Anak Tenggiri 2


BAB 07

"Kamu habis dari mana, lama baget." Rini protes menunggu Aminah sendirian.

"Tapi habis dua mangkok, emang perut karet," sindir Aminah, Ririn mendelik, es jeruknya tersedot hampir setengah oleh oknum di depannya.

"Tumben muke kusut, ada apa nih, ngak lagi mellow kan." Aminah mengeleng pelan arah pandangan larut dalam es batu mencair, Ririn makin tak percaya kenapa Aminah mendadak kalem.

"Abis kena damprat guru," tebak Ririn. "Alah, nilai nol aja udah biasa, ngapain galau, lalu kalau bukan nilai apa lagi, ketauan manjat pohon." Lanjut Ririn menebak nebak usai terus mendapat penolakan.

"Cuma ngerasa perasaanku kurang baik aja, pengen liat mas toming se," kelakar Aminah, Ririn tau tabiat satu ini suka koleksi majalas dari 4F meteor garden.

Manik kedua gadis muda tersebut saling melemparkan intuisi, keduanya tiba – tiba berdendang lagu di hafal luar kepala.

"Zhi pa wo zi ji hui ai shang ni, Ye xu you tian hui qing bu zi jin, Xiang nian zhi rang zi ji ku le zi ji, Ai shang ni shi wo qing fei de yi, Nan yi wang ji chu ci jian ni, Yi shuang mi ren de yan jing—"

"Terusannya apa?"

"Gak apal, cuman inget setelah itu wo ai ni, wo ai ni aja."

Keduanya kembali duduk usai konser dadakan, bahkan Ririn mengelap meja menjadi pijakan sepatu fantopel.

Seisi kantin dibuat diam sekejap, hening. Aksi anarkis keduanya menyita banyak perhatian tanpa ketercuali, dalam diam ibu kantin juga ikut mendendangkan drama luar negri di gawangi orang tampan.

"Jujur deh, ada apa, dari pada kita ngadain konser dangdut loh." Ririn mengunyah bakso, Aminah mengeleng pelan.

"Gak mau mikir, beban idupku banyak."

"Ye ... kayak punya otak aja, nilai itu tingkatin."

"Eh, Min. Tuh ada cowok item ngapain ke mari." Aminah menoleh, sosok tak begitu asing datang mendekati meja mereka, keningnya menimbulkan kerutan.

"Kamu Aminah, ya. Kenalin aku Damar, jadi pacar aku yuk."

Ke dua kalinya meja mereka menyedot keheningan, Aminah termasuk jajaran perempuan cantik dalam sekolah mereka, sedang sosok entah dari mana asalnya muncul membawa bunga hiasan tujuh belasan.

"Lah, najis. Ngapain bawa kembang makan nasi masih enak." Aminah mengaet Ririn pergi dari sana, Damar masih diam, otaknya memproses maksud Aminah.

"Ta- tapi aku gak jualan kembang," suaranya setengah berteriak.

Merasa tak gatal Damar tetap mengaruk dahinya, "Apa yang salah ya, apa besok bawa makanan aja ya?"

Dari sudut kantin beberapa anak bergaya berantakan menertawai aksi Damar, kakak kelas itu nampak senang mengusili adik kelas nampak cupu.

Pandangan Damar meredup sendu.

"Makasih ya, Min. Because you aku ngak bayar makanan kantin." Aminah melempar lengan Ririn, bisa saja setan satu itu.

"Enak aja, jadi kamu ngutang."

"Ya abis, ngapain juga narik aku, emang kamu ada masalah apa sih, sama tuh anak." Ririn bersuara.

"Risih aja, masa nongol udah nembak."

"Bukannya kamu tau dia kan? Kayak gak asing gitu mukaknya, serius. Kamu masa gak kenal." Ririn memicingkan mata, tubuh Aminah gelisah di tempat.

"Itu, anak yang sering di bully, masa ngak inget." Balas Aminah tak enak.

"Oooh! Yang sering pernah kamu tolong, mukanya mirip ubi cilembu." Girang Ririn mengingat sosok asing tadi, Ririn kembali berujar mencari jawaban pasti dari sosok perempuan kini tengah garuk kepala.

