Bermain dengan Tanya

BAB 10

"Om, sekarang jadi apa?" tanya Rudi, sudah hafal diluar kepala kecilnya, terkadang lelaki dewasa seperti om Damar selalu bertingkah diluar nalar.

Damar tercenung sesaat menghafal tokoh siapa lagi tengah dia tiru, suara bernada rendah akhirnya lolos dari bibir Damar, "niatnya mau jadi mas goblin tapi pengen jadi malaikat penjabut nyawa ala Lee Dong Wook," pukas Damar, dirinya kini fasih menyebut nama pemain drama satu itu dengan fasih walaupun nada medok ala orang indonesia masih kental dilidah.

Rudi kompak menganguk diikuti Didin, keduanya memang tengah diajak Damar mancing ikan, menunggu ada ikan bodoh memakan roti tawar sebagai umpan.

Dengusan lirih berasal dari Rudi, berlahan dirinya memberanikan menanyai si lebih tua dari mereka, mencoba sopan agar tak terkesan mengurui.

"Mengapa, om suka sama Ibuku, bukannya om bisa nikah dengan orang lain." Pertanyaan menjurus ke pernyataan membuat Damar memutar otaknya menjawab selugas mungin mudah diterima anak seusia mereka.

"Entah ..., satupun gak ada jawabannya." Wajah Rudi menekuk, jawaban sama sekali tak sesuai harapannya. Dari ekor mata, Damar dapat menangkap ekspresi si bocah.

Mungkin Rudi fikir Damar tipikal lelaki mendekati ibunya karena termasuk wanita awet muda, cantik serta mandiri, setidaknya lelaki dengan modal ingin menikahi dirinya biar bisa pamer.

"Jawaban macam apa, pertannyaan pasti ada jawaban," sela Didin memecah suasana.

"Gak salah, om sepakat denganmu, dengan jalan apa bisa menemukan pertanyaan yang jawabannya sederhana ..., Din, kamu suka makan'kan." Didin menganguk, padangannya masih memantau ujung benang. "jawabannya Om, sama seperti Didin, Om suka Ibu karena Om pikir gak ada hal lain yang Om butuhkan selain dirinya, sama seperti Didin kalau laper pasti idungnya meler, kalau Om ... gak menemukan sesuatu di dalam Ibu kalian di tempat orang lain." Tambah Damar menjabarkan.

"Jadi om memilih gak nikah nunguin Ibu, tapi Ibu kan pernah nikah sama Bapak, kenapa om malah milih jomblo," cecar Rudi, pandangannya mengawang. "Ibu orang aneh, om juga sama anehnya, apa semua orang dewasa itu rumit."

Damar mengatupkan mulut, Damar tercengang bagaimana si calon anak –begitu anggapan Damar, padanya—begitu kristis sekali.

"Kau cocok jadi politikus," candanya, desisan tak suka tercetak pada mimik si bocah.

"Apa menurutmu Ibumu gak pantas diperjuangakan." Perkataan retoris terlontar begitu mudahnya, Rudi termangu.

"Menurut Didin, Ibu baik kok, bisa apa – apa sendiri, rugi kalau gak ada yang suka Ibu," sambar Didin tak tahu suasana –menurut Rudi— Damar, mesem mendengar kalimat apik dari si bungsu.

"Didin aja tau jawabannya, Ibu kamu pantas diperjuangin, tapi om gak maksa kalian mau jadi anak om atau ngak, yang jelas om pengen berusaha aja semaksimal mungkin, soalnya—"

"Soalnya kenapa?"

Senyum Damar berubah kecut, "itu masalah belum bisa om ceritakan, kita fokus mancing aja, kalau dapat ikan nanti kita bakar dikebun, biar kayak si bolang."

"Mana ada ikan mau sama roti tawar, belum dimakan rotinya udah hanyut," protes Rudi mengamati kail mereka sama sekali tak bergerak

"Padahal ikan dikolam om suka sama roti, kenapa disini ngak ya, apa karena ikan kampung."

Ingatkan Rudi kalau lelaki duduk bersebelahan dengannya jauh lebih tua kenapa menyamakan ikan peliharaan dengan ikan di sungai.

* * *

Kepulan asap membumbung tinggi, ubi bakar menjadi alasan kumpulan ranting dibakar, termasuk dalam list kegiatan ingin Damar lakukan.

Paras ketiganya sudah dibaluri celemotan arang hitam.

