Bertemu


BAB 29

"Bu, Didin sama kakak udah mandi." Aminah terlonjak dari duduknya, "Iya, kalian main aja di depan TV dulu ya, nonton power ranger, Ibu mau beberes gantian mau mandi." Balas Amiah dari balik pintu.

Aminah melangkahkan kakinya keluar usai merasa mata sembabnya sudah tak terlalu ketara, melihat jam menunjukan pukul 8 pagi, masih ada kesempatan Aminah mengolah masakan serta membuka warungnya nanti siang.

"Ibu, Didin bantuin ya." Solor Didin muncul dari sebelah kulkas, "Gak usah, cuman beberapa menu kok, lagian ini minggu, main saja sama Rudi mumpung libur dia." Usir Aminah mengabil beberapa bahan tinggal ia campurkan bumbu serta bahannya saja.

"Didin bantuin." Kukuhnya mengikuti Aminah dengan tanggan membawa beberapa kotak berisikan bahan. Aminah hanya pasrah menerima bantuan Didin, bantuan kecil seperti menggambil bahan, mata Aminah memburam.

"Kok nangis," tanya Didin memegang pergelangan Aminah khawatir.

"Ngak papa, ini asapnya biki perih," elak Aminah menyeka linangan air matanya. Didin mengomel pada opor ayam tengah di olah serta api kompor penyebab Ibunya menangis.

"Dam."

"Iya, gimana Min?" tanya Damar balik, mereka kini tengah berada diluar rumah.

"Ayo, menikah." Tuntut Aminah, es campur milik Damar begitu saja muncrat usai mendengar permintaan mendadak Aminah, ini kebalik harusnya dia sebagai laki-laki lah yang bicara begitu.

"Min, kamu ngak bercanda kan." Aminah menggeleng menjawab kebinggungan dari lelaki kini duduk bersebrangan meja dengannya, "Aneh ya?"

Damar menggeleng kuat-kuat, "Hanya, ter-terkejut. Kau tak merasa tertekan denganku?"

"Seperti yang kamu bilang, aku mau Didin jadi anakku secara sah negara dan ..., aku pikir bareng kamu itu hal yang aku harapkan."

"Tung-tunggu, aku mau nikah sama kamu, tapi jangan begini, kamu buat aku binggung."

"Binggung kenapa, kau mau menikah denganku karena hak asuh atau memang mau aku jadi ayahnya anak-anak, ini gak lucu loh," tukas Damar telah menguasai keterkejuatannya tadi.

"Dua-duanya emang gak boleh? Bukannya kamu yang kemarin nyaranin aku begitu." Balas Aminah.

"Kamu udah beneran yakin, ini udah saat yang tepat, kalau kamu yakin kita ngobrol sama anak-anakmu dulu, buat siap nerima aku sebagai ayahnya bukan sebagai Om Damar, lagi."

"Kita bicarakan ini sama anak-anak bareng yuk," putus Aminah, akhirnya.

Membicarakan hal tersebut butuh moment yang tepat serta beberapa kata untuk membuat pengertian ank-anak p-ada hubungan mereka, tentu hal itu Damar pilih saat liburan berikutnya tiba, membawa duo bocah tersebut serta Aminah mengunakan mobil milik Damar, tentu Damar sudah belajar cara menyetir mobil dari Pupus, sepupunya yang bawel tersebut.

Salah satu tempat wisata hiburan, Dufan. Menjadi pilihan keluarga kecil itu bermain menghabiskan harinya untuk me-refresh otak kembali.

"Yeee! Seru nih, makasih Om." Didin berjingkrak bersaam Rudi, namun sepersekian sekon Rudi berdehem menyadarkan dirinya sendiri, "Heem, kau jangan norak, ini cuman taman bermain." Tukas Rudi sok keren di depan Didin, Didin langsung cemberut dengan bibir mengerucut lancip.

"Ihh, emang kakak pernah ke sini," ejek Didin ingin tau, "Pernah dong, aku sering ke sini sebelum kamu ada, iddiih." Rudi mencibirkan bibirnya meledek Didin tengah merengek dibawah kaki Ibunya.

"Ibuuuu!"

"Aduh, kamu kenapa godain adikmu sih, orang kamu ke sini juga baru kali ininya, loh." Tegur Aminah menasehati Rudi tak lagi menggoda adiknya.

"Tuh kan, sama aja ..., dasar tukang kibul." Bales Didin meledek, Rudi memutar matanya kesal, tentu merasatak mengasikan mengoda si adik kalau Ibunya ikut-ikuta membela Didin.

