Madam Rose Party
Wanita yang tengah berdiri sambil memegang paper cup berisi kopi itu menoleh ke kanan dan kiri. Ia masih menunggu di lobi perkantoran dengan pintu kaca berlogo tulisan Madam Rose warna merah muda. Warna yang kata orang penuh cinta.
Mei menghela napas panjang. Cinta? Sepertinya ia sudah mati rasa. Bahkan mengeja kata itu saja malah membuat hati makin perih.
Tiga hari berlibur di San Francisco, wanita bergaun sebatas lutut yang memperlihatkan bahunya itu kembali ke Indonesia. Rose memintanya hadir dalam acara ulang tahun pertama Madam Rose sekaligus mengenalkan Mei sebagai staf admin di kantor.
Ya, karier wanita yang sedang duduk sembari menikmati kopi dan bermain ponsel sebagai penulis mendadak terhenti. Mei selalu kehabisan ide dan tak tahu mau menulis kisah apa. Padahal, karya fiksi roman tulisannya selalu berhasil terpajang di jajaran rak bestseller toko buku baik online maupun konvensional.
Alih-alih merebah tanpa kerjaan pasti, Mei memilih menerima tawaran Rose. Toh pekerjaannya tak terlalu berat, hanya menerima curhatan dari para pengguna akun online dating Madam Rose. Siapa tahu dengan mendengarkan kisah pahit mereka, Mei jadi lebih banyak-banyak bersyukur karena ia tak sendirian. Masih banyak manusia yang sama patah hati dan mau bangkit.
"Kak Meisya!" Lengkingan suara Ratna--gadis berusia 23 tahun dari staf marketing--terdengar nyaring.
Gadis itu tampak tertatih berlari tergesa dengan pump shoes setinggi tujuh senti. Mei melampai dan tersenyum ramah.
"Duh, maaf, tadi antar saudara dulu. Udah lama nunggu? Yuk, barengan ke lantai lima!"
"Santai aja, aku juga enggak mau sendirian datang ke pesta," kekeh Mei.
Keduanya berjalan menuju lift. Ratna menekan tombol menuju lantai lima. Bukan tanpa alasan Mei rela menunggu Ratna. Ia jelas tak mau datang ke pesta lalu berpapasan dengan Brian dan Lisa dalam acara. Setidaknya saat bertemu, Mei bisa pegangan ke lengan gadis belia ini supaya tak oleng menyadari kenyataan pahit. Rose pasti sibuk menyambut tamu dan acara. Mana mungkin bisa bersamanya terus.
Mei yakin Brian datang sebab orang tua Rose dan Brian ada ikatan bisnis. Mei tak sampai hati merusak silaturahmi keluarga mereka dengan melarang Rose mengundangnya.
Tepat seperti dugaan. Begitu sampai di lantai lima, pandangan Mei yang mengedar ke seluruh penjuru ruangan dengan dekorasi dominan warna merah muda dan putih itu berserobok dengan manik masa lalunya. Biran tampak berdiri di dekat meja prasmanan ditemani Lisa yang menggamit lengannya. Tak mau berlama-lama merasakan panas di dada, ia memilih memupus pandangan dan berjalan bersisian mengikuti Ratna.
"Kita makan es krim dulu, yuk!"
Ratna menggandeng Mei ke arah meja berisi makanan pencuci mulut. Sepertinya Ratna paham bahwa kehadiran Brian mengganggunya. Itu sebab gadis dengan lesung di kedua pipi itu mengajak ke arah meja prasmanan yang jauh dari Brian dan Lisa.
"Duh, kamu pengertian banget, Na!" kelakar Mei disusul tawa kecil Ratna.
Ratna dan Rose adalah saksi tangis Mei usai putus dengan Brian. Gadis yang tengah melahap sesuap es krim itu terpaksa pergi ketika rekan kerja di bidang marketing mengajaknya menemui Rose sebentar bersama tamu yang lain.