"Ka, Rud." Panggil Didin, kini lidahnya membias pangilan akrab pada anak dari penyelamat hidupnya kini menjadi kakaknya.

"Kenapa."

"Muka nya cemong – cemong." Tergelak mendapati muka mereka berubah menjadi pantat wajan.

"Perlu dibawakan mirat, biar kau tau aroma buluk serta mimikmu mirip kucing garong kecebur selokan."

Damar menunjuk dirinya sendiri, "lah emang muka om ngak, kenapa kalian bingung."

Kakak beradik tak sedarah saling lihat-lihatan, kompak keduanya menjerit menyoraki Damar.

"Yeee, kalau om mukanya memang kelam." Gurau mereka, damar mengangkat tangan menahan gemas untuk tidak menjitak kepala mereka.

"Dasar anak manusia, memang."

"Terus om anak apa memangnya."

"Anak ganteng, itu baru om."

Seketika menjadi lengang mendnegar gurauan Damar, suara nyala api membakar hanguskan ranting menjadikan sumber suara.

"Kita makan aja, yuk. Udah matang." Damar meringkuk mengais ubi, koemdinya tak lucu tapi memang diakan merasa tampan, cuman ada yang lebih tampan darinya saja itu yang salah.

"Makasih om, Ibu gak pernah mau ngajakin Rudi sama Didin kayak sekarang."

"Ibu kalian perempuan, kalau kalian gak salah ingat, kita sesama lelaki yang bisa saling ngertiin." Pringat Damar, membayangkan wanita itu dengan posisi ngangkang sembari makan ubi atau nangkring menunggu kail ikan termakan. Masa seperti itu sudah lewat termakan waktu, bukan.

Dibawah patatnya samasekali tak ada paku atau kerikil nyatanya sesekali duduknya berubah posisi, bibirnya terkulum menegaskan kekahawatirannya.

Kedua anaknya tengah bersama Damar, dia tahu itu. Harusnya bukan hal mengusarkan batinya namun tak semudah itu menghalau pikiran buruk menderai, bukan soal anaknya tak aman berada didekat Damar, Damar cuman cukup nyentrik kadang narsis bukan penjahat, bukan hal seperti itu membuat Aminah kalut.

Suara serempak anak menariknya dari lamunan menyadarkan dari pikirannya sendiri.

"Kalian dari mana saja, kenapa lama seka—" suaranya tercekat, berdiri mematung depan pintu, "Muka kalian semua kanapa! Habis main barongsai apa mau jadi kuda lumping, aduh ..., Kalian bau, tau itu kan." Sergah Aminah memberondong pertanyaan tanpa memberi kesempatan kepasa ketiga lelaki kini berjajar sesuai urutan tinggi badan.

"Maaf, Bu. Tadi kami main sama om Damar, seru." Cicit yang paling kecil, dia menunduk mengamati jari kaki menghitam terkena terik matahari.

"Kalian berdua cepat masuk, mandi segera. Mau sampe malem apa kalian main terus." Paksa sang Ibu mulai geram.

Damar menenangkan Aminah sesudah dua kurcil masuk kedalam.

"Kamu gak usah ikut campur, tolong. Mereka anak aku." Air ludah Damar terasa menyakitkan seolah tak dapat ditelan bulat – bulat, apa dirinya kali ini sudah kelewatan. Batin damar tak enak hati.

"Aku gak akan marah denganmu, tenang saja. Anakku, karena merekan anak-ankku aku tentu panik, ini sudah senja untuk bermain."

Damar menghela nafas lega, cukup lemah hinga hembusan nafas Damar terdengar.

Aminah tersenyum simpul, derai panik serta rasa bersalah nampak tercerimin dalam bola mata Damar, hanya tak ingin lelaki itu merasa bersalah lebih larut, entah kenapa Aminah ahrus punya andil membuat Damar tak merasa bersalah padahal sekenario kekesalah siap dia tumpahkan, mungkin logikanya mengambil alih emosinya, dia memang marah terhadap Rudi serta Didin yang masih begitu belia menyamankan diri diluar rumah ketika hari mengelap namun termakan oleh sentimen membuatnya lupa kalau anaknya sesekali butuh figur Ayah, tapi untuk Damar, entahlah. Aminah belum berani berangan.

"Hari sudah malam, kau segera pulang, tak enak mengundangmu untuk mandi di sini."

"I-iya, kau benar."


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top