langsung nge-gas kendaraanya meluncur berlengang menyusuri jalanan aspal, tujuannya adalah taman bermain dalam mall, setidaknya itu hal bisa ia pikirkan untuk saat ini, ingin rasanya Damar mengajak Aminah ikut serta tapi tak mungkin perempuan mandiri itu mau menutup warungnya disiang hari seperti sekarang, padahal Damar memiliki mobil hasil kerja kerasnya, sayangnya lelaki bertubuh tinggi itu tak begitu ahli mengunakan mobil yang kini terpajang manis dalam bagasi rumahnya, kan sayang barang bagus di sia-siakan –pendapat Damar cuman buat buang uang kalau dia bisa beli kendaraan roda empat tersebut, sayangnya tak pernah terpaikai dengan benar.

Wahana permainan menyambut mata anak kecil yang haus akan semua permainan di Time Zone.

"Bagaimana? Kalian maun main yang mana, udah bawa koin masing nya, kan." Damar dengan loyal membelikan mereka masing-masing koin logam lima puluh keping untuk memilih segala permainan yang memang mengharuskan pemainnya mengunakan koin sebagai alat tukar memainkan benda permainan di dalam arena wahana.

Tubuh Damar cukup kaku melawan dua bocah kini menari, meloncat serta maju mundur menekan tombol hijau, merah di bawah kaki meraka, yap. Mereka tengah bermain dance game


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top