"Sebentar ya, Kak. Entar aku balik lagi ke sini."
Mei mengangguk pasrah. Ia meletakkan cup kosong di nampan pramusaji yang lewat lalu hampir meraih gelas sirup cocopandan dingin.
"Hai, apa kabar?"
Suara itu tak asing. Mei bahkan mengenalnya dengan baik sebab lelaki pemilik suara itulah yang kerap berbisik mesra sebelum semua kandas. Ia menoleh sebentar dan tersenyum tipis.
"Seperti yang kamu lihat, aku baik-baik saja," tuturnya seraya menyesap sedikit minuman berwarna merah itu.
Brian menggigit pipi bagian dalam. Ia mengetuk-ngetuk bibir gelas di tangan dengan telunjuk. "Siapa laki-laki itu?"
Mei tersenyum sinis sembari menyelipkan helaian rambut di balik telinga. Lelaki ini masih peduli juga rupanya. Seminggu yang lalu memang ia sengaja posting foto pria antah berantah yang dilamar di San Francisco ke story WhatsApp-nya. Mei tahu Brian masih rajin mengikuti kisah akun media sosialnya.
"Bukan urusanmu," sahut Mei tak peduli meski batinnya bersorak.
Rahang Brian tampak mengeras. Gelagat tak suka terpancar melalu sorot mata sipit itu. "Aku peduli padamu, Mei."
"Untuk apa?" Mei menatap tajam.
Brian membuang napas kasar. "Kita putus tak lantas memupus kepedulianku padamu. Aku enggak mau kamu memilih laki-laki yang salah."
"Cih, lebih salah mana dengan caramu memupus pernikahan yang sudah di depan mata?"
Brian terdiam sejenak. Ia hampir membuka suara saat tiba-tiba seorang lelaki mendekat dan memeluk pinggang Mei posesif.
Wanita itu sempat berjengit terkejut. Namun, melihat sosok yang tengah melingkarkan lengan di pinggangnya membuat Mei memelotot kaget. Pria berambut kecokelatan dan bermata hazel itu tersenyum tipis.
"Ada yang salah?" tanyanya dengan raut wajah tenang. Pria itu tersenyum.
Brian tertegun melihat lingkaran lengan pria di sisi mantan kekasihnya.
Lelaki blasteran itu mengulurkan tangan kanan. "Amiko ... calon suami Mei."
Mei kembali menoleh ke samping. Apa katanya tadi? Calon suami? Apa iya lelaki setengah bule ini menerima lamaran candaannya di San Francisco seminggu yang lalu? Tapi ... kenapa bisa sampai ke sini?
Amiko beringsut menatap wanita yang sedang kebingungan itu. Ia tersenyum ramah. "Hai, Mei, apa kabar?"
Jantung Mei berdebar. Baru kali ini ada lelaki yang menatapnya selembut itu.
***
Mei melempar clutch ke meja rias, melepas high heels sembarangan lalu merebah tanpa minat berganti pakaian. Pesta ulang tahun belum usai ketika ia pamit pulang setelah acara perkenalan karyawan baru selesai dan sedikit menikmati hidangan serta hiburan. Rose sendiri sedikit bercengkerama dengannya sebab sibuk menyambut tamu.
Bibir tipis itu membuang napas pelan. Kenapa pula harus Amiko yang jadi animator di proyek Madam Rose?
Mei kelewat canggung sepanjang di tempat pesta, lelaki itu menemaninya bersama Ratna. Sepertinya Amiko memang datang ke acara itu sendiri saja. Akan tetapi, Ratna kembali menghilang karena dipanggil rekan satu ruangan di kantor. Tak ada pilihan lain kecuali ngobrol dengan pria itu. Sayang, cara Amiko mengulik masa lalunya kelewat membuatnya kesal.
"Karena patah hati gagal menikah kamu melamarku?"
"Aku ... cuma bercanda," kilah Mei sembari melempar pandangan ke arah panggung.
