Akhirnya

BAB 26

Rudi berjalan lebih cepat melihat sosok di kenalnya nampak celingukan seperti maling mengintip dari celah jendela.

"Om!"

"Astaga naga, ayam!" Damar menempel ke tembok sangking tersentak kaget, bocah itu malah tertawa hingga matanya hanya tinggal segaris, Damar mengelus dadanya menetralkan suara jantung memburu, "Kenapa ke sini Om."

"Cari Ibumu, ada yang mau Om jelasin, sejelas-jelasnya." Damar merendahkan tubuhnya sejajar dengan Rudi, "Ibu kamu kemana?" ulanganya celingukan mengira-ngira kalau Didin serta Aminah akan segera pulang.

Rudi memainkan sepatunya enggan menatap Damar, "Kenapa ngak di jawab?" tanya Damar lagi lembut, "Didin tiba-tiba parah, katanya kena DBD, tadi pagi Ibu langsung bawa Didin ke RS. Budi Harjo."

"Terus, kamu ngak ikut," kaget Damar menanyai Rudi.

"Ibu buru-buru bawa Didin, aku udah izin kemarin jadi gak boleh izin lagi."

Damar mengusak wajahnya, dia menyesal tak membawa kendaraan. "Kamu udah makan siang?" tanya Damar, "Belum, tadi buru-buru banget pas ke Bu Bidan mampir kesini terus bilang Didin bisa aja kena DBD, langsung Ibu bawa pergi ke rumah sakit."

"Gini, kamu Ikut Om ke rumah Om aja, Ya." Kata Damar, "nanti sekalian makasn siang sama ambil kendaraan Om dulu, kamu bawa kunci rumah ngak, ganti baju sana dulu." Tukasnya menyuruh Rudi bergegas mengambil kunci di bawah karpet, tipikal orang jaman dulu untuk menaruh kunci rumah.

Bu Tarno, wanita paruh baya itu tentu senang hati menerima Rudi di rumah mereka, masakannya kali ini habis tandas tanpa tersisa, "Jadi adik kamu sakit," nadanya penuh simpatik.

"Iya, tapi nanti Om Damar mau anter ke rumah sakit sekalian," jawab Rudi, baru menyelesaikan makan siangnya kali itu.

"Kamu mau kesana bareng Rudi, hati-hati loh, Dam." Dmar muncul dari lorong menuju dapur dengan pakaian lebih casual dari pada yang sebelumnya, "Iya beres, Rud. Ayo berangkat." Rudi mengekor menuju kendaraan kesayangan Damar, memeluk erat lingkar pinggang Damar ketika laju montor mulai meningkat.

"Om, kemaren kenapa gak kerumah, aku sama Didin makannya banyak, Ya!"

"Err, bukan gitu, Rud!" balas Damar, mereka berbicara di atas montor sambil berteriak untuk dapat di dengar satu sama lain.

"Om Damar bangkrut ya, Om sabar, ya. Aku sama Didin ngak niat bikin Om bangkrut," cerocos Rudi terus menceritakan ikut berbela sungkawa atas dompet yang sudah mereka kuras.

"Aduh, kamu ngak ngerti kalau sekarang, nanti Om ceritaiin," tukasnya mengakhiri percakapan karena mereka akhirnya sudah sampai ke rumah sakit yang di tuju.

Bersukur tak terlalu lama mereka dapat menemukan ruangan Didin di rawat atas bantuan resepsionis rumah sakit.

"Loh, Dam. Ngapain ke sini," Aminah terkejut, dia tengah mengupas buah duduk tak jauh dari brankar, "Om!" Didin berseru riang suaranya masih terdengar serak

"Rud, kamu juga nyusul ke sini." Aminah mendekati Rudi memeluk sebentar putranya itu, "kamu kenapa bisa nyusul ke sini, udah makan belum." Brondongnya.

"Satu-satu, Ibu." Ketus Rudi, "Aku udah makan di rumahnya Om Damar, nah, kesini juga numpang motornya Om damar," selorohnya menjabarkan jawabnnya.

"Didin gimana badannya sekarang rasanya."

"Aduh," kata Didin menepuk jidatnya, "panas, terus dingin kayak dimasukin kulkas, Om." Terangnya menafsirkan perkara tubuhnya terasa sakit belakangan ini. "Didin gak suka di sini, aromanya ngak enak, Didin mau pulang ... mau pulang sama Ibu," rengek Didin mulai menagis, sejak masuk ke sini serta mendapatkan beberapa penanganan membuat Didin ketakutan.

