Anak Tenggiri


BAB 06

Aminah muda selalu suka mengikat rambutnya sekedar iitu ekor kuda ataupun kepang, setidaknya terlihar rapih daripada mengurai rambutnya, terlalu risih.

Harusnya Aminah berjalan melewati koridor sekolah dengan mulus lalu sampai kelas dengan nyaman, kumpulan anak di bawah pohon mangga mengelitik rasa keponya untuk mendekati kawasan di sana, pertanyaan akan kenapa mereka disana saat jam pelajaran.

"Udah jelek, sadar diri dong. Bayar dong uangnya."

"Ampun bang, saya beneran gak ada ... uang kami udah buat berobat Bapak." Ringisan adik kelas penuh peluh.

"Ngapain di sini!"

Pandangan ke tiga pemuda di sana tertuju pada sosok perempuan agak cubby sedang melipat tangan, menatap nyalang mereka.

"Udah jangan ganggu, gak mau lawan anak cewek, sono pergi." Usir kakak kelas bak preman pasar.

"Tapi kalian gak denger dia gak punya uang, misikin ya sampe minta – minta, kalau ngemis di perempatan jalan sana di sini tempatnya anak sekolah." Cibir Aminah menyulut emosi mereka.

"Apa! Mau lawan cewek." Tantang Aminah cari mati.

"Perempuan gak jelas, gak usah ikut campur sana," usir pria lainnya lagi, suaranya nyaring. Aminah tak mau kehilangan akal dirinya mundur beberapa langkah membuat jarak, dahan pohon mangga memang hampir turun menyentuh helaian rambut membuat Aminah muda mendapatkan ide, beberapa ulat tengah berkumpul dari balik daun.

"Nih, makan tuh ulat ... gatel kan gatel ... ." pelajar tadi kelabakan mendapati si permpuan berani melempari mereka dengan ulat bulu.

"Ampuun Rombeng dech, kabur ... ."

"Bangsat, kenapa pake keluar lagi latah lu, To." Keduanya kabur meningalkan dua insang di bawah pohon, kondisi mulai gatal tak memungkinkan mereka pasrah mendapatkan serangan ulat bulu.

"Ma-"

"Aku permisi dulu, cari uang susah jangan mau dipalak." Jawabnya memotong suara anak lelaki itu, bergumul dengan tanah akibat tarik menarik kakak kelas tadi membuat Damar berfikir kalau saja perempuan itu tak mengingat dirinya.

Ini kali kedua pertemuan Damar dengan sosok tersebut, dulu juga sosok asing diketahui namanya --Aminah—selalu bertemu dalam kesempatan ajaib, menurut Damar. Aminah pernah pula membayar biaya angkot saat itu bersama Damar tak dikenalnya.

"Mar, kamu ngapain lagi sih. Kemarin minta di semir, sekarang ngapain minta di maskerin," Bu Tar, selaku kakak Damar kini tengah mengoleh masker ke seluruh tubuh di bantu sang suami malah mengunakan kuas cat tembok meratakan bagian kaki serta Bu Tarno mengunakan kuas lukis mengoles cairan putih mirip adonan semen.

"Biar putih, kalau item gak jadi oppa, malah jadi Oh- gelap."

"Kamu iku yo, aneh aneh. Kalau mau putih perawatan gitu, loh. Jangan malah kayak gini, kalau kulit kamu udah hitam di sukuri." Suami Bu Tarno nampak masih luwes mengunakan bahasa daerahnya, aksen Jawa timuran.

"Lah, Mbak bisa putih, aku kok item."

"Yaudah jatahmu item, gak usah mikir karena apa lagi, udah garis rahmatulah."

Bu Tarno diam mendengarkan debat kusir antara dua lelai tersebut, sedang dirinya nge-ide dari mana pergi ke dapur kembali bersamaan cairan hijau macha, mengoleskan ke wajah adiknya, bak pelukis profesional lukisan gambar mulai mewarnai wajah Damar.

