Upset

Sial sekali. Kenapa bayangan dua orang itu terus berkelindan di otak Mei? Perempuan berkaus v-neck itu melempar ponsel ke atas selimut. Ide manis yang akan ia tuang tiba-tiba amblas entah ke mana sejak sore tadi. Notebook di nakas masih menyala menampilkan halaman yang kosong. Bagaimana cara mengembalikan suasana hati agar membaik?

Mei menggeram sebal seraya membanting tubuh ke atas bantal. Apa perlu ia mempertimbangkan perkataan Dania? Sumber inspirasi? Amiko?

Perempuan berambut berantakan itu bangkit, meraih ikat rambut di nakas, dan berjalan ke luar kamar sembari mengikat rambut. Melangkah lebar-lebar seraya membawa tablet ke arah mini bar di pantry vila yang mereka singgahi. Tadi lelaki itu bilang akan minum sebentar. Namun, tak kunjung kembali setelah 30 menit berlalu.

Amiko tampak duduk di kursi kaki tiga seraya menatap kosong pada whiskey dalam rock glass di meja bar. Minuman itu tampak mengembun dan masih utuh.

"Minum lagi?"

Kelopak beriris mata cokelat Amiko mengerjap. Seperti dugaan Mei, ia sedang melamunkan sesuatu.

Amiko tersenyum kecil. "Mau menemaniku?"

Mei menarik kursi, duduk lalu membuka layar pengunci tabletnya. "Aku enggak pernah minum itu. Meski kadang penasaran, sih," kekeh Mei.

Amiko meraih gelas kosong, mengisinya dengan air putih, dan tiga butir es batu. "Untukmu ini saja." Ia berkelakar.

Uluran air putih dingin itu sontak membuat Mei mencebik dan mau tak mau meminumnya.

Amiko meneguk cairan kekuningan sekali. "Apa yang sedang kamu kerjakan malam ini?"

Mei mengedik dan mendesah lelah. "Pikiranku kacau hari ini. Aku bisa sakit jiwa kalau mereka terus berputar-putar di sekitarku."

"Begitu, ya?" Amiko menggerak-gerakkan gelas kecil di atas meja, membuat isinya bergoyang mengikuti gerakan tangannya.

"Ayo, kita menggambar! Aku ingin melihatmu menggambar untukku. Satu ilustrasi saja cukup." Mei menggeser tablet ke hadapan suaminya.

Amiko mengangguk. "Mau gambar apa malam ini?" Ia mengambil alih stylus dari tangan kanan Mei.

Perempuan di sisi Amiko berpangku tangan, tersenyum dengan pandangan menerawang ke arah jendela kaca yang berhadapan langsung dengan taman kecil di luar. "Mm, menghabiskan beberapa gelas whiskey bersama orang yang dicintai. Duduk berdua sambil berkeluh kesah. Oh, jangan lupa ekspresi mereka harus bahagia."

"Oke," sahut Amiko pendek.

Lelaki itu mulai sibuk dengan gambar permintaan istrinya. Mei menyangga kepala serta menatap mata cokelat yang sedang fokus. Wajah bergaris tegas dan hidung mancung itu lebih menarik saat berkonsentrasi begini.

Mei tersenyum sendiri.

"Jangan melihatku begitu. Entar jatuh cinta beneran, gagal pura-pura." Amiko berceletuk tanpa menghentikan acara menggambarnya.

"Enggak, kok, cuma lagi lihat gambar aja." Mei membenarkan posisi duduk dan membuang pandangan ke arah taman di luar.

Lama terdiam membuat Mei merasa perlu berbuat iseng. Perlahan tangan kanannya bergerak pelan, hendak meraih gelas whiskey di hadapan Amiko. Nyatanya, pria itu gesit menggeser minuman itu menjauh sembari tertawa tertahan.

Mei menghela napas panjang. "Aku butuh sesuatu supaya bisa melupakan kejadian tadi di pantai," keluhnya.

Amiko sama menghela napas panjang dan meletakkan stylus ke meja. Ia kembali meneguk cairan kekuningan dalam gelas hingga setengah tandas.

