BAPAK

BAB 11

"Woy, adekku yang paling bagus sendiri, kenapa engkau ngelamun bak patung maling kundang."

Damar mendesis, kakak tercintanya datang dengan rambut tergelung roll rambut menyodorkan pisang goreng panas. "Pulang – pulang malah manyun, kenapa gak sekalian aja kamu pulang sambil nangis."

Damar merotasikan matanya agak jengah memiliki kakak seperti Tarno.

"Makan dulu, nih."

Merasa malas Damar melumat lamat gorengan olahan Bu Tarno. Sekedar dari lirikan mata wanita paruh baya itu sudah hafal mati tabiat adiknya –nampak sekali mukanya mirip monyet kebelet kawin—itu tanda dia tengah galau.

"Aku seneng harusnya Aminah gak ngehindari aku lagi, tapi rasanya dia ngasih aku batasan, ya?" kalimat Damar mengambang, tak peduli akan ada respon dari Bu Tarno ataupun tidak.

Bu Tarno kebingungan dalam kegamangan si adik, melepaskan ketegangan antara kakak adik diantara mereka ternyata tak mudah, sekedar bunyi kunyahan crispy tepung.

Damar mengumpulkan kalimat berucap mengakhiri perasaanya tengah kalang kabut.

"Tadi, Rudi tanya ke aku, kenapa aku bisa suka Ibu mereka, seberkas rasa ragu malah kini bikin aku bingung kak, padahal aku bisa aja nikah sama orang lain paling gak lebel perjaka tua gak nempel lah, apalagi pas tadi aku nganterin anak-anak, Aminah ... aku gak bisa prediksi apa pikirannya, apa aku bisa lanjut atau ngak."

Ingatannya mengelana ke waktu lalu, pandangan Aminah tersirat kecewa, kesal serta entah lah. Damar tak bisa membaca pikiran perempuan itu, seperti dipersilakan memasuki relung hatinya akan tetapi menyisakan tembok tinggi.

"Kamu suka dia udah lama, sampe dandan tiap harinya buat dia, kalau kamu nyerah harunya mundur kalau suka ya maju, bukannya kemajuan ya, kamu bisa main sama anak – anaknya."

* * *

Sejak kepulangan mereka bersaam Om Damar, Rudi tau Ibunya kesal serta jengkel anaknya bermain hingga hampir petang muncul, sayangnya raut wajah Ibunya tak menyeritkan akan kekahawatiran tentang dirinya serta Didin, ada yang lain. Bola matanya nampak keruh, pikirannya berkelana entah kemana, Rudi menjadi pengamat, Tv menampilkan acara lawak dari salah satu stasiun Tv tak membuat Ibunya tergelak, Ibunya tengah melamun.

"Bu, Ibu kesal ya sama Om Damar."

Aminah tertegun, kenapa Rudi bisa mendapatkan kesimpulan seperti itu.

Tawa hambar Aminah terdengar kosong, "Kenapa bisa kepikiran sampe kesana, kenapa harus marah sama Om Damar, hem." Rudi merupakan pengamat yang baik, etidaknya dia tak buta akan ekspresi natural para orang dewasa sekitarnya.

"Ibu gak semarah tadi kalau bukan sama Om Damar, kenapa, kenapa Ibu kesal," kejar Rudi menekan Ibunya akan jawaban diinginkan anak tersebut.

Aminah bungkam, dirinya salah tingkah mencari alasan yang jelas.

"Kan, Ibu takut kalian kenapa-kenapa, apa salah Ibu nyariin anak Ibu sendiri, belum lagi ada Didin diantara kita, kamu gak bisa mikirin diri kamu sendiri, ada Didin sekarang, kamu harus khawatir kalau keluarganya nanti nyariin dia, terus Ibu gak bisa rawat Didin dengan baik. Rud, gak semua hal saling berkaitan dengan apa yang kamu fikirkan, gak ada masalah dengan Om Damar, Ok." Rudi membisu sebelum kata tak pernah terbayangkan meluncur begitu mulus dari mulut Rudi.

"Om Damar, suka Ibu, Ibu tau itu kan," pernyataan barusan menjadi ultimatum Aminah tak dapat mengungkapkan kalimat, Rudi tau kalau lelaki dewasa kerap mampir ke rumah mereka terlalu payah menutupi perasaannya, bahkan terlalu konyol mengungkapkan cinta.