"Kamu itu sukak kan sama janda satu anak itu, siapa namanya ... Aminah, temen main Zumba kamu kan dek." Sapa sang suami.

"Aku gak ngelarang kamu suka sama siapa, tapi gak gini juga, apa gak ada yang normal gitu, kamu mau jadi apa sih gini – gini?" heran kakak ipar masih fokus meratakan adonan.

"Kalau hari ini aku mau jadi Kim Bum, kalau kemarin Lee min Ho sama tentara Yoo gak berhasil, siapa tau kalau jadi Kim Bum berhasil."

"Opo eneh iku, yang fotonya kamu liatin itu ya? Kamu sama dia itu beda produksi sama dia, dia pas di prosuksi di pabrik SNI terus standar international kualitasnya juga, Mak top. Kalau kamu itu pabrik tradisional, kalau jadi ya sukur kalau gagal ya jual murah." Klakar si Kakak ipar membangunkan Damar dari acara terlentangnya.

"Enak aja, aku ini belom glow up aja." Kesal Damar beranjak dari dipan kayu meningalkan kedua pasutri itu, bantatnya bergoyang yang memang mengenakan boxser bermotif pisang.

"Mas, kamu itu jangan keterlaluan, gitu – gitu adek aku. Modal bikinnya itu undian dia bisa lair, mana gambaran kora kora ninjaku belom jadi pula." Warna hijau di mangkuk masih tersisa cukup banyak.

"ya, habisnya adekmu itu kok ya aneh, mau jadi produk luar negri produk lokal aja belum tentu lolos seleksi." Candanya diikuti tawa Bu Tarno, wanita paruh baya kini masih cantik juga heran kenapa sang adik bisa jauh berbeda dengannya mungkin dulu gen Bapak mereka terlalu kuat.

Damar kini asik mengipasi diri, gambar princess menjadi benda pegangannya.

"Apa aku jadi Kim Jong Un aja ya, gak terlalu susah, tinggal belah rambut sama gemukin badan," tanyanya sendiri, tak pernah sekalipun dia se-serius ini dengan wanita sampai belum Move on, Aminah terlalu sayang untuk di lupakan dulu perjuangan Damar hanya sekedar menembak terus Aminah akibat ploncoan kakak kelas.

"Kamu itu sering banget di tolongin sama anak sebelah itu, gimana kalau kamu nembak dia aja, kamu harus nembak dia sampai di terima ... kalau kamu berhenti kamu yang ku pukuli."

Pemuda dengan tubuh kala itu kurus hingga mengiris hati melihatnya terteungkup mencium tanah berkerikil.

"Ngak mau, kasian dianya."

"kamu gak kasian sama diri kamu, aku udah capek bully kamu selalu di gangu dia, mending kamu acari sana gih."

"Giamna kalau gini aja, kalau dia gak mau ... gantian si cewek sok berani itu kita ganguin, gimana? Sumpah dendam aku, gara – gara tuh perempuan setengah jaddi itu aku gatelan terus sampe bengkak muka gantengku," usul pria dengan narsis terlalu tinggi, bibir monyongnya serta alisnya tebal malah bikin dia mirip sipanse minta kawin, menurut Damar.

"Ja-jangan, iya aku mau, aku bakal tembak dia samapi dia mau jadi pacar aku."

"Bagus, besok kamu harus ngomong kalau kamu cinta dia."

"Aku belum pernah ngobrol sama dia," cicit Damar takut.

Alah, cinta gak perlu harus ngobrol, kalian itu cocok, mana tau dia belain kamu selama ini karena sukak kan, aku butuh hiburan tau, di mintain duit kamu kere, mau minta apa kamu gak bisa, yaudah! Pacaran sana sama dia." Putus preman sekolah berbadan tambun.

Damar bungkam, satu sisi dirinya takut satu sisi dirinya juga tak masalah kalau bisa dekat dengan Aminah, perempuan yang hanya dia tau namanya saja.

"Kamu ngerti kan! Jangan belaga begok sia," cecar si pereman lagi memastikan jawaban.

Damar menganguk, wajah melasnya makin melas saja.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top