Mei turun dari kursi, ikut menggenggam gelas di tangan Amiko. "Sedikit ...."

Lelaki yang kini berdiri dan mendorong Mei merapat ke meja bar tampak menimbang-nimbang. "Aku lebih bisa diandalkan kalau cuma urusan melupakan laki-laki itu daripada minuman itu." Amiko menunjuk minuman beralkohol di meja dengan dagunya.

"Oh, ya?" Mei lebih memilih berbisik, membuat Amiko tersenyum samar.

Ia baru akan memulai, meraih leher perempuan yang sedang berusaha menahan diri untuk tak mengawalinya. Mei menggigit bibir, menyembunyikan tubuh yang meremang ketika Amiko mulai menelusuri wajah dengan ujung hidung mancungnya. Gemuruh di dada kembali meletupkan perasaan aneh yang membuat Mei memilih lebih berani mengalungkan dua lengan ke leher suaminya. Ia duduk di tepi meja bar menantikan kejutan lain dari debaran jantung yang menggila.

Sebelah tangan Amiko memeluk erat pinggang Mei sementara tangan kanannya bergerak naik ke belakang kepala. Menjadikan telapak tangan itu sebagai bantal saat Mei terdorong merebah. Mereka baru akan memulai. Saling menautkan jemari tangan sejenak sebelum pergi menjelajah mengikuti naluri masing-masing.

Sampai bunyi benda keras terjatuh ke lantai membuat keduanya berhenti sebentar.

"Mei ... ini kedua kalinya kita menjatuhkan tablet ke lantai," erang Amiko seraya melekatkan kening di bahu Mei yang terkikik.

Ya, dua kali menjatuhkan benda elektronik berharga belasan juta bukanlah hal yang patut dipertahankan. Mungkin mereka perlu mempertimbangkan lagi sebelum terlena lebih jauh, alangkah baiknya keduanya menyisihkan benda-benda rawan tersenggol karena tak sengaja.

"Oh, my ...." Mei masih tertawa kecil. Ia menutup mata dengan tangan kanan.

Amiko yang semula nelangsa--karena harus kembali meratapi benda yang terjatuh karena ulah nakal keduanya--ikut menahan tawa. "Next time kita jangan bawa-bawa tablet kalau mau bercinta," protesnya dengan mata menyipit menatap Mei yang masih tertawa di bawah tubuhnya.

Mei mendorong tubuh pria di atasnya dan turun dari meja bar. Amiko meraih tablet di lantai. Masih hidup. Mei mendesah lega sembari mengelus dada.

"Jadi?" Amiko bersuara usai meletakkan benda elektronik yang semula jatuh ke sisi meja lebih jauh.

"Mm?"

Mereka bertatapan sejenak, menelisik manik mata demi mencari jawaban.

"Let's swim. Aku butuh mendinginkan kepala sebentar." Amiko melepas kaus cokelat tuanya.

"What? Malam-malam begini berenang?" Mei memelotot. Namun, tak kuasa menolak saat dirasa tubuhnya melayang.

Amiko sigap mengangkat tubuh ramping Mei. "Yes, Mi Amor!"

Nyatanya, Amiko benar. Pria ini cukup bisa diandalkan kalau hanya perkara mengenyahkan suasana hati yang buruk. Segala gundah sirna. Detik berikutnya Mei lupa perkara perbuatan mengesalkan mantan kekasih dan kekasih barunya. Ia tertawa cukup keras begitu Amiko melompat membawa tubuhnya masuk ke air.

***

"Jadi kamu sengaja ngajak ke sini cuma buat manas-manasin mantan kamu? Gitu?" Lisa berpaling seraya mengancingkan kemeja kebesaran di tubuh.

Brian mengusap wajah. "Bu-bukan gitu maksudku, Lis. Kita ke sini ...."

"Stop!" Tangan gadis bertubuh bak gitar Spanyol itu terangkat. Tapan matanya mulai tak bersahabat.

Brian meraih jemari bercat kuku merah, mendekapnya ke dada, dan berusaha mengelus puncak kepalanya. "Kamu sendiri yang minta ke aku buat liburan ke Bali, kan?"