Damar mangut-mangut, "Makan yang teratur jaga kebersihan biar ngak sakit lagi, dulu Om juga sakit tipes, ngak enak banget." Damar mulai menceritakan kisahnya kala itu sakit, "Emang ngak enak sakit, tapi lebih ngak enak lagi kalau sakit ngak di sembuhin makin lama nanti sakitnya ngak bisa ngapa-ngapain, dulu Om untung Om mau di obatin jadi bisa cepet main sama temen-temen," kata Damar menyemangati dengan motivasi dialami.

"Dam, makasih ya udah mau nganterin Rudi kemari," seloroh Aminah pertama kali menyapa Damar.

"Aku juga khawatir sama Didin, jadi aku bawa sekalian Rudi, kasian kalau kamu bolak-balik apalagi Rudi tadi juga di tinggal sendiri," balas Damar, "Udah makan, kalau Rudi kan udah makan di rumahku jadi kau tak perlu khawatir sama dia, biar dia main sama Didin di sini dulu, yuk cari makan." Ajak Damar melirik dua kakak adik tengah bermain, Didin nampak mendramatisir ceritanya dengan heboh Rudi juga hanya mngut-mangut mendengar cerita Didin.

"Yaudah, ayok, kamu udah makan belum, aku traktir ya kali ini." Putus Aminah melihat gelengan dari pria itu, Damar tersenyum menganguk polos berjalan berbarengan dengan si perempuan pencuri hatinya.

Makanan kantin rumahsakit memang tak selangkap food court ataupun jajanan di pinggir jalan. Akhirnya menu nasi goreng yang begitu umum menjadi pilihan keduanya ditemani kerupuk serta segelas es teh segar melegakan krongkongan.

"Min,"

"Ya?" beo Aminah masih dengan mulut penuh nasi.

"Soal kemarin aku minta maaf, aku min—"

"Gak papa, anu ..., Aku yang salah, bener ngak papa." Potong Aminah mengalihkan perhatiannya pada sepiring nasi goreng tengah ia makanan.

"Bukan itu," tegas Damar, "Soal jaman dulu, kita sekolah." Damar menjeda suaranya agar lebih tenang, "Memang bener aku di suruh kakak kelas buat nembak kamu, iya aku tau aku salah."

Aminah masih mendengarkan pengakuan Damar, kali ini enggan untuk membuka suaranya.

"Tapi mereka juga akhirnya minta aku buat ngak usah nembak kamu lagi, yah karena alesannya muak kali liat aku ngejar-ngejar kamu ngak dapet padahal niatnya mereka buat aku jadi bahan tontonan malah kasian sendiri, tapi... ."

Damar menarik nafas dalam-dalam sebelum akhirnya untaian kata selama ini ia coba susun rapi untuk ia muntahkan.

"Jadi, aku dari awal memang suka sama kamu, tanpa di suruh atau ngak sama kakak kelas kita sekali pun, aku memang gak ada niat nembak kamu awalnya, tentu ... malu, setelah dapat tantangan aku jadi punya tekat buat ngejar kamu agak mengelikan emang, tapi aku tetep suka sama kamu, kamu tau perempuan yang aku ceritaiin ke kamu udah bantu aku bayarin ongkos kendaran itu kamu orangnya, kamu mungkin lupa sama aku yang paling kurus mirip tikus ke cebur got, tapi mulai saat itu aku selalu merhatiin kamu yang sering juga bantuin aku." Tukasnya menceritakan sebab musababnya.

Aminah mengatupkan bibir, dia tak menyangka jika sebelumnya mereka pernah bertemu jauh sebelumnya serta sosok perempuan dimaksud adalah dia.

"Dam,"

"Mungkin kau sudah tau kenapa sampai saat ini aku masih milih jomblo, sederhana, aku ngak liat apa yang aku lihat di kamu di orang lain, jadi... ." Damar melepar pertanyaan tiba-tiba ke arahnya.

"Dam, maaf." Jemari Aminah meremat bawahannya di bawah meja sana, "Aku binggung perasaanku ke kamu, kamu baik dan aku nyaman, tapi aku takut ini hanya karena aku suka liat kamu sayang ke anak-anak, tapi kasih aku waktu kasih aku waktu untuk menata diriku dan untuk buat anakku bisa neriama, kau tau ..., kita."

Bukan sebuah penolakan tapi juga bukan sebuah persetujuan, Damar mencetak senyum di wajahnya menampakkan binar bahagia, sederhana itu.

"Udah, itu udah cukup untukku, aku tetap nunguin kamu, tapi jangan lama-lama ya." Mohon Damar, "setidaknya aku pengen ngasih status yang jelas kalau aku dekat sama anak-anak, bukan sekedar Om Damar lagi."

"Mungkin bisa kita coba untuk saling mengerti dulu, aku juga gak bisa janji apapun untuk sekarang." Tukas Aminah tersenyum menampakan deretan gigi rapihnya.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top