"Tumben kamu kesel sama dia, kayaknya kemarin liat dia kamu ngmongnya biasa aja."

"Ya kalau di tembak kayak gitu, kamu mau. Silakan kalau mau mah," sungut Aminah.

* * *

"Ini ikan apa lagi, Bu."

"Oh, itu ikan Tenggiri, kamu habisin Ding, enak loh rasanya." Didin terdiam melirik Ibu angkatnya, mungkin dia akan benar menganti namanya kelak.

"Kenapa di liatin, Bu. Ikannya gak bakal idup lagi kan, Ibu ikutan makan juga dong." Ajak Didin membuyarkan lamunannya, "Eh, iya juga."

Walaupun manjadi perempuan Aminah cukup aktif, kegiatan di siang hari usai pulang sekolah membuatnya mencari kegiatan.

"Dapat ikan ngak neng!" seru bapak tua baru balik mancing, melihat sosok muda tengah menunggu pancingannya di panen ikan.

"Belum pak, masih nunggu." Balas Aminah sopan sebelum pria tua itu berlalu meninggalkan seorang diri di sana.

"Kamu ngapain di sana?" suara berseru dari atas mengagetkan Aminah, Damar. Berada di atas jembatan sana, memandangi Aminah dengan tanya.

"Lagi naik bajai, gak liat lagi mancing."

"Emang ikan apa yang mau di pancing di situ," balas Damar, sungai di musim kemarau cukup surut hingga sulit mendapatkan ikan, kalau dapat Damar yakin itu ikan kecebong.

"Mau nyari salmon." Cengir Aminah tak berdosa, jika Aminah pria, Damar ingin ajak dia berkelahi sekarang juga.

"Gak ada salmon di sini, ini bukan laut."

"Namanya juga usaha, gak menghianati hasil." Suara Aminah lantang.

Damar bergegas lari menaiki sepedah lawasnya, mengayuh ke arah pasar. Dirinya jarang melihat ikan salmon di pasar, "Setidaknya ini mirip lah." Gumam Damar.

"Pak, beli ini ya." Dua ekor ikan masuk kresek di raihnya cepat, roda pedah Damar mengelinding cepat menuruni terjalnya tanah, sosok Aminah hampir beranjak dari sana sebelum damar samapai.

"Tu-tunggu!"

"Ngapain?! Ini apa." Kresek hitam beralih ke tangan Aminah, "Ikan," lirih Aminah melihat.

"Gak mirip salmon, tapi Tenggiri enak, kamu masak pasti enak."

Aminah mematung diam, jadi sosok pemuda itu pergi cuman ngasih ini aja. Batin Aminah, diam – diam seulas senyum muncul melihat kepergian Damar malu atas perlakuannya sendiri.

"Apa – apaan sih." Aminah pulang menenteng ikan segar segera di olah, bapaknya pasti senang.

"Tenggiri?" Rudi baru balik dari sekolah, wajahnya kusut agak berbinar melihat hidangan olahan ibunya, "Bisa dimakan nih," cetus Rudi mengambil kursi kosong sebelah Didin.

"Emang biasanya gak bisa di makan?"

"Kamu gak usah tau, belum ngerasain jadi uji coba." Peringat Rudi, Didin masa bodoh lanjut makan.

"Eh, Din. Heran aku. Ingusmu kenapa gak keluar ya pas kenyang, bisa meler gitu." Rudi menanyai Didin, tumben mangilnya bener. Pikir Didin.

"Udah naluri, kalau laper sama takut ingus Didin keluar sendiri, itu tandanya Didin gak nyaman." Tukas Didin menjelaskan.

"Terus pas aku ketemu kamu, ingus kamu keluar pertanda apa? Ketakutan apa kelaperan, kalau kamu bilang kemaren kelaperan kenapa ingusmu banyak padahal kalau pas laper ingus mu gak sebanyak itu belernya." Pertanyaan lebih ke pernyataan hasil pengamatan Rudi selama ini membuat Aminah ikut menunggu jawaban.

"Didin, takut." Jujurnya kini, "Didin sendiri gak kenal siapa – siapa, tapi kebetulan Didin juga laper, Didin pikir ikan cupang punya Kak Rudi bisa Didin minta buat makan."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top