Lisa menarik diri, memberi jarak dengan melangkah mundur. "Kamu cemburu, kan, lihat Mei jalan sama suaminya?"

Pria yang bertelanjang dada itu membuang napas kasar. "Enggak, Lis. Kamu tahu sendiri, kan, perasaanku ke kamu kayak apa? Aku menyayangimu lebih dari apa pun."

"Ini yang enggak aku mau dari hubungan kita. Aku enggak mau merusak persahabatan kita kalau ngebiarin perasaan itu tumbuh. Aku enggak mau kamu berubah, Bri!"

"Enggak, please, dengerin aku dulu." Brian kembali meraih Lisa, membawanya ke dalam dekapan. "Aku enggak akan berubah, oke?"

Lisa mendorong tubuh beraroma cokelat yang memeluknya dan keluar dari penginapan, meninggalkan lelaki yang tercenung sendiria. Liburan yang memang diniatkan menguji kekasihnya itu berakhir mengesalkan. Reaksi Brian yang berwajah masam, kesal, seraya mengepalkan tangan ketika melihat Mei bersama suaminya tergambar jelas. Bahkan kemesraan mereka terasa hambar. Brian melakukkannya demi meraih emosi Mei dan Lisa bukan perempuan dungu yang mudah tertipu.

***

Kepergian Lisa tak lantas membuatnya beranjak mengejar. Pikiran Brian teramat kosong sekarang. Entah sudah berapa kali ia memutar ulang snap WhatsApp mantan kekasihnya seraya bergelung malas di balik selimut.

Sepertinya Mei memang sudah bahagia. Melihat tatapan mata dalam foto saja sudah jelas. Brian bisa merasakan binar itu. Binar yang sama saat ia pernah nekat mencoba mengecup lembut bibirnya.

Mei tak lantas berontak. Telapak tangannya dengan halus mendorong dada Brian, memberi jarak agar ia tak melakukan lebih dari itu.

"Kita bisa pelan-pelan saja, kan? Seenggaknya sampai kita menikah nanti."

Senyum wanita lugu itu benar-benar memberi ketenangan. Seolah menjanjikan bahwa dirinya hanya untuk Brian seorang. Mei teramat istimewa dan kerap membuatnya tak sabaran.

Hingga perlahan-lahan kegamangan Lisa muncul. Sahabatnya itu kerap menunjukkan gejala cemburu yang sontak membuat perasaan terkubur dalam benak kembali mencuat. Gadis itu menyerah dengan segala rasa yang pernah Brian tawarkan dalam zona persahabatan mereka.

Keadaan seperti itu jelas membuat ia gamang luar biasa. Brian meragu. Hingga perlahan pertahanannya runtuh ketika Lisa kembali menjauh ketika Mei mendesak untuk segera melamarnya. Perasaannya kalang kabut dan tak tahu harus ke mana berpijak. Mempertahankan cinta lamanya atau mengarungi kehidupan baru bersama Mei?

Brian membanting ponsel yang kembali mmenampilkan foto Mei dengan suaminya yang tengah duduk saling menyandarkan punggung di tepi kolam.

"Please, Mei, beri aku kesempatan meluruskan semua. Setidaknya beri aku waktu untuk memantapkan hatiku sebentar saja," gumamnya terlambat.

***

(12-02-2021)

🍁🍁🍁

Hai,  apa kabar? 🤗🥰
Akhir-akhir ini aku gelisah sendiri dengan naskah ini. Sedikit takut dengan gambaran kemesraan Amiko dan Mei serta cara bergaul Lisa dan Brian.
Tolong, ambil positifnya saja, buang sampahnya ke tempat sampah. 🤭
Adegan dewasa yang aku buat enggak berlebihan, kan? Soalnya ini naskah wajib posting di FB juga. 😅

Oke, terima kasih sudah vote dan komen sebanyak-banyaknya. Jangan lupa bantu share dan rekomendasikan cerita ini ke teman, ya. 🥰🤗

🍁🍁🍁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top