Rin's Request

Mei melenguh sebal. Hari ini benar-benar menguras pikirannya. Mei terpaksa mengundurkan diri lebih awal dari jajaran para admin di Madam Rose. Bukan itu yang membuatnya kesal, tapi caranya keluar dari perusahaan itu benar-benar tak meninggalkan kesan baik. Ia keluar karena tanpa sengaja menyeret masalah pribadi ke kantor. Sungguh tak profesional.

Mei mengusap peluh di pelipis dengan lengan baju. Ia sibuk mengeluarkan kartu debit dari dompet, memberikannya kepada kasir untuk membayar belanjaannya sore ini di supermarket lantai satu apartemennya. Empat kaleng minuman soda, dua bungkus mi instan, dan beberapa camilan lain.

Perempuan dengan kaus longgar itu pulang lebih awal setelah bicara dengan Rose, Ratna, dan suaminya di ruang kerja Amiko. Sesampainya di apartemen ia mendadak murung. Demi membuang suasana hatinya yang tak kunjung membaik, ia memilih beres-beres kamar, membersihkan meja bar sampai mengilap, dan mencuci piring makan siangnya. Amiko sendiri masih harus mengadakan pertemuan dengan karyawan di bagian teknis Madam Rose sampai sore.

Mesin kasir berderit mengeluarkan struk belanja. Mei menerima kembali kartu debitnya lalu berlalu membawa sekantung belanjaan. Ia menilik ponsel masih pukul setengah lima. Tubuhnya lengket dengan anak rambut menempel di pelipis dan kening. Agaknya ini adalah tampilan terkacau sepanjang hidup dan berani-beraninya turun ke lantai bawah untuk beli camilan. Mei merutuki cerminan wajahnya di sisi lift.

Ponsel di tangan bergetar, nama Amiko muncul sebagai pemanggil.

"Hmm?" Mei berdeham menyapa.

"Kamu di mana?"

"Beli camilan di lantai bawah. Kamu udah pulang?"

"Iya, ini mau ada acara apa? Kenapa jadi silau begini apartemennya?" kelakarnya.

Mei menahan tawa. "Kamu mau makan sesuatu?"

Jeda beberapa detik lalu suara berbisik itu terdengar menggelitik dan membuat Mei tersenyum-senyum sendiri. "Mau kamu ...."

"Oh, my .... Jangan bercanda," desisnya sama berbisik di sela menahan senyum. "Aku segera sampai." Mei menutup panggilan. Ia bersandar ke sisi lift dengan wajah bersemu merah lalu pikiran liar bermunculan membawa jantung berdetak sama liarnya.

Perempuan berkaus longgar putih polos itu mengayunkan kantung belanjaan seirama langkah kaki. Bibir tipis melengkung sempurna. Oh, ia bahagia sore ini. Segala perkara keruh siang tadi mendadak lebur entah ke mana.

Mei menekan pasword pintu apartemen dan masuk usai menghela napas panjang. Ia baru saja menutup pintu saat tiba-tiba dua lengan kekar dari balik punggung melingkar di pinggang dan dagu seseorang bersandar di bahunya.

"Hai, Mei," bisiknya seraya menyongsong perempuan dalam pelukan berjalan menuju pantry.

Ah, Mei suka saat Amiko menyebut namanya. "Belum mandi juga?" tanyanya seraya meletakkan belanjaan ke meja bar dan melepas lingkaran lengan di pinggang dan berbalik menatap lelaki berkemeja yang tak lagi rapi. Dasinya terlepas dengan tiga kancing terbuka.

"Mau mandi takut kepleset saking bersihnya. Kamu enggak angkatin keramiknya juga, kan?" canda Amiko sembari mengorek isi kantung belanja. Ia meraih sekaleng minuman soda dan membukanya.

Mei tertawa kecil, meninju pelan dada bidang suaminya. "Aku harus menyibukkan diri biar enggak terus merasa bersalah sama Rose." Ia lalu memilih duduk di meja pantry seraya mengayun kaki jenjangnya.

Amiko mengedik sekali. Lelaki berambut cokelat itu meneguk dua kali minuman dinginnya. "Enggak perlu dipikirin. Rose bukan amatir yang menyerah begitu saja cuma karena segelintir komentar nyinyir orang enggak penting."

Mei mengangguk sepaham. Perempuan berambut tercepol berantakan itu mengambil alih kaleng minuman berwarna merah di tangan suaminya dan sama meneguk dua kali. Kelopak Mei memejam sebentar merasakan sensasi dingin soda di kerongkongan. "Akan tinggal di mana kita kalau pindah nanti?"

"Ke San Francisco?"

"Mm ...." Mei mengangguk mantap. Kedua lengannya bertaut di balik leher suaminya.

"Di mana saja asal sama kamu," sahutnya mencoba kembali berkelakar.

Mei memutar bola mata mendengar jawaban berupa rayuan gombal sambil menengadah dan tertawa kecil. "Dasar!"