Damar ikut serta tersenyum melihat pertengkaran kecil ala bocah kini menjadi tontonan gratis di depan wahana istana boneka, Damar hanya memiliki kakak serta saudara berisikan wanita semua, hanya dirinya lah anak lelaki satu-satunya di sana, pertengkaran diantara lelaki dan wanita cukup jarang jika salah satunya tak lagi iseng.

Bak keluarga bahagia, Aminah, Damar bersta Rudi dan Didin menyibukan diri mereka masuk ke dalam wahana satu dan wahana lainnya, satu hal yang menyedot atensi perempuan 30-an tahun tersebut ada even K-pop tengah di selngarakan di sana, sebuah Dance cover mendendangkan lagu Shinee Ring-ring-Dong, ritme musik yang membuat Aminah rela berdesakan mencari spot terdepat melihat berbagai ragam tarian serta lagu cover tengah di dengungkan begitu apik oleh si penyanyi.

"Ini lagi apa, Bu." Rudi mengaruk pelipisnya, dia selalu heran tiap mendengar lagu berbahasa asing masuk ke telinganya, tentu bukan hal asing mendengar bahasanya tapi baru kali ini Rudi melihat sosok wanita cantik dengan drees putih ada bandana warna senda bajunya membuat tampilan rambutnya tergera masih nampak manis, gitar coklat di pegangnya terpetik sesuai nada ritme vokalnya.

Sosok wanita itu tengah meng-cover lagu IU, solois muda dari negri sebrang cukup fasih, Damar sedari tadi mendegar juga malah tak paham namun ikut larut dalam alunan.

Merasa gerah akan tubuh kecilnya berdesa-desakan orang dewasa Didin mulai menyingkir tanpa di ketahui oleh kakaknya, menyelinap keluar dari lingkaran manusia temgah menikmati eforia serunya musik K-pop.

"Mending Didin jalan-jalan dulu," usulnya menyusuri jalanan luas yang penuh wahana serta tampilan manusia badut atau pun berkostum unik. Pandangannya tak bisa tak menatap takjub tiap tempat dia susuri.

"Loh! Didin mana," Rudi celingukan mencari sang adik, "Bu, Om Damar. Didin!" seru Rudi bersuara diantara kebisingan di tempat.

"Didin hilang, anakku!" panik Damar jauh lebih kebingungan menjambak rambut ikalnya.

Aminah pun ikut panik menyesali atas kecerobohannya tidak mengawasi kedua anak-anaknya.

"Kita kemana dulu, apa kita langsuk ke posko informasi." Kata Aminah memberi solusi termudah, "Begini aja, Rud. Kamu ke ruang informasi atau apa lah itu kau tau kan maksud Om, kamu bilang sama penjaga di sana kamu kehilangan adikmu, Didin, kamu tungguin di sana biar Om sama Ibumu yang cariin Didin." Perintah Damar di anguki Rudi, tentu sebagai anak yang akan menginjakan kaki di SMP dia mampu untuk mencari jalan pulang, mematuhi printah Om Damar Rudi bergegas mencari posko dimaksudkan.

"Sekarang, ayo kita cari Didin." Damar mengandeng tangan Aminah kemudian.

Seluruh jalan serta wahana penuh dengan pengunjung tentu cukup mempersulit jalannya pecarian Didin apalagi anak kecil dengan tubuh yang bisa membaur diantara orang-orang lainnya cukup mempersulit keberadaan kedua orang tua itu mencari Didin.

Ditengah kepanikan bocah berpipi cubby itu malah menangis, bukan karena dia kehilangan arah kembali, hanya saja sosok didepannya kini mencengkram bahunya kuat.

"Ngak, aku ngak mau ikut Ibu, Ibu jahat sama aku." Tangis Didin hingga inggusnya mulai mbeler lagi setelah kian lama bersama Aminah tak lagi mengeluarkan cairan kental dari lubang hidung sewarna kuning emas.

"Ibu bisa kasih kamu makan, Ibu bisa kok, kita cari bapak baru buat kamu ya, Din."

"Ngak, Didin ngak mau bapak baru, Didin sekarang punya Om Damar, bukan bapak yang gak ngasih Didin makan, Ibu juga udah buang Didin," keluh Didin pada Putri.

Putri adalah Ibu kandung Didin, memang benar dia telah membuang anaknya itu ke pasar cukup jauh dari desa kediamannya, cukum meriskan ketika tak sengaja mendapati anakmu muncul serta mengorek rasa rindu.

"Didin!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top