"Iya, Ibu tau." Lirih Aminah mirip desahan nafas.

"Kenapa Ibu buat Om Damar bingung, kenapa ngak Ibu usir aja kalau Ibu ngak suka, kenapa Ibu bolehin aku sama Didin main bareng Om Damar, kalau Ibu tadi marahin Om Damar."

Bingkai kalimat ingin Aminah untau keluar lewat kata, suaranya harus kembali ia telan kala Rudi menyambung perkataannya.

"Tadi Om Damar, jawab pertanyaan Rudi, kenapa Om Damar bisa suka sama Ibu ..., gak ada hal di dalam diri Ibu ada di wanita lain." Pukasnya. "Tadi Om Damar pulang dengan muka sampa penampilan kayak gitu, apa gak jahat kalau dia nganterin kita pulang tapi malah pulang Om Damar cemong, minimal cuci muka pakek air bersih dirumah kita bisakan, Bu." Pelan Rudi di akhir kalimat.

Aminah terlalu takut jika terlalu kerap dirinya dekat dengan lelaki seperti Damar dirinya akan nampak makin jelek dimata orang lain, bagaimana kata orang makin sater kalau Aminah menikahi adiknya Bu Tarno, anak rantau kini sukses di desa bukankah itu terlalu jomplang dengan Aminah.

"Rud, kamu terlalu dewasa untuk anak se-usia kamu, ada hal yang kamu gak harus tau dan kampu perlu sekedar mengerti, makin dewasa itu menjadi makin rumit, kalau Ibu se-usia kamu, makan, sekolah, main. Impian seorang anak dari jaman dulu sampe sekarang, berbeda ketika kamu dewasa, kalau menurut kamu tadi benar coba sekarang kita bayangkan posisi Om Damar, dia pria dewasa terus terlalu lama di rumah Ibu yang cuman punya anak kecil dan gak ada suami, apa kata orang tentang Om Damar, kalau kamu sayang dia, kamu harus tau batasan bolh dan gak boleh."

Kepalanya terasa di lempari kerikil, Aminah memilih beranjak ke kamar, merebahkan tubuhnya diantara dinding berhias poster.

"Andai menyukai seseorang segampang suka sama Jimin, cuamn suka gak perlu di bales atau se-halunya sampe tengelam menjadi pemasok uang demi aktor kesukaannya, tanpa perlu di balas." Tubuh ramping Aminah tengelam diantara pualam empuk.

Sepeningal Ibunya Rudi tak tau harus menunjukan ekspresi sedih, biasa atau tertawa keras akibat pikirannya mulai teracuni acara sinetron tak bermutu, hubungan indah antara tokoh dan tokoh lainnya.

"Apa Rudi sama Didin ngak punya kesempatan punya bapak baru, Om Damar baik, kenapa gak bisa." Gumamnya terdengar samar bercampur riuh suara benda persegi.

Bayangan akan keluarga dengan sosok lelaki dewasa didalamnya sempat terbesit dalam benak Rudi, Didin. Dirinya juga terlampau masih bau kencur dibanding Rudi, walaupun Rudi masih anak kemarin sore, dirinya terlalu sensitif akan sekitar dia bahkan tahu tatapan menghampa Didin mempunyai orang tua lengkap tak pernah dirinya dapatkan sebelum dibuang oleh Ibunya sendiri.

Rudi merasa terlalu bodoh kalau memaksa kedua orang dewasa menurutnya memiliki stuktur otak jauh lebih ribet dari dirinya ataupun Didin si tukang makan. Hanya harapan kecil, keluarga.

Pernah Didin harus mengulum senyum berpura-pura tak menyadari kulit pucat Ibunya kringat mengalir namun senyum simetris terukir dari raut Ibunya, memaksakan berjualan hari itu, kalimat sering di lontarkan 'Ibu sehat kok, nanti udahy sembuh' ucapan penuh dusta, siapa yang buta melihat sosok wanita singel parets menghidupi anaknya sedari dulu, kebutuhan mereka makin meningkat sejalan Rudi dewasa apalagi dengan Didin harus mendpaatkan pendidikan yang layak kedepannya.

Om Damar, dia lelaki bertangung jawab, Rudi mendaapatkan sosok orang tua dari dalam dirinya, setidaknya Rudi bisa lega Ibunya punya sadaran bukan hanya menjadi sanadaran.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top