Amiko terkikik. Keduanya saling bertatapan lama, membuat Mei hilang kendali dan gugup. Perempuan itu mengulum bibir yang basah usai meneguk kembali minuman dingin, menyimpan segala kemauan nakal yang muncul sebelum Amiko mengawalinya dengan menunduk menatap kaleng soda di tangan.

"Mei," panggilnya.

"Mm?" Mei mendongak dan kembali menemukan iris mata cokelat yang selalu mengawasinya.

Amiko mengangkat tangan kanan, menelusurkan jari telunjuk di kening Mei, menggeser beberapa helai anak rambut yang menempel lalu turun hingga ke tulang pipi. "Kalau kita mengusahakan apa yang Mbak Rin bilang waktu itu malam ini," katanya hati-hati, "kamu mau?"

Mei yang semula memejam kembali membuka mata. Hah? Apa katanya tadi? Perkataan Rin yang mana yang ia maksud?

Jantung perempuan itu berdebar. Namun, hatinya tiba-tiba bimbang. Apa sekarang adalah waktu yang tepat? Apa ia sendiri cukup yakin bila mereka sanggup membersamain kehadirannya kelak meski terkadang Mei masih meragukan perkara hati lelaki yang sedang mengecup lembut keningnya?

Mei tak memberikan jawaban pun tak menolak ketika Amiko memeluk dan mempertemukan kembali rasa manis di antara bibir keduanya. Ah, sungguh, Mei tak bisa menampik setiap perlakuan lembut pria bermata cokelat ini meski hatinya bimbang.

Langit di luar semakin temaram, menebarkan warna kemerahan pada senja sore hari. Menelusupkan sisa sinar jingga matahari melalui jendela kaca di sisi pantry. Membentuk siluet perempuan yang terlena dalam cumbu memabukkan.

***

Perempuan yang sedang terlelap di sisinya itu tak memberikan jawaban. Mulanya ada sedikit perasaan aneh yang mencubit hati saat Mei hanya terdiam. Apa permintaannya terlalu abu-abu?

Sejujurnya, sikap keras Brian membuat Amiko sedikit resah. Pria dari masa lalu istrinya jelas bukan orang yang bisa diremehkan kehadirannya. Mei dan Brian sudah pernah hampir menikah. Itu berarti pernah ada perasaan spesial yang serius di hati Mei sebelumnya. Bukan tidak mungkin perempuan yang sedang bergelung di balik selimut tebal-- menutupi tubuh berbalut lingeri hitam--tak akan goyah.

Amiko mengembuskan napas panjang. Ia kembali memeluk Mei. Sudahlah, rasanya terlalu lelah memikirkan semua itu pada pukul dua dini hari. Keresahan hati itu perlahan mengikis ketika membayangkan sesorean tadi yang mereka lakukan.

Dari pantry mereka lanjut mandi dalam bathtub yang sama. Lalu masak makan malam sederhana dan menyeduh kopi. Menikmatinya di balkon dekat kamar dengan bertelanjang kaki. Mei cukup seksi dengan gaun tidur yang Amiko tahu menyembunyikan lingeri hitam berenda yang sama seksinya.

Semua bayangan itu cukup mengobati keresahan dan kebimbangan atas diamnya Mei pada jawaban yang Amiko tunggu. Mereka bahagia. Cukup. Lelaki yang mulai mengantuk itu tak lagi memikirkannya. Namun, diam-diam ia berdoa semoga sosok malaikat kecil mereka segera hadir untuk mempererat ikatan pernikahan ini dan mengenyahkan siapa pun yang berani menggoyahkan hati perempuan dalam pelukannya.

Lalu, saat Amiko sudah terpejam dan hampir terlelap, ponsel di nakas bergetar. Ia terpaksa kembali membuka mata, melihat siapa pula tengah malam begini menghubungi ponsel istrinya. Nama di layar benda itu membuat suasana hati Amiko mendadak buruk. Jemarinya sigap menggulir ikon merah dan mematikan daya gadget hitam tersebut dan meletakkannya sedikit kasar ke nakas. Kalaupun rusak karena terbanting, Amiko bersedia membelikannya yang baru tanpa harus memberikan kesempatan nomor kontak itu ada di ponsel Mei.

***

(28-02-2021)

🍁🍁🍁

Ciee ... yang habis senyum-senyum sendiri. ☺☺
Ciee ... yang gelisah diajakin mau punya baby, diam, tapi gak bisa nolak. 🤣🤣
Ciee ... yang takut istrinya goyah. 🤣🤣
Ciee ... yang telepon tengah malam malah dimatiin. 🤣🤣

Hai, selamat pagi. 🥰🤗
Jangan lupa bahagia. Jangan lupa vote dan komen banyak-banyak.

Terima kasih. 🤗🥰

Btw, kalian suka baca di platform mana aja? Aku mau juga mampir ke sana. Siapa tahu bisa nulis di platform lain juga. 😁

🍁🍁🍁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top