"Bercandamu enggak lucu." Amiko mengembuskan napas pelan. "Aku enggak suka bercanda."
Mei mengerjap bingung. "Maksudmu, kamu menganggap lamaranku itu serius?"
"Serius menganggapmu gila karena tiba-tiba melamar laki-laki secara random."
Kali ini mata Mei membelalak garang. Andai ia sudah mengenal laki-laki ini lebih lama, mungkin garpu di tangan kanannya sudah dilayangkan ke kepala Amiko karena sebal.
"Kamu enggak tanya kenapa dia batalin pernikahan?"
Mei mengedikkan bahu. "Buat apa?"
"Setidaknya kamu jadi punya alasan kuat buat lupain dia." Amiko melonggarkan dasi di leher.
Dari caranya melonggarkan dasi, Mei bisa tahu lelaki di seberang mejanya itu tak suka berpakaian seresmi ini. Setelan jas hitam dan kemeja putih sebenarnya tampak manis untuk Amiko, tapi Mei lebih suka penampilannya saat pertama kali bertemu di Fisherman. Lebih santai.
"Cara dia batalin pernikahan juga sudah cukup membuatku punya alasan buat lupain dia." Mei menggigit bibir, menatap kosong pada sepiring chicken cordon bleu di meja.
Amiko berdecak pelan tak percaya. Ia meraih gelas air mineral dan meneguknya sedikit.
Lagu All of Me mulai terdengar sayup-sayup membuat beberapa pasangan turun ke dance floor dan saling melingkarkan lengan untuk berdansa. Mei merutuki Rose yang terlalu gila dengan keromantisan. Meski ia tahu Madam Rose memang identik dengan pasangan, keromantisan, dan cinta.
Mood-nya kembali rusak tatkala tanpa sengaja ia menatap ke area dansa. Dua manusia itu terlihat saling berdempetan. Lisa mengalungkan kedua lengan di leher Brian. Mei berdeham, meraih gelas di sisi kanan sedikit gemetar menahan emosi.
Namun, gerakan Amiko bangkit dan mengulurkan tangan membuat Mei mendongak.
"Aku bantu," gumamnya dengan tatapan yang sulit Mei artikan.
Mei hanya memandang telapak tangan di depannya bingung.
"Aku bantu membuatnya menyesal." Amiko mengerling seraya mengulurkan tangan lebih dekat.
Mei ragu mengangkat tangan pada mulanya. Pria ini percaya diri sekali. Hanya saja, tatapan lelaki di depannya ini sarat memberikan kepercayaan, membuat ia mau tak mau mengikuti alur yang ditawarkan dengan meletakkan telapak tangan dalam genggaman Amiko.
Keduanya berdiri jauh dari Brian dan Lisa berada. Tubuh Mei tampak kaku dan canggung berdekatan seperti ini dengan laki-laki asing.
"Kamu bisa dansa enggak, sih?"
Sindiran Amiko membuat Mei menatap nanar. Ia menahan napas seketika lelaki itu membuang jarak, melingkarkan lengan pada pinggang rampingnya. Mau tak mau wanita yang telanjur terperangkap itu melekatkan kedua telapak tangan di dada Amiko, menelusur ke atas dan berhenti di bahu.
"Ma-maaf, ya," gumam Mei sungkan.
Amiko menahan tawa. "Kamu lucu sekali."
"Eh?"
"Iya, lucu. Gampang tersinggung dan canggung."
Tersinggung? Apa reaksinya berlebihan saat Amiko banyak bertanya mengenai masa lalunya?
Mei mendesah mengingat obrolan bersama Amiko sepanjang pesta. Sepertinya Tuhan sedang mengatur ulang kehidupan Mei yang berantakan melalui lelaki bermata hazel itu.
***
(05-01-2021)
☘☘☘
Akhirnya posting juga part 2. 😬
Semoga ceritanya enggak terlalu kaku.
Terima kasih untuk yang mau mampir baca, vote, dan komen. 🥰🤗
☘☘☘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top